Kursi Panas Perusak Generasi

oleh

Oleh : Muhammadinsyah*

Pemilu serentak 17 April 2019 di Bener Meriah sudahlah usai, pemilihan Presiden, DPD-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota telah telah sampai pada proses penghitungan di tingkat kecamatan untuk selanjutnya di hitung di tingkat Kabupaten oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Bener Meriah.

25 kursi DPRK dari tiga daerah pemilihan (Dapil) hampir menemukan pemiliknya. Bermodalkan laporan saksi masing masing partai berbagai klaim kemenangan mulai dimuncukan, sampai saat ini belum ada pihak yang mendeklarasikan kekalahan dan berbagai upaya terus di tempuh untuk memutakhirkan data demi memastikan kemenangan.

Pantauan penulis, Partai Golkar masih menjadi yang terdepan meski tersalip oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Daerah Pemilihan (Dapil) satu yang meliputi Kecamatan Bukit dan Weh Pesam, Golkar masih tidak tergoyahkan di dua Dapil lainya yaitu Dapil 2 dan 3.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Binaan PLT Bupati Abuya Sarkawi juga berpeluang mengambil dua kursi DPRK dari sembilan kursi yang tersedia di Dapil 1 dan berpeluang mendapat tambahan dua kursi di dapil 3 dan tambahan satu kursi di dapil 2. Berdasarkan hasil ini hampir dapat dipastikan kursi ketua DPRK akan berpindah tangan antara ke Partai Golkar atau ke PKB. Kendati demikian, semua pihak harus bersabar untuk hasil akurat yang akan di umumkan KIP nantinya.

Pada kesempatan ini Bukanlah kemenangan atau kekalahan siapapun yang ingin penulis bahas. Toh, hasil pastinya  akan kita nikmati bersama nantinya dan siapapun wakil rakyat yang terpilih merupakan cerminan dari kita semua rakyat Bener Meriah. Namun penulis ingin mengajak kita semua untuk merenungi bagaimana bobroknya proses memperoleh kursi panas tersebut yang pada hakikatnya berpotensi merusak Generasi muda negeri ini.

Penulis ingin kita semua mengingat kembali bagaimana politik selimut (Opoh Jebel), kemudian di susul oleh Kain Sarung (Opoh Kerong), Alat Pertanian, Uang Tunai bahkan sampai jilbab pun sempat menjadi isu miring mencoreng kalimat baik “Tolak Politik Uang” yang selalu didengungkan oleh penyelenggara.

Isu ini menyebar menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat. Transaksi jual beli suara dengan berbagai macam model seperti tersebut di atas dapat kita dengar dari semua masyarakat.

Sebagai pemuda penulis sempat optimis bahwa semua pihak ingin belajar berbenah, punya keinginan untuk berubah. Tapi apalah daya, fakta di lapangan mengubur semua angan dan cita cita. Mosi tidak percaya masyarakat kepada caleg di sebut sebut menjadi asbabunujul dari perilaku transaksional ini.

Meski akhirnya menjadi sebatas isu, publik sempat dihebohkan dengan dua temuan kasus oleh Panwaslih Bener Meriah. Kedua kasus tersebut bermerek Opoh Jebel, namun sangat disayangkan harus berakhir begitu saja. Penegak Hukum tak berdaya, “tidak memenuhi unsur” begitu mereka menyebutnya.

Kontestasi yang sejatinya beradu ide, visi, misi dan gagasan berakhir menjadi adu kekayaan. Masyarakat yang seharusnya menilai gagasan siapa yang paling baik berakhir menilai Selimut dari siapa yang paling mahal.

Yang paling menarik dari itu semua ialah munculnya isu keterlibatan Pemerintah Daerah dalam memenangkan salah satu Partai. Isu tersebut muncul di detik-detik akhir dekat masa pencoblosan. Banyak dinas yang di seret kedalam isu ini, namun tetap saja kebenarannya tidak dapat terungkapkan. Hanya menyisakan tanya, apakah isu tersebut benar adanya atau hanya isu bohong upaya melemahkan elektabilitas partai lawan.

Seluruh proses tentu menyeret semua pihak kedalamnya tidak terkecuali generasi muda. Isu miring perusak demokrasi ini kemudian dinikmati bersama-sama dijadikan bahan diskusi masuk menjadi informasi yang kemudian melekat dalam pikiran generasi muda Bener Meriah.

Apakah tidak ada yang mencoba berfikir bahwa yang terjadi pada demokrasi kita saat ini akan berpengaruh pada generasi berikutnya bayangkan saja jika Pola perilaku politik transaksional terus dibiarkan menjamur dan seolah sengaja dipelihara tentu saja generasi berikutnya berpotensi akan tetap menggidap penyakit yang sama, lalu untuk apa kita semua mendengungkan kalimat “Menuju Bener Meriah Islami, Harmoni, Maju dan Sejahtera” ?

Sejatinya, Pemerintah memiliki tanggung jawab penuh untuk memastikan hal tersebut tidak terjadi bukan malah ikut terseret kedalam kubangan kotor kedzaliman. Kita tidak ingin generasi muda ikut terkontaminasi, harus ada upaya kongkrit pemerintah untuk memberikan pemahaman politik yang baik kepada generasi muda. Supaya Bener Meriah tidak menjadi kabupaten prematur yang hanya sehat di permukaannya saja namun ternyata menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

*Aktivis Gayo Merdeka

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.