Pemerintahan “Shafda” dan Cerita Kukur Banan

oleh

Oleh ; Fauzan Azima*

Mantan Wali Kota Medan, Abdillah, pada tahun pertama dan kedua pemerintahannya selalu dikritisi dan tiada hari tanpa demonstrasi di kantornya.

Dari kritisi dan demonstrasi tersebut Abdillah belajar dan semakin cerdas memimpin rakyat dan menata Kota Medan menjadi kota modern. Meskipun pada akhirnya ditangkap KPK, tetapi banyak terobosannya dikenang oleh rakyat Ibu Kota Sumatera Utara tersebut.

Begitu juga dengan pemerintahan Shafda (Shabela-Firdaus) memimpin Aceh Tengah, sepatutnya tidak disanjung apalagi “dijilat” agar isi otaknya bisa naik dari 1 MB menjadi paling kurang 1 G agar setelah mereka berhenti dari jabatannya selalu dikenang oleh rakyat Aceh Tengah.

Mengkritisi atau mendemo Pemerintahan Shafda bukan atas dasar kebencian, tetapi sebagai rakyat Aceh Tengah juga menanggung malu jika memiliki pemerintahan, tidak cakap dan tidak ada terobosan yang dibanggakan selama diberi kesempatan berkuasa.

Kenyataannya pemerintahan Shafda lalai dengan cerita yang tidak penting, yang menyeret mereka ke dalam perbuatan yang sia-sia.

Saya ingat ketika sekolah, ada coretan-coretan yang tidak jelas di dinding pagar Mesjid Raya Ruhama Takengon, lalu anak-anak sekolah berkata kepada si Din, salah seorang anak yang tidak bisa membaca.

“Din, ko tulis jema i peger mesjit ho, perene ko kukur banan,” kata anak-anak memprovokasi dalam bahasa Gayo.

Lalu si Din pun dengan sikap marah mengambil air dan kain pel menghapus semua coretan-coretan yang tidak jelas tersebut.

“B******g, perene aku kukur banan,” gerutu si Din sambil menghapus sampai tidak ada coretan lagi di pagar mesjid tersebut.

Begitulah pemerintahan Shafda dipermainkan jiwanya oleh orang-orang, karena tidak bisa “membaca WA” mana yang diprioritaskan dan mana yang dilaksanakan kemudian, “Wal Awalu wal Wal Akhiru” (WA).

(Mendale, 8 Maret 2019)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.