Oleh : Fauzan Azima*
Sebelum saya memulai tulisan singkat ini, saya atas nama pribadi dan keluarga mohon maaf lahir dan bathin di hari raya Idul Fitri 1440 Hijriah serta selamat merayakannya dengan suka cita. Hilangkan kesedihan! Larut dalam kesedihan tidak merubah apapun.
Perlu jelas, ini bukan politik dan juga bukan ilmu klenik. Saya hanya membaca “tanda-tanda zaman” seperti kejatuhan bupati dan gubernur lainnya di Indonesia, juga Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar sudah diambang pintu gerbang. Bisa dipastikan Shabela memimpin “negeri di atas awan” ini tidak sampai ke batas, tahun 2022.
Berawal dari runtuhnya bangunan kebencian konstituen terhadap Bupati Shabela sudah tidak terbendung. Cerita dari mulut ke mulut yang semula hanya mempersoalkan lemahnya kinerja dan kurang perhatian Bupati Shabela kepada “tim sukses” yang lama kelamaan menjadi “do’a komulatif” untuk kejatuhannya.
Dalam sistem pemilihan langsung, menjalankan roda perintahan ini “tidak sintingpun akan celaka, apalagi sinting pasti akan lebih celaka” atau dengan kata lain, “Benarpun menjalankan pemerintahan dianggap salah, apalagi salah pasti lebih dianggap salah.” Artinya, bupati bukan sekedar menjalankan administrasi pemerintahan semata, tetapi juga harus mampu mengelola jiwa dan perasaan masyarakatnya.
Bandingkan dengan pemerintahan Bupati Nasaruddin yang sejujurnya tidak lebih baik dari Bupati Shabela, tetapi cara beliau memenej orang lain dapat mengimbangi bahkan menghapus kebijakan salahnya.
Saya pribadi tidak menghendaki Bupati Shabela “rontok” di tengah jalan. Tetapi bagaimana “menghentikan” do’a hampir 90 persen rakyat Aceh Tengah yang sudah hampir sampai ke langit ketujuh.
Malang Nian Nasib Kucing Angora
Gaya hidup masyarakat Stocksund, kota pinggiran kelas atas di utara metropolitan Stockholm, Swedia, bukan rumah, mobil mewah atau tanah luas, tetapi kepemilikan anjing. Tidak ada rumah yang tidak ada anjingnya karena itu kebanggaan mereka.
Berbeda dengan masyarakat Stocksund, di Arab Saudi kebanggaan mereka adalah memiliki taman. Mereka merasa “tidak berkelas” kalau rumahnya tidak ada taman. Ketika Raja Salman mencari zuriatnya ke Bali melihat taman-taman yang indah, tanpa sadar berucap, “Hazdihil jannah!”
Berbeda dengan masyarakat Stocksund dan Arab Saudi, satu keluarga kecil pada “Negeri di atas awan” sangat bangga memiliki kucing angora atau “Anggora Turki” satu ras kucing domistik alami tertua. Sebagian orang menyebutnya “kucing angkara” yang memiliki bulu warna albino mata merah. Lebih bangga lagi, kucing angora peliharaan mereka sudah faham berkomunikasi walau dengan bahasa isyarat.
Pada tahun 2017, semakin lengkap kebahagiaan keluarga kecil ini dengan kelahiran anak laki-laki yang montok. Rumah kecil yang semula dihuni seorang ayah, ibu, pembantu dan kucing, kini semakin ramai dengan tangis dan tawa bayi. Kehidupan mereka tidak pernah sepi dari canda tawa.
Sampailah pada hari raya Idul Fitri, pembantu izin pulang kampung. Si bayi sejak lahir tidak diberi ASI, sudah dibiasakan minum susu bubuk Morinaga, promosinya sekelas dengan ASI. Stok susu sudah tidak ada lagi di rumah, tidak tahu kepada siapa lagi minta tolong. Sementara suaminya juga sedang berlebaran ke rumah saudaranya.
“Angora, titip adik bayi ini ya? Kamu jaga baik-baik, ibu beli susu sebentar,” pesan ibu muda itu, dan kucing angora mengangguk penuh pengertian.
Tidak begitu lama, ibu muda itupun kembali. Kucing angora menyambutnya di depan pintu, mulutnya penuh darah. Ibu muda itu kalap, berfikir kucing angora telah memakan bayinya. Dalam puncak emosinya, ibu muda itu memukuli kucing angora kesayangannya itu sampai mati.
Ibu muda itu berlari ke kamar bayi, alangkah terkejutnya dia melihat bayi tertawa gembira melihat ibunya datang, sementara di samping bayi itu ular sanca besar mati tercabik-cabik.
“Ya Allah! Ternyata angora telah menyelamatkan bayiku!” tangisnya meledak penuh penyesalan.
Demikianlah perumpamaan Bupati Shabela memberlakukan orang-orang yang setia kepadanya; disumpahserapahi, diusir dan dibunuh karakternya. Namun pada saatnya Bupati Shabela akan menyesal seumur hidup, bahkan bisa jadi mengalami kebutaan permanen karena tidak kuasa menahan tangis sedih.
Bersedekah Kepada Syetan
Setelah kekuasaan kerajaan runtuh, kemudian digantikan oleh kepemimpinan ulama. Di sudut komplek pesantren hiduplah pasangan suami istri yang belum dikaruniai seorang anak.
Padahal, usia pernikahan mereka sudah 40 tahun, namun belum ada tanda-tanda mereka akan mendapatkan momongan. Saudara dan tetangga sudah mulai kasak kusuk, bahkan di antara mereka ada yang menyarankan untuk bercerai saja.
Bagi suami istri itu, segala do’a dan upaya sudah dijalani. Sedang usia merekapun sudah 60 tahun lebih. Benar! Sejak mereka menikah segala ramuan telah dicoba, termasuk ramuan resep Madura. Mereka sangat khawatir kalau seumur hidup tidak punya keturunan.
Di dalam keputusasaan, mereka pergi ke tengah hutan belantara. Mereka berhenti pada batang pohon yang besar dan memandangi daerah sekitarnya.
“Inilah tempat yang cocok bagi kita untuk meminta hajat,” kata suaminya, “selama ini kita telah mendatangi tabib dan ulama, tetapi tetap saja, tidak ada gejala engkau akan hamil” lanjut suaminya.
Selama ini mereka selalu minta tolong kepada orang baik dan dimuliakan, tetapi hasilnya nihil. Kini saatnya mereka minta tolong yang bertentangan dengan kebiasaan selama ini. Berwasilah kepada pohon besar itu, mereka berjanji, “Andai kelak kami punya anak, kami akan bersedekah kepada syetan” katanya dan istrinyapun mengangguk dengan penuh pengertian.
Ikhtiar merekapun tidak sia-sia. Kira-kira setelah tiga bulan dari sejak mereka berhajat, istrinyapun hamil. Syukur! Tidak ada masalah sejak kehamilan sampai istrinya melahirkan anak laki-laki yang tampan.
Anak itupun tumbuh sehat dan sudah masanya untuk dikhitan. Suami istri itupun tiba-tiba teringat kepada janjinya di pohon besar, di tengah hutan belantara “Asalkan punya anak, mereka akan bersedekah kepada syetan.”
Merekapun kembali mendatangi para ulama; sayangnya setiap ulama yang mereka datangi selalu menyalahkan prilaku suami istri ini. “Kalian benar-benar sok tahu! Seperti pernah melihat syetan saja” tegas ulama itu.
Mereka mulai panik! Khawatir terjadi apa-apa terhadap anak semata wayangnya. Kalau manusia mencarinya, mereka bisa sembunyi atau lari, tetapi kalau menjadi target operasi “makhkuk halus” kemana mereka hendak pergi.
Di tengah-tengah kepanikan suami istri itu, seseorang menyarankan bertanya kepada “Ulama sufi” tentang perjanjiannya dengan syetan itu. Dengan ringan “Ulama sufi” itu menjawab, “Jangan terlalu difikirkan! Itu masalah gampang.”
Suami istri itupun sumringah dan saling memandang. Mereka merasa telah ada harapan hidup bagi anak laki-laki satu-satunya itu. “Ulama sufi” itupun mengeluarkan fatwa, “Bersedekahlah kepada pemimpin yang tidak membalas jasa pendukungnya dan tidak memenuhi janji-janji kampanyenya kepada masyarakat. Kalau kalian temukan pemimpin seperti itu bersedekahlah kepadanya, itu sama dengan kalian bersedekah kepada syetan.”
Demi keselamatan anaknya, suami istri itupun menunaikan hajatnya, bersedekah kepada pemimpin negerinya yang kebetulan meninggalkan “tim suksesnya” serta mengingkari janji-janjinya dalam kampanyenya.
Dendam Anjing Kepada Rusa
Ketika seluruh makhluk hidup masih bisa saling berkomunikasi, Raja Sulaiman mengundang seluruh binatang yang habitatnya di laut maupun di darat untuk berkumpul di bukit zinabun.
Mereka hadir berdesak-desakan ingin mendengar langsung titah sang raja tentang rencana penentuan “Hak Allah dan hak Adam.”
Anjing dan rusa berada pada posisi paling depan, berdekatan dengan Raja Sulaiman yang duduk di atas singgasananya. Rusa berulang kali memperingatkan agar anjing duduk dengan sopan, tidak mempamerkan kelaminnya di hadapan sang raja.
Si anjing mengacuhkan peringatan sang rusa. Emosi sang rusapun sudah tidak terbendung lagi dan menendangnya tepat di ubun-ubun si anjing dan terjengkang beberapa meter.
Sejak peristiwa itu, anjing marah besar! Dendamnya tumbuh subur dan bersumpah sejak dirinya, anak cucu dan keturunannya kelak sampai akhir zaman akan terus memburu rusa dan akan memakan jantungnya.
Pawang rusa faham benar tentang “asbabun nuzul” dendam anjing kepada rusa ini, sehingga ketika rusa berhasil ditangkap, sang pawang tidak akan pernah memberikan jantung rusa kepada anjing pemburu.
Pawang hanya memberikan paru-paru atau sosof rusa kepada anjing pemburu itu. Dengan demikian anjing akan terus bersemangat memburu rusa. “Sudah dapat paru-parunya, sedikit lagi tidak sampai ke jantungnya” bisik naluri anjing.
Anjing pemburu jangan sampai makan jantung rusa, akibatnya fatal; anjing yang semula sangat beringas dalam berburu akan menjadi bodoh dan malas karena memang naluri hidupnya hanya ingin melampiaskan dendam nenek moyangnya yang pernah ditendang oleh rusa.
Demikianlah perumpamaan “wakil bupati” yang tidak akan pernah berhenti mengejar “jantung bupati”. Apa yang didapat wakil bupati saat ini adalah masih “paru-paru,” yang tentu saja manusiawi ingin mendapatkan “jantung” sebagai bupati.
Maka tidak perlu heran, kalau di Aceh Tengah, mereka menjalankan pemerintahan, seperti layaknya cerita film kartun anak-anak “Tom and Jerry,” saling menzalimi, saling berbantah, hina menghina, saling rebut makanan, saling menjatuhkan dan saling cari muka.
Kuur Semangat
Kesahuri
Kedue ketuben
Ketige tali puset
Ke-empat tali tembuni
Mari roh semangat
Ini aku abangmu
Inilah salah satu mantra amanat nenek moyang kita dulu ketika anak-anaknya lemah semangatnya akibat serangan ilmu hitam dan gangguan jin.
Kaifiat atau tata cara penggunaan mantra tersebut, yaitu dibacakan pada jari-jari tangan yang mengepal “selensung” atau daun sirih yang dibentuk seperti kerucut yang sudah diisi dengan pinang, gambir, kapur, cengkeh, dan “konyel.”
Setelah membaca mantra, tiuplah dengan khusuk sambil mengucap pelan “kuuur semangat!”. Kalau untuk laki-laki baris terakhir diganti dengan kalimat “Ini aku abangmu,” kalau untuk perempuan diganti dengan kalimat “Ini aku akamu.” Kemudian makanlah “selensung” itu sampai tidak ada yang tersisa.
Sedangkan untuk anak-anak yang belum bisa “mangas” atau “nyirih” maka kepalan tangan laksana pipa penyambung ditempelkan pada ubun-ubunnya si anak. Setelah membaca mantra “Si ayah” mengusap kepala si anak dan membaca kalimat terakhir “Ini abangmu” kalau ia laki-laki, kalau anak perempuan maka kalimatnya “Ini akamu.”
Orang-orang yang sudah meninggalkan karakter aslinya, lemah, kurang ceria, kurang kreatif, terganggu jiwanya dipastikan semangatnya telah pergi melanglang buana dan harus dipanggil kembali.
Saya pastikan juga dari gejalanya bahwa Bupati Shabela-pun semangatnya telah pergi. Hal tersebut wajar karena rivalnya yang bertarung pada pilkada lalu tidak terlepas dari praktek perdukunan untuk mengalahkan lawannya.
Ditambah lagi pada saat memimpin; kepala dinas, kabid dan kasie dan kabag tidak ingin bergeser dari kedudukannya, bahkan ingin jabatan lebih, tentu banyak cara yang dilakukan, dipastikan pergi ke orang pinter, dukun, membaca mantra-mantra atau membawa benda bertuah berisi khodam, tentu ini adalah serangan ghaib yang membuat Bupati Shabela menjadi linglung dan amnesia terhadap orang yang berjasa kepada dirinya dan lupa terhadap visi misinya.
Sebagai sahabat dan keluarga, kami hanya bisa menyarankan agar sering-sering membaca mantra dengan memperhatikan dengan cara seksama kaifiatnya untuk mengembalikan “Semangat Bang Shabela” agar “On the track” atau kembali ke relnya dalam memimpin Aceh Tengah.
Sandiwara Ala Awan Prado
Awan Prado adalah salah seorang hamba yang dimuliakan Allah. Ciri-cirinya adalah keengganan kita menambalkan kata “almarhum” padanya, walaupun beliau sudah meninggal dunia. Terasa janggal di gerbang telinga kalau kita sebut, “Almarhum Awan Prado.”
“Awan Prado tidak ada matinya” kata seorang kawan. Betapa tidak, beliau bukan saja memiliki ilmu kancil, yakni pura-pura mati, tetapi cerita Awan Prado tetap aktual sampai saat ini.
Salah satu kisah Awan Prado adalah apa yang kita sebut sebagai “Sandiwara ala Awan Prado” begini ceritanya; Ketika “musim depik,” antara bulan September dan Desember, “ikan depik” yang endemik di danau Lut Tawar, pada masa itu muncul ke permukaan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dari bulan antara Januari sampai Agustus.
Para nelayan beramai-ramai turun melaut menangkap ikan depik dengan “doran,” “didisen,” dan “cangkul.” Awan Prado-pun ikut ambil bagian sebagaimana nelayan di dataran tinggi Gayo lainnya.
Awan Prado bersama seorang kawannya mengayuh sampan kecil dari Kebayakan dan tiba di kawasan Ujung Nunang daerah Toweren. Dalam perjalanan mencari peruntungan, Awan Prado yang perokok berat itu, kehabisan tembakau. Sementara terpaan “angin depik” mulai menusuk tulang.
Menghisap rokok salah satu cara menyeimbangkan anasir empat (tanah, air, angin dan api). Kalau tubuh kita dingin berarti unsur api kurang karena itu harus diantisipasi dengan rokok. Awan Prado sadar akan hal itu, disamping merokok adalah praktek zikir Hasan Husen (lain waktu kita bahas tentang zikir ini).
Awan Prado mencium aroma tembakau masyarakat di sekitar kawasan Ujung Nunang.
Bukan Awan Prado namanya kalau kehabisan akal untuk mendapatkannya, maka merekapun membuat sandiwara berdasarkan skenario yang sudah disusun rapi sedemikian rupa.
Di atas sampan kecil itu mereka berkelahi; saling tuduh, saling menyalahkan dan saling pukul. Sampan kecil itupun semakin oleng. “Kamu yang habiskan tembakau saya” teriak Awan Prado mengarahkan jari telunjuknya dengan bengis kepada kawannya.
Tidak mau kalah, kawannya kembali menunjuk Awan Prado, “Saya lihat kamu yang membuangnya ke laut tadi, teganya kamu menuduh saya” sambil memukul Awan Prado. Tidak puas saling pukul dengan tangan kosong, mereka pun saling pukul dengan dayung yang terbuat dari kayu medang jempa.
Masyarakat yang menyaksikan mulai sadar bahwa perkelahian Awan Prado dengan kawannya karena tembakau. Mereka berusaha meredamnya, “Teungku…Teungku…jangan lagi berkelahi, kami sudah siapkan tembakau untuk tengku-teungku” bujuk salah seorang masyarakat agar mereka berhenti berkelahi.
Seketika Awan Prado dan kawannya berhenti berkelahi dan menerima tembakau masyarakat yang lumayan banyak. Setelah mengucapkan terima kasih Awan Prado mengerlingkan matanya kepada kawannya sebagai isyarat segera mengayuh perahunya ke tengah danau untuk melanjutkan mencari ikan depik.
“Sandiwara ala Awan Prado” inilah yang sedang dipraktekkan oleh Shabela. Seolah-olah “Bang Bela” sedang berkonflik dengan pihak “Empat penjuru mata angin” tetapi itu hanya alih perhatian dari hegemoni nepotisme dalam mengumpulkan pundi-pundi.
Tukang Kritik Jangan Alergi Kritik
Tulisan ini adalah karma bagi “Bang Bela” karena sebelum menjadi Bupati Aceh Tengah, beliau ahli kritik dan bully terhadap bupati; Buchari Isaq, Mustafa M. Tamy dan Nasaruddin yang selalu menjadi bahan “olok-olokannya.”
Salah satu tingkah yang tidak lazim “Bang Bela” adalah “Menjilat tiang kantor bupati” tidak pernah lekang dari ingatan pegawai pada masa itu. Aksi tersebut sebagai parodi terhadap pegawai yang patuh kepada bupati.
Kini Bang Bela telah duduk di kursi bupati, sepatutnya tidak perlu alergi terhadap bully dan kritik dari masyarakat karena “engkau yang memulai.” Tidak perlu bersikap kasar menghadapinya. Apalagi masyarakat sekarang sudah benci roman, kalimat baikpun yang keluar dari mulut “Bang Bela” tetap saja dianggap tidak baik. Kata orang tua, penyebabnya “Waktu kecil pernah makan kotorannya sendiri.”
Wimandjaya pernah menulis buku “10 Dosa Besar Soeharto,” yang berisi tentang kesalahan masa lalu Pak Harto selama menjabat sebagai Presiden RI. Walaupun buku tersebut “Best seller” tetapi menurut kami penulis itu tidak fair dan pengecut karena menulis setelah Pak Harto lengser.
Tidak seperti Wimandjaya, tulisan bersambung “Bupati Shabela Tak Sampai ke Batas” ini memberi ruang kepadanya untuk introspeksi diri dan berubah dalam menjalankan pemerintahan yang baik dan benar untuk masa depan Aceh Tengah dan dirinya sendiri. Sudah menjadi pengalaman, banyak orang yang sudah tidak menjabat dianggap seperti sampah. Bahkan ada bupati yang setelah pensiun “Stafnya kencing di depannya.” Inilah yang perlu kita antisipasi untuk “Bang Bela,” kalaupun tidak dianggap pahlawan, setidaknya jangan ada yang berbuat kurang ajar setelah beliau tidak menjabat lagi.
Sejujurnya “Bang Bela” dalam memimpin Aceh Tengah tidak punya marwah, harga diri dan wibawa di lingkungan Pemkab maupun masyarakatnya sendiri. Kalau mau diperhalus bahasanya, “Bang Bela tidak punya kapasitas Sumber Daya Manusia” sebagai bupati. Rekam jejaknya hanya pantas sebagai camat, tidak lebih. Perkara SDM ini harus sejak dini diperingatkan agar kelak tidak “Sa kenak mujadi bupati” yang menyebabkan daerah rugi setidaknya selama lima tahun.
Rendahnya SDM “Bang Bela” sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kinerja institusi Pemkab Aceh Tengah. Ketidakmampuan membaca situasi di lingkungannya dimanfaatkan oleh pejabat di bawahnya. Pada saat ini, “Bang Bela” tunduk dan patuh terhadap Assisten I Sekda Aceh Tengah, Saudara Mursyit sehingga keputusan yang lahir tidak sesuai dengan visi misi bupati terpilih. Saat ini memang tampak tidak masalah, tetapi nanti akan terasa kalau sudah tiada jabatan.
Dulu “Bang Bela” sadar benar tentang pentingnya SDM ini karena beliau pernah menjadikan Buchari Isaq, Mustafa M. Tamy dan Nasaruddin sebagai anekdot: “Mereka sakit, lalu dibawa ke Singapura, dokter memvonis, mereka sakit otak, waktu dibedah, ternyata mereka tidak punya otak.”
Sekarang bagaimana rasanya kalau staf atau masyarakat menujukan anekdot sarkasme itu kepada “Bang Bela”? Tentu sangat tidak elok.
Masih ada waktu memperbaiki diri “Bang Bela”.” Anggap saja kritik dan bully dari siapapun menjadi cambuk; walau sakit rasanya, tapi yang penting senang kemudian. Tentu saja apa yang kita tuai hari ini, itu yang akan kita panen di masa depan.
Tuntutlah Ilmu Uris
Watilkal jannati uristumuha bima kuntum ta’lamuun
Bacaan di atas adalah salah satu ayat dalam Al-Qur’an kalau dibaca terus menerus setelah shalat lima waktu akan melahirkan “Jin Pari” yang bertugas menjauhkan pengamalnya dari seseorang atau kelompok yang tidak dikehendaki. Itulah yang disebut dengan “Ilmu uris.”
“Ilmu uris” atau ilmu menghindari atau tidak bertemu dengan lawan ini termasuk dalam salah satu bab “Kitab ilmu perang” yang sangat penting di samping ilmu langkah, kebal, penglimun, sarang bedil, penimul, sebengang, anti kuman dan mungkin perlu ditambah dengan “Ilmu pengasih.”
Pada zaman dahulu sesorang wajib menuntut “Sembilan pokok ilmu perang” tersebut untuk kewibawaan di kampung atau sebagai bekal kalau harus merantau ke negeri orang. Para orang tua tidak akan melepas anaknya merantau tanpa bekal “Ilmu perang.”
Sumber “Ilmu perang” terbagi dua kelompok berdasarkan tujuannya. Pertama bersumber dari Al-Qur’an yang disebut ilmu putih atau “Ilmu haq,” sedangkan yang kedua disebut “Ilmu hitam” yang bersumber dari syetan atau jin kafir.
Biasanya kalau bersumber dari syetan atau jin kafir lebih instan dan tata cara pelaksanaannya lebih ekstrim, yaitu dengan “Prilaku nuhur” atau berniat untuk tidak mandi dan tidak istinjak selama hidupnya, kecuali pada musim hujan.
Sebagai sahabat, kami menyarankan kepada “Bang Bela” segeralah tuntut “Ilmu uris” ini. Manfaatnya, tidak saja untuk menghindari tim sukses yang meminta-minta jatah proyek, tetapi juga akan terbebas dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) dari KPK, polisi dan jaksa.
Hanya saja, saran kami untuk “Bang Bela” tuntutlah “Ilmu uris putih” yang bersumber dari Al-Qur’an, jangan tuntut ilmu dengan memuja syetan atau jin kafir, apalagi harus “berprilaku nuhur.” Tidak baik seorang bupati tidak mandi selamanya karena banyak staf atau tamu yang akan menghadap, dan tentu saja akan banyak rapat yang diselenggarakan perlu kehadiran bupati.
Kurang baik apa lagi kami terhadap “Bang Bela,” ilmu yang bersifat rahasiapun telah kami bagi kepadanya, bahkan lebih dari itu, kami telah menariknya dari “Pintu neraka” dengan saran agar “Bang Bela” tidak memuja syetan atau jin kafir dalam menuntut ilmu.
Klarifikasi Ala Ama Kasim Jangkrik
Pada tahun 1998, setelah Pak Harto lengser, saya disarankan oleh pelukis dan penterjemah buku “Pinokio” dari bahasa Itali ke dalam bahasa Indonesia, Ama Chairul Bahri untuk bertemu dengan Ama Kasim Jangkrik.
Saya pun berusaha bertemu dengan Ama Kasim Jangkrik dan berdiskusi dengannya. Dari banyaknya perbincangan salah satu yang masih jelas dalam ingatan saya adalah, cerita ketika pada tahun 1982, Ama Teungku Ilyas Leubee syahid di Pandrah, Jeuneb, Kabupaten Bireuen, beliau sempat melayat ke rumah duka di Bener Lampahan. Kebetulan pada waktu itu, beliau sedang kampanye untuk PDI.
Ama Kasim Jangkrik nekad melayat “Orang yang dicap pemberontak itu” karena mengingat jasa Ama Teungku Ilyas Leubee mengirim pemuda-pemuda Gayo, termasuk Ama Kasim Jangkrik sendiri untuk bersekolah dan bekerja di Jakarta.
Saat menjabat Anggota DPR RI, Ama Kasim Jangkrik salah seorang yang memperjuangkan Sabang sebagai pelabuhan bebas. Walaupun perjuangan Ama Kasim Jangkrik tanpa pamrih, pemerintah memberikan sebuah mobil sedan Toyota butut atas jasanya.
Saya sering bertandang ke rumah beliau di Depok, kami berdiskusi dan saya tertarik bertanya tentang tokoh-tokoh Gayo pada zaman kemerdekaan. Beliau menegaskan, bahwa orang yang paling berjasa membawa pemuda-pemuda Gayo ke Jakarta adalah Ama HM Hasan Gayo dan Ama Teungku Ilyas Leubee.
Saya juga bertanya hal-hal yang sensitif, “Benarkah Ama Teungku Ilyas Leubee memerintahkan membunuh Ama Abu Bakar?”
Sebelum persoalan tersebut terjawab, ada baiknya kita klarifikasi terlebih dahulu, mengapa hal ini perlu diungkap? Saya menduga sikap “Bang Bela” tetapi mohon diklarifikasi, apakah kebencian pada “Urang Kenawat” karena Ama Teungku Ilyas Leubee berasal dari kampung tersebut?
Ama Kasim Jangkrik menahan nafasnya dan menagis di hadapan saya. “Ya Allah, itu adalah fitnah terbesar yang pernah saya dengar selama hidup” tegas Ama Kasim Jangkrik.
Masih dengan mata berkaca-kaca, beliau menceritakan, bahwa pada masa itu, terjadi peristiwa DI/TII, Ama Abu Bakar berangkat dari rumah Ama Kasim Jangkrik di Banda Aceh menuju Takengon. Sebelum berangkat mereka lama berdialog, yang kesimpulannya, Ama Abu Bakar menyatakan akan meninggalkan politik dan akan memperdalam ilmu agama. Apa yang berlaku pada Ama Abu Bakaŕ adalah dendam pribadi. Tidak ada hubungannya dengan Ama Teungku Ilyas Leubee dan perjuangan DI/TII.
Semula Ama Kasim Jangkrik berprasangka buruk juga, tetapi setelah bertemu dengan Ama Teungku Ilyas Leubee baru beliau faham duduk perkara sebenarnya. Bahkan menurutnya, ketika mendengar Ama Abu Bakar dibunuh, Ama Teungku Ilyas Leubee menangis sejadi-jadinya karena mereka adalah sahabat sejati, meskipun berbeda dalam faham idiologi.
Pada akhir hayatnya, Ama Kasim Jangkrik sebagai pendakwah di Pelindo dan membentuk Kajian Islam di Asrama Laut Tawar di Jalan Muria, Manggarai, Jakarta Selatan.
Pada tahun 2004 setelah tsunami Aceh, Ketika saya masih bergrilya. Terus terang sangat dekat dengan “Bang Tagore” yang pada masa itu beliau menjabat sebagai Ketua DPRD Bener Meriah.
Sebagai sahabat, sebagai saudara, kami sering bicara dari hati ke hati via HP selular. Saya sampaikan pesan Ama Kasim Jangkrik dan kami sepakat untuk menutup buku tentang pristiwa Ama Abu Bakar. Hal tersebut juga saya sampaikan kepada “Bang Iklil Ilyas Leubee” dan beliaupun terharu mendengar penuturan “Bang Tagore.”
Kita tidak tahu apa yang berlaku pada masa akan datang, tetapi kita bisa berguru pada pengalaman sejarah bahwa tidak ada gunanya untuk memelihara dendam karena bisa jadi orang yang paling kita benci justru memandikan, mengkafani, menyembahyangkan dan menguburkan serta mendo’akan untuk kebaikan kita.
Belajarlah memaafkan, sebagai mana Nabi Muhammad SAW memaafkan orang-orang yang menyakitinya, juga belajarlah untuk tidak balas dendam sebagai mana Nelson Mandela tidak dendam kepada orang-orang yang memenjarakannya.
Waspadai OTT
Kabar terakhir Bupati Shabela sudah mulai sakit lambung. Biasa sumber pernyakit tersebut akibat stress, ketakutan yang berlebihan dan terlambat makan.
Sebagai sahabat dan keluarga kita berharap “Bang Bela” cepat sembuh dari penyakit yang dideritanya agar Shafda bisa menjalankan roda Pemerintahan Aceh Tengah dengan baik.
Masih sebagai sahabat dan keluarga yang tidak pernah bosan mengingatkan bahwa bulan Juni, Juli dan Agustus adalah “bulan tender” dan ditambah lagi dalam waktu dekat kabarnya akan terjadi mutasi di lingkungan Pemkab Aceh Tengah.
Inilah bulan-bulan kritis bagi “Bang Bela” untuk lebih mawas diri. Sebagai mana kita tahu, bahwa terjadinya OTT terhadap Bupati Ahmadi Samarkilang juga terjadi pada “musim tender.”
Potensi OTT bagi “Bang Bela” sangat terbuka karena kasak kusuk dengan “empat penjuru mata angin” sudah sangat terbuka. Apalagi putra mahkota, Winata disinyalir mendominasi proyek di Aceh Tengah. Kalau “Bang Bela” tidak kekanak-kanakan, tentu berusaha menganulir berita tidak sedap tersebut.
Jangan biarkan isu berkembang liar. Dalam menjalankan pemerintahan yang nota bene mengelola dana rakyat, benarpun pun dianggap salah, apalagi salah tentu lebih dianggap salah. Oleh karenanya perlu improvisasi dalam mengelola perasaan tim sukses, orang yang berjasa menaikan “Bang Bela” bahkan lawan politik sekalipun.
Sebenarnya rekam jejak “Bang Bela” sudah dirating “super” sebelum menjadi bupati, bahkan dianggap sebagai “kule kureng letong,” tetapi sudah hampir dua tahun Pemerintahan Shafda tidak lebih sebagai “kaming ranut” yang mengecewakan.
Sebagai contoh program “Akselerasi penanganan daerah tertinggal” yang melibatkan 18 Kepala SKPA pada Maret 2019 lalu di Kemukiman Wih Dusun Jamat tidak ditindaklanjuti karena buruknya komunikasi dan lemahnya SDM “Shafda” kalau diberi istilah termasuk dalam kategori “katak wan berok.”
Akhirnya apapun masalah “Bang Bela” buatlah daftar prioritas masalah dan catatlah dengan tinta emas yang kontras agar gampang diingat. Tulislah diurutan yang paling atas, “WASPADAI OTT”
Menyesal Kemudian Tiada Guna
Satu malam langit dipolesi awan dan di langit bertabur bintang. Seorang pendeta muda mengajak biarawati menonton bioskop. Dalam keremangan lampu si pendeta mulai nakal. Tiba-tiba biarawati berucap, “Bapa, ingat Markus ayat 44.” Sontak si pendeta menghentikan aksinya.
Film pun usai, mereka pun pulang dan berpisah tanpa kata. Sesampai di rumah pendeta pun tidak sabar mencari tahu ayat yang diperingatkan oleh biarawati di bioskop tadi. Pendeta kaget dan menepuk jidatnya! Ternyata pada ayat tersebut tertulis, “Teruskan perjuanganmu!”
Begitulah “Bang Bela” akibatnya ketidaktahuan menyesal kemudian tiada guna. Saya benar-benar khawatir dengan pantun jenaka “gelak tawa kerbau ramai sekali, melihat kera berkaca mata” disematkan kepada “Bang Bela” di kemudian hari.
It’s Ok! Saya ingin menyampaikan kabar gembira kepada “Bang Bela” bahwa “Bagian XI” ini adalah tulisan yang terakhir. Saya juga tidak ingin tulisan ini melegenda di Aceh Tengah. Kalaupun harus menulis, tentu dengan judul yang lain lagi.
Saya fikir sudah cukup ilmu pengetahuan yang saya berikan dengan tujuan semata-mata ingin menyelamatkan saudara saya, walaupun pahit memang, tetapi untuk kebaikan harus saya sampaikan, meskipun resiko yang saya terima adalah benci roman dari saudara sendiri.
Seperti guru bela diri kunfu tidak mungkin bersama murid-muridnya selamanya. Jurus-jurus yang sudah diturunkan oleh gurunya diaplikasikan oleh murid-muridnya dalam kehidupan dunia persilatan.
Selesai sudah pengajaran dari saya! Saya menganggap “Bang Bela” telah menguasai “jurus-jurus” yang saya ajarkan dengan paripurna untuk sampai ke batas dalam memimpin Aceh Tengah sampai pada tahun 2022.
Sekarang terserah kepada “Bang Bela” mengambil langkah selanjutnya. Apakah masih melanjutkan “hegemoni nepotisme” dalam menjalankan pemerintahan atau berani merombak total, dengan menjadikan kasih sayang, keadilan, tranparansi, kebenaran, persaudaraan, keikhlasan dan kebersamaan sebagai “Bupati Aceh Tengah sebenarnya.”
Akhirnya saya sebagai pribadi maupun sebagai warga Aceh Tengah mohon maaf lahir dan bathin, khususnya kepada “Bang Bela” yang selama dalam “kelas pendidikan” merasa “ditendang” atau “ditampar” bahkan “dihinakan” untuk itu saya mohon diperbanyak maaf. Sekali lagi itu hanya pengajaran untuk kebaikan kita semua. []