Teungku Armada Saleh : Paduan Perjuangan, Kopi dan Cerutu

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Kalau ada orang yang bertanya, siapakah orang yang paling ikhlas dan paling banyak berkorban untuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM)? Saya akan jawab, ia adalah Teungku Armada Saleh.

Saya bisa pastikan itu. Kalaulah bukan karena Teungku Ilyas Leubee (Menteri Keadilan GAM) memintanya berhenti sebagai PNS pada Kementerian PU di Jakarta, bisa jadi ketika pensiun beliau telah menjabat sebagai salah seorang deputi. Hormatnya kepada “Ayah Leubee” memaksanya untuk mengajukan pensiun dini.

Teungku Armada Saleh kini telah berusia 70 tahun, tepatnya lahir di Takengon, 8 November 1949. Ayah beliau adalah ulama dan Bupati DI/TII yang sempat menjadikan Aceh Tengah sebagai wilayah berdaulat dengan menguasai kota Takengon sebagai pusat pemerintahan DI/TII pada tahun 1953.

Meskipun dari segi umur, beliau sudah tergolong kepada lanjut usia (lansia), tetapi fisiknya masih sehat; mampu menyetir mobil sendiri keliling Aceh, tahan begadang sampai pagi, ngopi teratur dan selama melek, selama itu pula tetap merokok; kretek atau cerutu.

Saya kira kesehatan berbanding lurus dengan kebaikan hati. Teungku Armada Saleh adalah gambaran nyata dari “Sunnatullah” tersebut. Tidak pernah mengeluh pada keadaan meski dicampakan, dizalimi dan dianggap tidak ada, tidak dicatat pernah berjuang, tidak dinilai pernah berkorban.
Sekali lagi, baginya tidak menjadi soal. Hanya satu prinsifnya, beliau telah menjalankan amanah pendahulunya untuk memuliakan Aceh. Masalah berhasil tidaknya dan atau siapa diuntungkan, itu soal lain.

Kalaulah beliau hanya memperturutkan “nafsunya” tentu bertahan saja di PU yang sering diasosiasikan dengan “Pabrik Uang”. Pada tahun 1973 sudah menjadi bagian perencanaan jalan tol Jagorawi (tol yang pertama di Indonesia dari Jakarta ke Bogor), tahun 1975 sebagai Kepala Seksi Perencanaan PU Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan pada tahun 1978 menjabat sebagai Kepala Cabang PU 06 di Calang.

Pada tahun 2007 juga pernah sebagai Kepala Regional III Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (NAD-Nias), yang bisa saja memanfaatkan situasi untuk menumpuk pundi-pundi kekayaan karena mengelola dana triliunan, tetapi selepas bekerja di sana tidak ada tabungan, tidak ada kendaraan, juga rumah masih mengontrak. “Tazkiatun nafsi” yang sempurna menjauhkan dirinya dari “aji mumpung.”

Sejak deklarasi GAM, 4 Desember 1976 pimpinan Wali Neugara, YM Teungku Muhammad Hasan di Tiro, beliau telah menjalankan “sumpah” korban harta, jabatan, keluarga, darah dan kehormatan demi perjuangan GAM. Pada tahun 1999 sebagai Gubernur GAM Wilayah Linge dan sempat mendekam dalam penjara bersama Ketua SIRA Muhammad Nazar di Sidoarjo, Jawa Timur.

Tidak banyak yang tahu kalau beliau adalah “aktivis” GAM. Aparat mengenalnya sebagai seorang konsultan pembangunan jalan dan jembatan. Kamuflase profesi telah memudahkan bagi kami yang berada di hutan untuk berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dalam hal pendanaan.

Hari ini sesempit apapun, Teungku Armada Saleh yang sudah “sepuh” masih menyempatkan diri bersilaturrahmi bersama mantan-mantan GAM, termasuk dengan Wali Nanggroe, YM Teungku Malek Mahmud sekedar bernostalgia dan berdiskusi untuk masa depan Aceh yang lebih baik.

Aceh telah damai. Tidak boleh ada dendam. Bangun pondasi keadilan yang kuat. Jakarta adil kepada Aceh dan Aceh berkeadilan kepada seluruh rakyatnya. Tidak ada class, tidak ada istilah anak kandung maupun anak tiri. Semua sama berhak mendapat keadilan.

Teungku Armada Saleh sendiri tidak menuntut apapun dari pengorbanannya. Tidak bicara dan tidak juga protes serta selalu santun kepada siapapun. Pelajaran hidup dari perjalanan biografinya, kita malu dengan teladan kesederhanaannya yang merupakan sebuah rangkaian hidup dan paduan kata; perjuangan, kopi dan cerutu.

(Mendale, 12 November 2019)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.