Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
“Pakar Kristologi KH. Bahaudin Mudhary melakukan dialog dengan umat Kristen masalah teologi dengan mengeluarkan argumen akurat ilmiah tanpa mengolok-olok”
Dialog berasal dari kata dialogus yang artinya pembicaraan antara dua golongan, baik perseorangan maupun kelompok; misalkan dialog antara umat Islam dengan umat Kristen. Agar tidak melakukan dialog dengan serampangan/sewenang-wenang, maka umat Islam dituntut untuk memiliki ilmu Kristologi atau pemahaman agama dalam makna luas, dialog yang didasari adu argumentasi, menerangkan dengan dalil yang akurat ilmiah dan jauh dari sikap “mau menang sendiri” merupakan dialog yang sangat baik. (KH. Bahaudin Mudhary, Dialog Masalah Ketuhanan Yesus).
Sementara dialog antaragama adalah pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk berbagai agama, dialog keagamaan muncul ketika hubungan antarumat beragama mengalami keretakan dan ketegangan didasarkan atas perbedaan keyakinan (teologis), bias dari kepentingan politik, ekonomi, dan kedangkalan beragama manusia serta kemungkinan konflik antarumat beragama terjadi karena masyarakat kurang memahami ajaran-ajaran dan pesan moral dari agamaa sehingga menyikapi “klaim kebenaran” dalam agama secara berlebihan. (Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama).
Dari dua buku di atas yaitu Dialog Masalah Ketuhanan Yesus dan Ilmu Studi Agama menjelaskan secara komprehensif tentang hubungan antaragama agar dijaga dengan baik karena masalah keyakinan (teologi) merupakan sesuatu yang sensitif bagi pemeluk agama. Karena itu, setiap pemeluk agama untuk menjaga toleransi, kerukunan antarumat beragama. Walaupun berbeda keyakinan tidak seharusnya mengolok-olok agama lain, justru ditekankan untuk melakukan dialog dengan baik sebagaimana yang dipraktikkan oleh pakar Kristologi KH. Bahaudin Mudhary (bisa baca di buku Dialog Masalah Ketuhanan Yesus).
Pakar Kristologi KH. Bahaudin Mudhary melakukan dialog dengan umat Kristen masalah keyakinan (teologi) dengan argumen akurat ilmiah tanpa menghina atau mengolok-olok agama Kristen. Bahkan dengan ilmu Kristologi yang dimiliki oleh KH. Bahaudin Mudhary menarik perhatian umat Kristen untuk memeluk agama Islam. Nah, disinilah perlunya beragama secara dewasa, beragama dengan akal, kecerdasan emosional, pengetahuan dan pemahaman agama dalam makna luas sehingga dialog dengan umat lain menjadi dialog yang menyenangkan tanpa terjadi gesekan konflik.
Dialog merupakan salah satu sarana untuk mencari jalan damai antar umat beragama untuk menghindari konflik, pakar ilmu perbandingan agama Mukti Ali menyatakan bahwa dialog antar agama bukan untuk saling menyalahkan maupun merendahkan antarumat beragama namun saling membangun dalam rangka kepentingan bersama. Dialog dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti: dialog teologis, dialog kehidupan, dialog perbuatan dan dialog pengalaman agama.
Walaupun begitu Mukti Ali mengakui adanya kesulitan untuk membangun dialog khususnya dalam aspek teologis, karena itu beliau menawarkan empat kelengkapan sebelum dialog antaragama, yaitu: kelengkapan yang sifatnya intelektualitas, maksudnya untuk dapat memahami agama atau fenomena agama secara menyeluruh maka informasi akademik perlu dimiliki.
Perlu adanya kondisi emosional yang stabil. Adanya kemauan yang diorientasikan kepada tujuan yang konstruktif dan mempunyai pengalaman dalam berintraksi dengan orang diluar agamanya.
Dengan adanya dialog antarumat beragama, maka hal yang paling penting diperhatikan adalah sikap toleransi, tanpa toleransi maka dialog hanyalah sia-sia belaka tanpa ada hasil bahkan bisa saja menjadi kompetisi saling menghina dan mengolok-olok. Padahal Allah Swt telah menegaskan dalam Alquran, sebagaimana firman-Nya “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan…” (Q.S 6: 18).
Dialog antarumat beragama dapat terlaksana dengan baik manakala pemeluk agama beragama secara dewasa dalam artian bahwa saling menghormati dan tidak merendahkan atau mengolok-olok agama lain, tidak mengklaim paling benar “mau menang sendiri” serta kelengkapan wawasan pengetahuan yang luas dalam memahami agama.
Problematika Intern Umat Islam
Di dalam intern umat Islam sendiri ketika ada ikhtilaf maka yang dikedepankan adalah sikap emosi yang berlebihan tanpa mau berdialog secara terbuka dan sikap merasa paling benar. Sikap ini adalah penyakit paling berbahaya di dalam diri umat manusia; penyakit tersebut disebut dengan kesombongan. Penyakit sombong sudah pernah dipraktikkan oleh Iblis beserta kawan-kawannya Fir’aun (pemimpin), Qarun (orang kaya) dan Hamman (orang berilmu).
Amat disesali perbedaan aliran-aliran dalam Islam (ilmu kalam, tauhid) bisa saling mengkafirkan sesama umat Islam, karena itu wawasan menguasai aliran-aliran dalam Islam yang dipelajari dalam ilmu kalam (tauhid) sekiranya perlu dipelajari secara mendalam sehingga mengetahui sisi persamaan dan perbedaan setiap aliran yang ada dalam Islam, jangan hanya seperti “burung beo” banyak berbicara seolah-olah paling menguasai tetapi kosong tidak berisi apa yang dibicarakan.
Sebagaimana penulis pernah praktikkan bersama kawan-kawan di kampus untuk berdiskusi sambil menyeruput secangkir kopi tentang ikhtilaf yang sering terjadi di kalangan umat Islam dengan melihat dari berbagai sudut pandang. Di dalam umat Islam sendiri terjadi perselisihan dan sulit untuk mengajak berdiskusi ketika eksklusivisme (kesombongan sosial) dipelihara, bagaimana bisa berdialog dengan berbeda agama? Berbeda aliran dalam Islam saja masih sulit diwujudkan.
Oleh karena itu, melihat dan memahami agama sebagai agama yang berorientasi pada cinta, membawa kesejukan dan ketenangan pada umat manusia. Tidak ada satu agama pun yang mengajarkan pada umatnya untuk melakukan kekerasan dan kebencian pada umat lain.
Jika ada agama mengajarkan kebencian pada umat lain maka cara beragamanya sangat keliru, di dalam Islam sendiri; aliran Khawarij sangat keras dalam memahami agama. Dalam buku Islam Tuhan, Islam Manusia karya Haidar Bagir menyebutkan bahwa “Fenomena Khawarij menandai terbentuknya fenomena takfirisme dalam Islam” yaitu perumusan suatu doktrin pengafiran yang mereka percayai berdasarkan pada ajaran Alquran.
Takfirisme bukanlah sekedar pengafiran, melainkan pengafiran semua kelompok muslim yang bukan kelompoknya. Agama Yahudi juga terdapat kelompok ortodoks Yahudi/kalangan ekstrim Yahudi yang sangat membenci umat Islam, khususnya Palestina.
Ajaran Islam yang luhur dan sempurna serta agama yang membawa rahmat pada manusia terkadang tidak dipahami oleh pemeluknya sehingga perilaku umat Islam jauh dari nilai-nilai Islam. Nabi Muhammad Saw telah mempraktikkan pada masa silam bagaimana berhubungan atau berdialog dengan umat lain dengan cara-cara mengedepankan akhlak dan sikap yang lemah lembut.
Dialog agama merupakan sesuatu yang sangat penting dalam menjaga kerukunan antarumat beragama, disini diperlukan wawasan pengetahuan yang luas dalam memahami agama; bukan hanya memahami agama yang dipeluk tapi juga memahami agama orang lain sehingga terjadilah dialog dengan kesadaran dan menghasilkan dialog-dialog untuk kehidupan antaragama yang harmonis.
Nah, selamat berdialog dengan kesadaran “dialog agama” apalah artinya pengetahuan tanpa kesadaran.
*Penulis, Kolumnis LintasGAYO.co, Magister Pemikiran Dalam Islam UIN Ar-Raniry.






