Tumpôk Asëë Lêt

oleh

Catatan : Boy Abdaz

Malam belum begitu larut, sisa sengatan terik siang hari masih menguap dari dinding sebuah warung kopi yang masih searah dengan sebuah bangunan nan luas dan megah, Meuligoe, tempatnya para Wali. Selaku penikmat kopi malam, tanpa sengaja kami telah melawan penjajahan oleh waktu. Larut dalam pembicaraan civil society dan good government yang tidak bertepi. Rona Aceh Damai menjadi buyar dan hambar ketika fakta-fakta menyadurkan realita miris. Kata damai dalam kondisi tertentu bagai memperjuangkan kata itu sendiri menjadi bagian dari semacam kosa kata baru agar masuk ke dalam sebuah kamus, setelah diskusi panjang terhadap pemaknaannya.

Bukan seminar tentunya, reuni atau semacamnya. Tapi hanya pertemuan dan obrolan biasa sambil mencandai sekumpulan kacang yang sudah mulai berjamur dalam sebungkus ikatan plastik. Tetap punya nilai jual karena tersusun rapi dalam sebuah rak warung. Minimal keberadaannya memenuhi aneka menu agar tidak terkesan hana sapue na.

Sebuah perumpamaan keluar dari mulut yang baru saja menyeruput kopi diakhir jepitan bibirnya untuk membantunya menelan. Pertamanya biasa, tidak serius. Katanya begini… Di Aceh, ada semacam adat atau adab berburu. Sekelompok orang yang berburu rusa misalnya, mereka punya kesepakatan tak tertulis tentang bagaimana hasil buruan itu dibagi sesuai dengan jatah masing-masing. Selain tumpôk Pawang dan Pemburu lainnya, ada tumpôk Asëë Lêt (Anjing pemburu) yang tenaga dan gonggongannya mengintimidasi dan menghalau rusa agar lari ke arah jebakan. Atau di lain waktu ia menggigit paha rusa sebagai tangkapan. Asëë Lêt biasanya mendapatkan sepotong paha bekas gigitannya atau bagian lain yang menjadi jatahnya.

Ketika perumpamaan ini dianalogikan ke masyarakat Aceh sebagai Asëë Lêt, tentu saja ini sudah mulai serius. Ada kondisi yang hampir sama ketika semua orang Aceh memperjuangkan rasa keadilan, kesejahteraan atau lebih dari itu sebagai tujuan bersama. Para pemburu dengan caranya dan masyarakat dengan caranya sendiri mengaum dan mempertonton kepedihan. Mengintimidasi agar segala bentuk penderitaan diakhiri. Melibatkan diri sebisa mungkin untuk mencapai sebuah tujuan dalam ‘perburuan’ target.

Dalam perburuan, melewati onak duri di belantara, mendapat gigitan binatang dan terinjak sisa potongan kayu tajam, itu hal lumrah. Betapa bahagianya ketika rusa didapat, tujuan dicapai, semua rasa sakit seakan hilang seketika. Kemudian tumpôk diatur sedemikian rupa. Jatah Pawang, anggota pemburu termasuk tumpôk Asëë Lêt berjejer dalam list penerima jatah. Tertulis rapi dengan stempel resmi penguasa. Semua rasa sakit diobati.

Ada tangkapan besar seperti Dana Otonomi Khusus yang jumlahnya bergelimang. Ada dana reintegrasi dan dana pemulihan lainnya yang diperuntukkan bagi korban konflik. Kemudian muncul pula istilah anak yatim korban konflik. Cukup? Belum. Dari gedung legislatif muncul usulan-usulan dana hibah dalam rangka memberdayakan korban konflik dan mantan kombatan. Jika semua dana besar itu tersalur dengan baik, terpakai dengan benar, mungkin masyarakat Aceh bisa berbangga dengan wilayah lainnya. Lihatlah kami setelah semua penderitaan itu kami lalui.

Tapi apa yang terjadi? Di pertengahan tahun ini, Aceh muncul sebagai provinsi yang belum semakmur dan sekaya provinsi lain yang ada di Sumatera. Lalu mereka menyebut miskin. Termiskin di Sumatera. Aceh yang kaya dengan sumber daya alam dan dana melimpah. Mungkinkah? Seharusnya mereka salah.

Dana berlimpah disambut dengan teriakan gembira. Tepuk tangan di segala penjuru. Seperti mendapatkan rusa. Applause! Semua bercerita tentang bagaimana peran dan pentingnya ia dalam perburuan. Menunjuk bekas luka dan sebagainya.

Tak lama… teriakan itu mengecil. Masyarakat mulai sadar bahwa para Pawang licik dengan menyembunyikan dan menyisihkan bagian-bagian tumpôk. Desas-desus kemudian menjadi semakin nyata ketika banyak tumpôk menjadi samar, tak jelas peruntukannya. Lalu muncul teriakan baru, tapi bukan lagi applause! Sang Pawang tidak bergeming. Pemburu sejatinya adalah Pemburu. Tanpa ini sesungguhnya sesuatu itu bukan apa-apa.

Seperti kanker, penyakit itu menjalar semakin luas, menyedot sumber energi di bagian-bagian vital yang membuat seluruh bagian menjadi lemah. Kronis. Semua tumpôk diperebutkan. Pemburu yang berjasa tiba-tiba merasa dirinya lebih pawang dari pawang. Mengklaim dirinya lebih berhak untuk mengelola tumpôk dan peruntukannya. Memegang bungkusan besar untuk beberapa pembagian. Dia merasa kuasa, padahal daging tumpôk sempat-sempatnya membusuk dalam bungkusan sebelum semua itu habis dibagi.

Sedihnya sampai disitu? Belum! Perebutan para pawang baru yang menilep banyak tumpôk menjadi hal biasa dan sempat menjadi semacam rahasia umum. Yang paling miris, anak-anak yatim yang katanya korban konflik, para korban cacat seumur hidup yang mengaharapkan tumpôk Asëë Lêt hanya menerima beberapa tetes ‘fermentasi’ kemakmuran.

Dalam istilah ureueng lêt rusa; jitêm pajôh teumon asëë kap. Begitulah manusia dengan segala sifat kemanusiaannya. Tidak ada yang sempurna. Tapi pada fitrahnya manusia mempunyai akal dan daya pikir untuk memilah dan menyadari mana yang sesungguhnya berhak ia miliki. Sudah tugasnya nafsu untuk membuat kalap mata. Tapi tidak menyadarinya adalah kebodohan.

Malam hanya mau berkompromi dengan waktu. Salah satu kami menguap, itu pertanda sudah larut.

 

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.