Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
“Politik adalah seni dalam berkompetisi, keindahan politik dihancurkan oleh orang-orang yang menganut paham politik ghuluw.”
Lembaran-lembaran kertas yang tertulis dengan huruf dan dirangkai dengan kalimat indah menjadikan bahan bacaan politik menjadi menu yang harus dibaca oleh generasi zaman sekarang, tanpa bahan bacaan politik bagaikan literasi tanpa warna atau sama saja buta huruf. Dalam pandangan penulis politik adalah seni dalam panorama pemikiran dan bahan bacaan politik menggerakkan pikiran untuk berpikir; baik dari pemikiran kiri, kanan maupun dari pemikiran yang beraliran ekstrim sekalipun.
Indonesia sebagai negara yang menganut paham demokrasi, seharusnya pendidikan politik adalah menu utama dalam berdemokrasi dan dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia. Namun, amat disayangkan pendidikan politik hanya berada di kalangan elit politisi sementara masyarakat awam hanya menerima informasi politik. Tanpa ada pendidikan dan nihilnya pemahaman politik sehingga masyarakat mudah di adu domba, memprovokasi ataupun di provokasi, saling menghina dan memfitnah antara satu kelompok dengan kelompok lain.
Ajang berpolitik kita adalah ajang permusuhan dan ajang perpecahan, momentum dalam pesta demokrasi menciptakan permusuhan, saling menebar fitnah dan berita hoaks kata Muhammad Yusuf A Wahab atau akrab disapa Tu Sop Jeunieb. Beliau juga mengatakan bahwa dalam pesta demokrasi bukan ajang mencari permusuhan antarsesama anak bangsa karena tujuan dari demokrasi ini adalah untuk menghasilkan sesuatu yang baik. Tu Sop menjelaskan politik Indonesia terlalu bebas untuk rakyat, sementara rakyat tidak pernah diberi tahu tentang etika politik dan moral. Akibatnya, setiap aspek kehidupan muncul berbagai persoalan, mulai dari aspek sosial hingga agama. Serambi 5/01/2018.
Menurut hemat penulis, politik adalah seni dalam berkompetisi. Keindahan politik dihancurkan oleh orang-orang yang menganut paham politik ghuluw (berlebiahan, melampaui batas). Hiruk-pikuk politik tanah air menuju bulan April menjadi ajang saling membenci, menghina dan mengadu domba. Akal sehat tidak berfungsi dengan baik dan nutrisi jiwa pun diisi dengan kebencian, mengumbar kata-kata cela yang menyakitkan. Berdebat di media sosial dengan membangga-banggakan pilihan masing-masing, kelompoknya secara berlebihan dan merendahkan kelompok lain sehingga memicu perselisihan dan permusuhan.
Mari sama-sama merenungkan sejenak Sabda Nabi Muhammad Saw berikut ini, “Sesungguhnya orang-orang yang paling dibenci oleh Allah Swt adalah orang yang suka bertengkar lagi keji ucapannya.” (Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim). Dihadis lain disebutkan “Barang siapa yang menuntut ilmu agar dapat bersaing dengan para ulama dan berdebat dengan orang-orang bodoh atau demi mencari perhatian umat manusia, pasti Allah Swt campakkan ke dalam neraka.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi).
Melihat fenomena saat sekarang ini, bukankah hadis di atas menjadi cambuk dan renungan yang mendalam bagi kita semua bahwa bertengkar di media sosial dengan ucapan-ucapan keji serta berdebat tiada akhir dengan membangga-banggakan kelompoknya serta merendahkan kelompok lain merupakan suatu perbuatan yang tidak disenangi oleh Allah Swt.
Dalam hadis lain disebutkan bahwa “Sifat takabur adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (Diriwayatkan oleh Muslim). Arti menolak kebenaran adalah tidak menerima dan mengingkari karena sikap sombong dan tinggi hati serta arti dari merendahkan manusia adalah menghina, sikap seperti ini pernah dipraktikkan oleh Iblis kepada Nabi Adam; semoga kita terhindar dari sikap-sikap Iblis yang tinggi hati dan merendahkan manusia.
Praktik-praktik politik yang dipraktikkan oleh orang-orang yang berpaham politik ghuluw (berlebihan, melampaui batas) bukankah mereka yang disebutkan dalam hadis di atas yaitu orang-orang yang suka bertengkar/berdebat dengan mengeluarkan kata-kata keji, berdebat dengan orang-orang bodoh hanya untuk mencari perhatian dan merendahkan manusia dengan cara menghina.
Berlebih-lebihan dilarang dalam ajaran agama Islam, bahkan dalam agama pun dilarang berlebih-lebihan. Sebagaimana aliran Khawarij yang berlebih-lebihan dalam memahami teks Alquran dan salah satu kelompok ekstrem Syiah yaitu al-Ghaliyyah yang berlebih-lebihan dalam menempatkan imam sama dengan Tuhan. Begitu juga dengan pesta demokrasi saat ini, jangan sampai berlebih-lebihan dalam mendukung pasangan masing-masing sehingga rela menghina dan merendahkan pasangan yang lain.
Saat ini, bagi kelompok A yang membenci kelompok B. Siapa tahu, suatu saat anda akan mencintai kelompok B; begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, sedang-sedang saja dalam hal membenci maupun mencintai. Umar ibn Khattab adalah orang yang sangat membenci Rasulullah Saw, namun tiba-tiba berubah menjadi orang yang sangat mencintai Rasulullah Saw.
Ka’ab ibn Zuhair ibn Abi Sulma al-Muzanni adalah seorang penyair yang menghina Rasulullah dengan syair-syairnya tiba-tiba Ka’ab masuk Islam dan melahirkan karya kepujanggaannya yang bernafaskan Islam dan pujian-pujian kepada baginda Nabi Muhammad Saw.
Berpolitik Selow
Bagi kader partai dan tim sukses atau relawan tidak perlu tegang menjelang detik-detik pencoblosan, politik harus selow dan tetap selow. Terlebih yang bukan kader partai, timses ataupun yang bukan relawan selow saja melihat pergerakan politik Indonesia saat ini. Pilihan sudah ada di dalam hati sanubari, tidak perlu mengganggu pilihan orang lain dengan menjelek-jelekkan dan menghina.
Sudah saatnya bertaubat dalam politik ghuluw ini yang membawa kepada perpecahan dan permusuhan hanya karena perbedaan pilihan politik, jika sebelumnya ada mengeluarkan kata-kata keji, menghina, memfitnah dan mengadu domba dalam politik maka mari bersama-sama merubah cara pandang berpikir dan paradigma ke arah yang lebih konstruktif dalam berpolitik sehingga membawa kesejukan dan kedamaian.