Oleh : Husaini Muzakir Algayoni*
Tragedi nol buku karena siswa Indonesia tidak membaca dan tidak menulis, siswa Indonesia “rabun membaca” dan “pincang menulis” kata Taufik Ismail hasil dari penelitiannya ke SMA di 13 negara tentang kewajiban membaca buku pada 1997.
Hasil penelitiannya menunjukkan Amerika Serikat menduduki peringkat pertama dalam kewajiban membaca buku sastra bagi siswa SMA dengan 32 judul, sementara siswa SMA di Indonesisa tidak memiliki kewajiban membaca buku sastra. Oleh karena itu, Taufik Ismail menyebutnya sebagai tragedi nol buku. (Jon Darmawan, Krisis Literasi dan Tragedi Nol Buku, Serambi Opini, 28/01/2019).
Tragedi nol buku karena tidak ada buku yang wajib dibaca sehingga krisis literasi sangat miris di Indonesia, bahkan beberapa survei menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Minat membaca yang rendah, siapa yang disalahkan? lembaga pendidikan, guru, pemerintah atau menyalahkan diri sendiri yang tidak menjadikan membaca sebagai budaya dalam kehidupan sehari-hari!.
Tak usah salahkan lembaga pendidikan, guru atau pemerintah. Untuk yang satu ini, coba tunjuk diri sendiri; apakah sudah menjadikan membaca sebagai budaya kehidupan?. Tak perlu lihat masyarakat secara umum, lihat dulu para siswa dan mahasiswa; apakah sudah menjadikan membaca sebagai kegiatan sehari-hari? apakah buku sudah dijadikan sebagai menu utama dalam memperkaya khazanah pengetahuan?.
Penulis menyalahkan diri sendiri karena tidak sedari dulu berteman dengan buku, bagi penulis buku terasa asing bahkan tidak tahu manfaat dari membaca. Sekedar membaca semata dan membaca hanya ketika ada ulangan atau ujian tanpa menghayati dan menikmati membaca.
Penulis sangat iri kepada orang-orang yang sudah menikmati membaca sedari kecil sehingga banyak menghasilkan karya-karya tulis. Oleh karena itu, penulis menyalahkan diri sendiri karena kurangnya minat baca sehingga mengalami krisis literasi.
Ruang Sunyi
Ketika itu penulis belum menemukan definisi yang cocok untuk buku karena belum menyatu dalam jiwa layaknya sufi Abu Yazid al-Bustami dengan paham al-ittihadnya yang menyatu antara dirinya dengan Allah atau belum jatuh cinta kepada buku layaknya cinta Rabiah al-Adawiyah kepada Allah. Abu Yazid dan Rabi’ah merupakan cinta dalam kategori cinta ketuhanan yang berada dalam maqam tertinggi dari ajaran sufi.
Belum menemukan definisi apa itu buku? Bahkan buku seperti barang asing dan aneh untuk dipegang serta sesuatu yang tak dianggap dalam kehidupan, status sebagai seorang penuntut ilmu namun tak dekat dengan buku; sungguh tragis, pilu dan menyedihkan! Buku hanya dibaca ketika ada keperluan tugas dari guru/dosen, membaca buku ketika ada ujian dan itu pun terpaksa untuk dibaca.
Buku belum terpateri dalam jiwa dan hati belum jatuh cinta bersama buku, maka tidak tahu manfaat dan apa buku itu sebenarnya? Bersahabat dengan orang yang gemar membaca ternyata membawa dampak signifikan bagi penulis, betapa tidak; setiap ada pameran buku pasti pergi jalan-jalan bersama-sama. Ketika sahabat yang gemar membeli dan membaca buku, maka penulis pun mencoba membeli buku dan berdiskusi dari buku-buku yang telah dibaca.
Selain itu juga, ternyata buah dari patah hati karena putus cinta atau cinta yang tertolak memberikan warna tersendiri dalam sejarah kehidupan. Lihat saja Kahlil Gibran berawal dari patah hati karena cinta pada wanitanya tak sampai sehingga melahirkan maha karya sastra yang bernilai tinggi. Jika filosof Ibnu Bajjah dalam filsafatnya manusia menyendiri untuk mencapai kebahagiaan, maka menyendiri orang patah hati untuk menenangkan hati dari segala siksaan cinta yang tak sampai.
Menyendiri dalam ruang sunyi ditemani dengan buku yang mempunyai makna dan hikmah, terurai lewat kata-kata dalam lembaran kertas memberikan aura positif dan penawar luka, dengan sentuhan kata-kata yang maha dahsyat menggerakkan pikiran dan bangun dari keterpurukan cinta dengan tetesan keringat dan air mata.
Walaupun tak bernafas, namun buku hidup dan bisa membangkitkan jiwa-jiwa yang galau dan gersang menuju move on and no more galau.
Ungkapan Aidh Al-Qarni dalam bukunya La Tahzan merupakan ungkapan wajib yang selalu diingat ketika membaca buku, beliau mengatakan bahwa “Membaca buku adalah hiburan bagi orang yang menyendiri, munajat bagi jiwa, dialog bagi orang yang suka mengobrol, kenikmatan bagi orang yang merenung dan pelita bagi yang berjalan di tengah malam. Kenapa kita diharuskan untuk membaca?. Karena buku itu selalu mengandung faedah, tamsil kebijaksanaan, cerita dan hikayat yang sangat unik.”
Begitu juga dengan penulis mentamsilkan buku itu sebagai:
Buku
Kau menjadi kawan disaat-saat sulit
Pengingat dan penyemangat
Disaat hati sedang lemah
Dari pengalamanan hidup yang dilewati dan seiring dengan berjalannya waktu, penulis mendapatkan nikmat dan lezatnya dari membaca. Bagi penulis membaca buku memberikan kebahagiaan tersendiri, menggenggam buku dan membacanya terasa indah karena setiap kata-kata yang dibaca menambah wawasan, menggerakkan dan menajamkan pikiran, belum lagi novel-novel penggugah jiwa dan motivasi sebagai teman ngobrol yang mengasyikkan.
Romantis antara bunga dengan siraman air serta sinaran cahaya matahari, melahirkan bunga-bunga bermekaran dengan warna-warni yang memberikan pesona dan keindahan bagi mata. Begitu juga romantis antara jiwa dengan buku telah tersemai ikatan cinta dalam membaca maka melahirkan kebahagiaan dan tulisan-tulisan hasil dari membaca buku.
Jika membaca menajamkan pikiran lewat buku yang dibaca, maka menulis mengasah pikiran lewat goresan pena yang ditulis. Setiap kata yang ditulis merupakan buah dari kreativitas, ide, dan perenungan-perenungan dalam mengolah informasi dan pengetahuan. Menulis juga mengikat pikiran agar tidak lepas dan mudah lupa begitu saja, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i bahwa “Ilmu itu buruan dan tulisan itu ikatnya, maka ikatlah buruanmu itu dengan tali yang kuat.”
Senada dan seirama antara hati dan buku telah tersemai ikatan cinta maka membaca merupakan suatu kebahagiaan yang dapat menumbuhkan minat baca dalam diri, di hari spesial 17 Mei merupakan hari buku dan hari perpustakaan nasional semoga bisa membangkitkan dan menumbuhkan minat baca bagi kita semua terkhus bagi penulis sendiri. Penulis mengucapkan selamat hari buku dan hari perpustakaan nasional 17 Mei 1980-2019.
“Jika seorang muslim rumahnya adalah masjid untuk bermunajat kepada Allah, maka seorang penuntut ilmu rumahnya adalah perpustakaan untuk membuka cakrawala pikiran. Jika seorang muslim pedoman utamanya adalah Alquran, maka seorang penuntut ilmu menu utamanya adalah buku.” (Husaini Algayoni-Ruang Sunyi)
*Penulis: Kolumnis LintasGAYO.co