Masuk ke Terowongan PLTA Peusangan, Ini Alat Bantu Pernafasannya!

oleh
Terowongan PLTA Peusangan yang akan dibangun rumah pembangkit 2 turbin pada jarak lebih kurang 2 KM dan kedalaman 730 Meter dari permukaan tanah. [Foto : Darmawan Masri]

Jum’at 8 September 2018, merupakan hari bersejarah bagi wartawan yang tergabung dalam PWI Aceh. Betapa tidak, hari itu puluhan wartawan dari berbagai media di Aceh diberi kesempatan memasuki terowongan yang tengah dikerjakan pada proyek PLTA Peusangan 1 dan 2. Masuknya rombongan kuli tinta ini untuk melihat secara dekat bagaimana progress pembangunan proyek Milyaran Rupiah tersebut yang menggunakan dana bantuan dari Jepang. Kegiatan dikemas dalam Media Tour PLN dan PWI Aceh.

Saya, merupakan satu diantara puluhan rekan wartawan lainnya yang diberi kesempatan masuk ke terowongan sejarak lebih kurang 2 KM dan kedalaman 730 meter dari permukaan tanah. Masuk ke terowongan ini, bukan yang pertama bagi saya. Ini merupakan kali kedua. Pertama, beberapa tahun lalu, saat itu pengerjaan masih pada kedalaman sekitar 200 meter di atas permukaan tanah dan jarak 800 meter.

Yang kedua tentu lebih panjang dari sebelumnya. Rasa was-was pasti ada dalam diri setiap orang yang memasuki ruang bawah tanah ini. Di Gayo khususnya, memasuki ruang bawah tanah merupakan hal yang baru dan belum tentu semua orang berkesempatan masuk.

Teringat petuah dari wartawan dan fotografer senior Aceh yang kini menetap di Medan, Tarmizi Harva beberapa tahun silam. Guru sekaligus sahabat saya ini pernah berujar tentang enaknya jadi wartawan terlepas dari prilaku negatif sebagian oknumnya.

“Kamu tau enaknya jadi wartawan?” katanya kepada ku. “Apa bang?” aku menanyakan. “Enaknya itu, disaat orang kelas 1 di negeri ini belum tentu bisa masuk kemana dia suka. Tapi hebatnya kita (wartawan) bisa,” katanya, sambil menceritakan bahwa dirinya pernah diberi kesempatan menaiki kapal induk Amerika saat Tsunami melanda Aceh 2004 silam. Masuk dan naik ke peralatan tempur US Army bukan hal yang mudah dimana seorang Presiden suatu negara belum tentu diberi izin oleh si empunya.

Perkataan bang Meiji begitu biasa kami menyapa senior kami ini terbukti. Meski hanya masuk ke terowongan PLTA, hal itu menunjukkan profesi wartawan memang istimewa, walau disana-sini banyak suka dukanya juga.

Kembali ke terowongan. Puluhan orang kemudian menaiki mobil bermula dari kantor PLN yang terletak di Kampung Wih Porak, Kecamatan Silihnara, Aceh Tengah. Terowongan yang kami tuju berada di Kampung Remesen, sekira 2 KM dari kantor perusahaan listrik plat merah itu.

Terowongan PLTA Peusangan yang akan dibangun rumah pembangkit 2 turbin pada jarak lebih kurang 2 KM dan kedalaman 730 Meter dari permukaan tanah. [Foto : Darmawan Masri]
Perlahan tapi pasti, iring-iringan mobil menuju Kampung Remesen. Semula bumi terang, yah memang cuaca saat itu tengah cerah. Waktu menunjukkan pukul 10.00 Wib. Iringan mobil kami perlahan memasuki ruang gelap. Penerangan hanya terdapat dari lampu mobil yang kami tumpangi ditambah penerangan terowongan yang memang sudah terpasang sesuai SOP pengerjaan proyek.

Saya duduk bersama, bang Roni, seorang yang diberi tugas kesekretariatan di PWI Aceh. Dalam perjalan kami sempat berbincang, bagaimana sewaktu-waktu dinding terowongan yang sudah didesain sedemikian rupa tiba-tiba ambruk. “Kalau ini ambruk, datang gempa bagaimana kita Wan,” kata bang Roni agak sedikit takut.

Ketakutan itu ku balas dengan guyonan. “Ah abang ada-ada saja. 2013 lalu, gempa disini bang, banyak rumah ambruk, tapi terowongan ini enggak apa-apa, jadi jangan takut gitu lah,” kataku kepadanya.

Setelah menempuh perjalan sekira 7 menit dari titik awal terowongan, rombongan pun berhenti. Saat turun, saya mencoba bertanya kepada pekerja disana. “Ini jarak berapa dari luar bang, dan dalamnya berapa,” tanyaku pada salah seorang pekerja. “Sekitar 2 KM dan dalam 730 meter di bawah permukaan tanah,” katanya.

Wow,, ketakutan semakin menjadi. Jarak 2 Km dan 730 meter bukanlah angka yang secara perhitungan kecil. Pikiran mulai kacau, namun keadaan yang membuat santai. Perlahan kami diajak ke sebuah tempat dalam terowongan itu yang ukurannya lebih luas dari terowongan masuk tadi. Beberapa pekerja bermata sipit yang diketahui sebagai kontraktor dari Hyundai selaku pekerja proyek telah menanti kedatangan kami.

Di bagian itu, setelah mendengar penjelasan dari pihak PLN dan Hyundai, akan dibangun 2 buah generator pembangkit. “Gila… generator listrik dibuat dalam tanah, terus pekerjanya gimana,” gumamku dalam hati. “Yah, dunia sains dan teknologi saat ini sudah maju pesat,” jawab pikiranku lagi.

Blower Sumber Udara dalam Terowongan

Setelah diajak berbincang-bincang terkait proyek PLTA yang akan menghasilkan daya 88 MW itu, para peserta Media Tour pun melakukan aksinya. Ada yang berselfie, ada juga yang memoto-moto bagian dinding terowongan. Udara disana cukup panas, keringat mulai bercucuran. Yah wajar saja, karena kami memang sedang berada di kedalaman tanah.

Teringat pada saat memasuki terowongan pertama kali. Saat itu, pekerja disana mengatakan, jika panas dekatkan diri ke cerobong itu. Hal ini pun kembali saya lakukan saat memasuki terowongan ini untuk kali kedua. Setelah mendekatkan diri ke cerobong yang terpasang diatas, terasa badan sedikit menjadi sejuk. Rasa panas sedikit berkurang. Hempasan angin sayup-sayup menyelinap ke ubun-ubun bak terkena angin sepoi-sepoi di tengah terik matahari.

Blower, alat bantu pernafasan yang digerakkan oleh mesin sehingga menghasilkan udara ke dalam terowongan. [Foto : Darmawan Masri]
Cerobong itu ku ketahui sebagai penyuplai oksigen dari luar ke dalam terowongan yang dikenal dengan istilah blower. Blower digerakkan oleh mesin yang terpasang di luar, kemudian udara dialirkan ke dalam melalui celah-celah cerobong. Timbul pertanyaan, jika mesin yang menggerakkan diluar mati? Tentu suplai udara ke dalam akan terhenti dan oksigen perlahan akan berkurang dan hampa.

Hal inilah yang menjadi ketakutan bagi saya pribadi. Sebuah mesin, bekerja tanpa henti pasti ada errornya juga. Sewaktu-waktu mengancam keselamatan bagi siapa saja yang tengah berada di dalam terowongan itu. Sempat saya menanyakan kepada petugas teknis disana, jika sewaktu-waktu mesin yang menggerakkan blower ini mati, berapa menit kita bisa bertahan disini, ia pun menjawab tidak lama. “Palingan beberapa menit,” katanya tanpa menyebutkan angka pasti.

Yah, semuanya itu keputusan dan rahasia Allah SWT, tuhan seru sekalian alam, semoga saja tidak terjadi apa-apa bagi para pekerja dan orang yang berada dalam terowongan itu. Blower yang terpasang dengan pipa yang telah didesain sedemikian rupa, sebagai satu-satunya alat bantu pernafasan yang menyuplai oksigen dari luar.

Usai mendinginkan badan dibawah terpaan blower udara itu, kami pun kemudian diajak bergegas meninggalkan terowongan dan menaiki mobil. Perlahan, iringan mobil kami keluar dari terowongan pengap tersebut. Lama kelamaan muncul secercah cahaya dari luar, dengan sumringah saya pun kembali melihat matahari. Rasa was-was hilang seketika.

[Darmawan Masri]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.