Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
Musim 2017/2018 banyak orang membicarakan sepak bola, entah benar-benar suka bola atau pura-pura suka tentang sepak bola. Salah satunya adalah membicarakan final liga champion yang mempertemukan juara bertahan Real Madrid dengan klub legendaris Britania Raya Liverpool.
Ada yang menarik dari final liga champion tahun ini yang tidak pernah terjadi sebelumnya, masih ingat dalam ingatan fenomena Leichester City menjurai liga Inggris, klub yang tidak diperhitungkan namun bisa melibas klub-klub raksasa dalam meraih trophy kini fenomena kembali terjadi dari salah satu pemain sepak bola asal Mesir.
Biasanya lensa kamera selalu tertuju pada Cristiano Ronaldo (Portugal), Lionel Messi (Argentina) atau Neymar JR (Brazil). Kali ini mau tidak mau lensa kamera harus tertuju pada Mohamed Salah, Salah membawa Mesir tampil dalam turnamen sepak bola terakbar Piala Dunia Rusia 2018 untuk pertama kalinya sejak 1990, membawa Liverpool ke final liga champion 2017/2018, terpilih sebagai pemain terbaik dan top skor di kompetisi kasta tertinggi United Kingdom negeri Ratu Elizabet serta dinobatkan sebagai pemain terbaik Afrika 2017.
Mohamed Salah membawa Liverpool ke Stadion NSC Olimpiyskiy Kiev, Ukraina untuk meraih trophy si kuping besar yang terakhir kali diraih Liverpool pada tahun 2004 namun amat disayangkan Salah harus ditarik keluar pada pertengahan babak pertama setelah berbenturan dengan Sergio Ramos. Ada kesedihan dan tangisan dari wajah Salah dan juga dari para fans Liverpool maupun rakyat Mesir, keinginan Salah memegang si kuping besar pupus setelah Karim Benzema dan Gareth Bale menjebol gawang Liverpool dan Real Madrid meraih trophy kuping besar ke-13 kalinya dan tiga kali juara beruntun (2015/2016, 2016/2017 dan 2017/2018).
Biasanya ketika kick off usai maka cuitan-cuitan nitizen di alam maya (medsos) menyalahkan wasit atau pemain-pemain lawan yang kurang fair kini cuitan tersebut mengarah pada hal lain, inilah yang penulis bilang di atas tadi; ada yang menarik dari final liga champion kali ini.
Setelah permainan usai, medsos dibanjiri cuitan-cuitan provokasi yang membawa nama “Agama” dan membedakan pemain-pemain yang bukan muslim dan non-muslim, baru kali ini ada pembahasan di medsos tentang sepak bola membawa status “Agama” padahal sebelumnya sepengetahuan penulis belum pernah terjadi.
Sebelumnya dalam sepak bola hanya ada kasus rasisme dalam bentuk warna kulit dan itu langsung dari suporter aslinya yang ada di negaranya masing-masing sementara kasus rasisme dalam bentuk warna kulit di medsos orang Indonesia tidak pernah terjadi kini malahan yang ada kasus membawa nama “Agama.” Seperti yang kita ketahui bahwa Mohamed Salah menjadi magnet baru dalam dunia sepak bola, Salah berasal dari Mesir dan beragama Islam dan ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang pikirannya sempit (kolot) dan suka memprovokasi dengan melemparkan isu agama dalam memecah belah persatuan dan kerukunan antar umat beragama.
Isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk memecah belah persatuan dan menebar kebencian serta permusuhan antar sesama manusia. Untuk menghadapi orang seperti ini harus dihadapi dengan kepala dingin dan hati yang tenang serta berpikir ala filosof dengan cara reflektif sehingga bisa memberikan argumen-argumen yang menyejukkan.
Makna Rivalitas dalam Sepak Bola
Dalam dunia sepakbola ungkapan ‘Rivalitas’ tak asing bagi insan pecinta sepak bola, rivalitas menunjukkan adanya persaingan antara dua klub yang sama-sama ingin menjadi terkuat dan terbaik. Sebut saja rivalitas paling panas antara Real Madrid versus Bercelona dalam derby El-Classico (Liga Spanyol), Inter Milan versus AC-Milan derby Della Madonnia (Liga Italia), Derby Old Firm yang mempertemukan Glasgow Rangers versus Glasgow Celtic (Liga Skotlandia), Manchester Unitded versus Manchester City dalam derby Manchester atau Liverpool versus Manchester United dalam derby Klasik (Liga Inggris).
Derby dalam sepak bola merupakan pertandingan yang memanjakan mata karena menyuguhkan permainan dengan tensi panas, penuh gengsi dan tentunya menjaga marwah dan harga diri. Oleh karena itu, ketika pertandingan derby semua mata menyaksikan laga tersebut. Derby El-Classico, salah satu derby terpanas di benua biru memiliki pemain-pemain bintang kelas satu di alam jagat raya ini. Belum lagi masalah wilayah antara Madrid (Spanyol) dengan wilayah Bercelona (Catalunya) yang tidak bersahabat, Derby old firm di liga Skotlandia yang mempertemukan Glasgow Rangers versus Glasgow Celtic dan Liga Indonesia dalam derby Indonesia yang paling menyita perhatian pecinta sepak bola tanah air kala Persib Bandung bertemu dengan Persija Jakarta.
Masih banyak derby-derby lain yang menyuguhkan rivalitas paling panas. Hal positif dari adanya rivalitas adalah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menunjukkan siapa yang paling kuat dan dengan itu yang kuatlah yang menang, ini terbukti dengan gelar juara yang paling banyak diraih oleh klub-klub yang mempunyai rivalitas paling panas dan penuh dengan gengsi. Inilah sepak bola, namun ada juga orang-orang diluar sana yang pura-pura suka sepak bola membawa isu sepak bola ke arah lain yang bisa merusak persatuan dalam kehidupan berbangsa maupun beragama, oleh karena itu bersikap bijak lebih baik dalam melihat fenomena sehingga tidak terjadi gesekan permusuhan dan pertikaian antar sesama manusia baik itu dalam berbangsa maupun beragama.
*Penulis: KolumnisLintasGAYO.co