Oleh : Fauzan Azima*
Saya berdiri di daerah Jln. Sungai Manonda, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Dimana tempat yang terjadi likuifaksi akibat gempa bumi pada Jum’at malam lalu, 28 September 2018.
Di tempat inilah, bumi diaduk-aduk seperti telor yang akan dibuat untuk kue bolu, menenggelamkan rumah dan material lainnya masuk ke dalam perut bumi.
Likuifaksi adalah pencairan tanah secara mendadak akibat gempa bumi. Tanah seperti diblender seperti buah-buahan dijadikan jus, tetapi tertutup kembali dan tanah permukaan mengeras, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Kalaulah tidak ada puing-puing rumah yang tertinggal di permukaannya, kita tidak tahu bahwa telah terjadi likuifaksi di tempat itu.
Menurut cerita masyarakat di sana bahwa tempat terjadi likuifaksi, dulunya adalah rawa-rawa yang ditimbun menjadi bangunan perumahan dan termasuk pemukiman yang padat.
Sekarang tempat tersebut menjadi kosong.tidak nampak satu rumah pun di sana. Kecuali hanya tampak beberapa rumah yang baru dibangun oleh masyarakat yang nekad, padahal pemerintah di sana sudah melarang kawasan tersebut didiami karena masih dianggap berbahaya.
Saya teringat beberapa tempat di Aceh Tengah, yang dulu rawa-rawa kini menjadi kawasan pemukiman; yaitu kawasan Paya Ilang dan Jalan Lintang Kota Takengon.
Kalaulah kita mau belajar dari Palu, Sulawesi Tengah, Jalan Lintang dan Paya Ilang di Kota Takengon merupakan “ring of fire” atau area utama sering terjadi gempa bumi dan letusan gunung api, yang tidak layak dan sepatutnya dihindari untuk dijadikan pemukiman di sana.
Namun apa boleh buat, daerah tersebut sudah terlanjur menjadi pemukiman. kita hanya bisa berharap dan berdo’a agar tidak terjadi bencana di negeri kita.
(Palu, 17 Pebruari 2019)