Haji; Rasional Pengabdian dan Penghambaan

oleh

Catatan : Abd Rahman, B.Ba*

Al-Balad (negeri yang aman) adalah nama lain dari kota Mekah. Tepat pada hari  Jum’at, 26 Juli 2019 lalu robongan kami menginjakkan kaki di kota kelahiran para nabi ( Mekkah)  sekitar jam 9 waktu Mekkah (jam 1 Wib). Dikeliling gunung-gunung, dipadati oleh bangunan-bangunan pemukiman dengan ka’bah sebagai pusatnya. Lembah sempit yang menjadi identitas kota mekah, tampak ramah dalam kemegahan.

Dengan tangan terbuka, kota Mekah menyambut para tamu Allah setiap tahun. Rombongan kami (rombongan Aceh Tengah), mulai tawaf sesampainya di kota  ini. Namun, belum sempurna satu putaran mengelilingi ka’bah anggota rombongan mulai bergerak terpisah. Seumpama batang korek api yang dihempaskan ditengah batang korek api yang sudah terhempas sebelumnya. Membaur dalam kepentingan yang sama, menjalankan ibadah.

Mau tidak mau, di negeri yang masih asing ini kami harus dan mulai melaksanakan rangkaian ibadah dengan kaum muslim dari berbagai negera. Dengan karakteristik tubuh kebanyakan orang Asia,  rombongan kami harus terus berjalan menyesuaikan diri dengan kaum muslimin dari Turki, India, Afrika yang ukuran tubuh mereka bisa dua kali lipat dari ukuran tubuh kami. Namun, Yang Maha Kuasa menunjukkan kekuasaan dan perlindungannya. Kami mulai dikumpulkan kembali dalam barisan yang sama dan bergerak perlahan.

Seperti keramah-tamahan kota Mekah, kamu muslimin yang juga menunaikan haji menjukkan nilai yang sama. Para jama’ah dari India memberi kami air dan membantu kami dengan menyemprotkan air di saat kami tampak menahan lelah, karena suhu udara yang cukup berbeda dengan suhu udara tanah air. Pun juga saat kami shalat sunat tawaf di belakang makam Nabi Ibrahim, Allah kembali menunjukkan kuasanya. Kami di jaga oleh petugas-petugas kota Mekah untuk melaksanakan  shalat sunat, sehingga tidak ada jamaah yang lalu lalang di depan saat kami beribadah.

Cerita kemurahan hati para tamu Allah terus berlanjut. Pada saat rombongan menikmati teguk demi teguk air Zam-zam, seorang berpakaian sangat rapi dengan pakaian khas arab dengan ramah menyodorkan buah kurma.

Kemudian perjalanan selanjutnya adalah melaksanakan ibadah Sa’i, salah satu rukun haji (jalan antara Shafa ke Marwa di lantai dasar). Tidak terbendung tangis sembari menyusuri jejak kaki Siti Hajar. Terbayang bagaimana ia berlari-lari mendaki dan menuruni bukit mencari pertolongan untuk menyelamatkan Ismail kecil.

Dipendakian bukit Marwa, putaran ketujuh ada rasa lelah tapi bangga, rasa bangga yang juga bercampur rasa sedih saat  mengingat betapa beratnya perjuangan Siti Hajar.

Seorang perempuan yang tidak mengeluh, patuh ia akan perintah Allah. Disini juga, tidak terbendung tangis dan terkadang diselimuti juga oleh rasa takut akan bekal iman yang tidak seberapa kita bawa sebagai manusia. Ditempat ini juga malaikat turun dari langit dan menolong Siti Hajar serta Ismail.  

Setelah itu dilanjutkan dengan Tahalullu (menggunting rambut) sebagai simbol membuang sifat kemegahan, disertai do’a; “Ya Allah jadikanlah untuk setiap helai rambut yang aku gunting sebagai cahaya pada hari kiamat”.

Makna dari aktivitas rukun dan wajib haji

Perjalanan haji bagi umat muslim seharusnya menjadi makna tawakkal yang hakiki melalui ilmu dan amal yang dilakukan oleh jasmani dan rohani.

Bentuk dari manifestasi ketundukkan kepada Allah SWT  semata. Dalam ibadah haji pula manusia merealisasikan ungkapan syukur atas nikmat harta dan kesehatan. Keduanya adalah kenikmatan terbesar yang diterima manusia di dunia. Untuk meraih hikmah ketakwaan inilah, manusia perlu mmengembalikan dirinya kepada Allah dan mengangungkan syiar-syiar Allah dengan menunaikan ibadah haji.

Kisah Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Nabi Ismail  merupakan rujukan makna ketakwaan dan penghambaan manusia kepada Sang penciptanya. Kita ulas kembali bagaimana perjalanan hidup mereka dan makna dari ibadah haji yang kita  laksanakan hari ini.

Nabi Ibrahim dan Siti Sarah (istri pertama nabi Ibrahim) lama sudah berumah tangga tapi Allah menguji  kesabaran mereka dengan tidak dikaruniai buah hati. Namun, Nabi Ibrahim adalah sosok kaya nan dermawan.

Disetiap lebaran haji, beribu-ribu jumlah hewan qurban yang ia sembelih. Dalam riwayat kisah seseorang pernah bertanya pada Ibrahim, “Ya Ibrahim, kenapa kamu terlalu ria atas hartamu?. Setiap tahun kamu selalu berqurban beribu-ribu banyaknya”. Nabi Ibrahim menjawab, “Demi Allah,  jangankan harta bila aku dikarunia anak dan apabila Allah memintanya niscaya anak itupun akan ku jadikan qurban”.

Suatu hari Siti Sarah berkata kepada Ibrahim,  “Ya Ibrahim kita sudah tua tidak mungkin untuk kita memiliki anak, maka  nikahilah Siti Hajar itu”.

Siti Hajar adalah seorang pembantu Siti Sarah, miskin dan  keturunan kulit hitam dari Afrika. Dengan seizin Allah, Ibrahim menikahi Siti Hajar. Dari pernikahan mereka lahirlah seorang anak laki-laki, diberi nama Ismail. Dengan kekuasan Allah pula tidak lama setelah Ismail lahir, Siti Sarah (istri Ibrahim yang pertama) melahirkan seorang putra, Ishak.

Suasana hati yang tentunya sangat bahagia sedang dirasakan Ibrahim, karena dikaruniai dua orang putra.

Allah benar-benar menjadi sutradara sejati dalam kisah hidup Ibrahim, kembali cobaan yang menjadi pilihankan untuk alur kisahnya. Siti Sarah memiliki keinginan untuk menjauhkan Siti Hajar dan Ismail dari keluarganya, dan mengutarakan maksud pada Ibrahim. Ibrahim berpikir dalam diam tanpa menanggapi.

Kisah Siti Hajar dan Ismail yang dibawa Ibrahim meninggalkan tempat asal  inilah menjadi permulaan makna ibadah haji.

Menyusuri lembah dan gersangnya perbukitan gurun pasir, tanpa banyak bertanya Siti Hajar sambil membawa Ismail mengikuti jejak Ibrahim. Perjalanan dari Palestina menuju wilayah bagian Arab  terhenti di sebuah lembah yang tidak berpenghuni (Mekkah saat ini).

Nabi Ibrahim tiba-tiba berjalan, berbalik arah dan kembali ke Palestina tanpa mengatakan apapun. Dengan bijaksana bertanya Siti Hajar pada Ibrahim, “Ya Ibrahim, kau hendak kemana?”. Ibrahim terus melangkah dan tidak menjawab. Masih membutuhkan jawaban, Siti Hajar kembali bertanya, “Ibrahim apakah kamu hendak meninggalkan kami di sini?”. Tidak ada jawaban dari Ibrahim.  Kebijaksanaan dari Siti Hajar membuat beban dan langkah Ibrahim untuk meninggalkan keduanya semakin berat.

“Apakah ini perintah Allah?, tanya Siti Hajar yang membuat Ibrahim terus berjalan, membuka suara, mengiyakan. Namun dengan keimanan yang kuat Siti Hajar bahkan balik  menyakinkan Ibrahim agar tidak perlu mencemaskan keduanya. Siti Hajar kemudian menegaskan, “Kalau ini perintah Allah tentu Allah tidak akan menyia-nyiakan kami disini. Tidak ada pertanyaan setelah itu.            

Nabi Ibrahim melanjutkan perjalanan kembali ke Palestina. Kembali menemui Siti Sarah dan Ishak karena sudah lama ia tinggalkan.

Saat tiba di perbatasan antara Palestina dan negara Arab, Ibrahim mulai bimbang harus melanjutkan ke Palestina atau kembali ke Mekkah. Ia khawatir kondisi Siti Hajar dan Ismail yang harus berjuang sendiri ditengah gersangnya gurun pasir. Kemudian Ibrahim melihat kekiri lurus menghadap Ka’bah (saat ini) dan berdoa; “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanaman dekat dengan rumah sucimu (Ka’bah). Aku berbuat demikian demi memungkinkan kelak mereka senantiasa mendirikan shalat. Karena itu jadikanlah hati sebagian manusia cenderung untuk mencintainya dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan. Semoga mereka dapat bersyukur”. (Qs. Surah Ibrahim;37)

 

Makna Sa’i

 

Nabi Ibrahim memutuskan untuk kembali ke Palestina. Cobaan langsung mendatangi Siti Hajar dan Ismail yang masih berumur sekitar 3 tahun. Ismail kecil mulai menangis karena lapar, haus dan suhu panas gurun pasir. Matahari memancarkan sinarnya, gurun pasir seperti hamparan beling kaca. Tidak terelakkan air dalam tubuh mengering, begitupun air susu Siti Hajar.

Tidak ada perbekalan yang tersisa, Ibrahim sudah tidak mungkin diharapkan lagi ditambah lagi hanya keduanya yang kini menjadi penghuni lembah guru pasir itu (Mekah).

Siti Hajar adalah sosok ibu sabar dan tidak mengenal putus asa. Tanpa mengeluh, ia berlari dari bukit Shafa ke bukit Marwa (405 km).  Sebanyak tujuk kali (2.835 km) Siti Hajar bolak-balik diantara kedua bukit tersebut, mencari bantuan untuk menyelamatkan Ismail.

Ismail kecil terus menangis karena diumur yang masih kecil, rasa lapar bercampur haus harus ia tahan. Ia tidak henti menghentakkan kaki di tanah. Sementara Siti Hajar terus berlari, badannya telah letih, hatinya menjerit. Pada putaran ketiga ketujuh saat Siti Hajar mendekati bukit Marwa, ia mendengar ada suara yang tidak ia ketahui asalnya. Dalam rasa bimbang, Siti Hajar berkata; “Siapa kamu?, aku mendengar suaramu sedang kamu tidak  tampak olehku. Apabila kamu orang baik, suka menolong maka tolonglah aku” pinta Siti Hajar.

Siti Hajar  menoleh, melihat Ismail kecil. Ia melihat Ismail menghentak-hentakkan kaki ditanah berpasir, memancar air dari ujung kaki Ismail. Siti Hajar tertegun dan berlari ke arah Ismail seraya berucap Zam Zam (berkumpullah), sembari membuat batas agar air tidak  mengalir. Air Zam Zam kemudian membentuk kolam kecil. Saat itulah muncul sosok malaikat dan berkata pada Siti Hajar, “Minumlah air ini, kalau engkau lapar maka engkau tidak akan pernah merasa lapar lagi. Jika kamu merasa haus, maka tidak akan pernah lagi kamu merasa haus. Dan tinggalah disini, nanti suamimu (Ibrahim) akan kembali untuk membangun Ka’bah ini.

Dalam kisah inilah terkandung makna ibadah Sa’i. Kegigihan Siti Hajar menjadi cermin bagaimana seseorang berusaha dalam hidup. Baik berusaha hidup dalam kehidupan  pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Ibadah Sa’i memberikan makna sikap optimis dan usaha keras serta penuh kesabaran dalam konsep tawakkal penuh pada Allah SWT.

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.