Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
Pokok permasalahan dalam kajian filsafat ketuhanan adalah konsep tentang keberadaan atau eksistensi Tuhan, kemudian apa buktinya kalau Tuhan itu ada?. Pertanyaan tersebut harus dijawab secara filosofis karena berangkat dari pertanyaan bersifat filosofis pula. Untuk bisa mengajukan pertanyaan secara filosofis maka harus berpikir ala filosof, berpikir ala filosof dengan mengajukan pertanyaan secara kritis dan menjawab segala pertanyaan untuk mendapatkan penjelasan yang bersifat holistik (Baca: Ketika Nabi Ibrahim Berfilsafat, LintasGAYO.co 03/27/2008).
Musa Asy’arie dalam bukunya “Islam, Kebebasan dan Perubahan Sosial: Sebuah Bunga Rampai Filsafat” menjelaskan bahwa ketika mempertanyakan perosalan tentang keberadaan atau eksistensi Tuhan bagi orang beriman dapat dianggap sebagai suatu perbuatan yang tercela. “Apakah Tuhan itu ada?” adalah suatu pertanyaan yang kita anggap hanya patut dikemukakan oleh orang ateis atau agnostis, orang tak beriman atau oleh skeptik saja, bukan oleh orang beriman atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kenyataan membuktikan bahwa banyak juga orang beriman yang dalam keadaan tertentu, kecewa dalam hidup dan sebagainya baik secara terbuka atau dalam hati mengajukan pertanyaan ini sebagai suatu pertanyaan yang eksistensial.
Perbuatan korupsi misalnya dilakukan oleh orang yang mempercayai adanya Tuhan, namun ia tetap saja melakukan korupsi. Dalam benaknya hanya dimasjid saja ada Tuhan dan ketika berada dikantor dipenuhi uang berlimpah maka Tuhan itu tidak ada lagi sehingga uang itu masuk dalam dompet, ia bebas melakukan apa saja termasuk korupsi. Begitu juga dengan kasus bunuh diri, apakah ia tidak percaya lagi pada Tuhan sehingga ia dengan paksa mencabut nyawanya sendiri. Bukankah mereka orang-orang yang percaya ada Tuhan namun seolah-oleh tidak percaya tentang keberadaan Tuhan.
Demikian juga banyak para ilmuwan dan kaum intelektual baik secara terus terang ataupun secara rahasia/diam-diam mempertanyakan tentang keberadaan Tuhan. Bagi rohaniawan ataupun teolog/pakar ilmu kalam, pertanyaan itu entah dari manapun (siapapun) datangnya tidak perlu dirisaukan, sebab konsep tentang Tuhan itu memang problematik secara filosofis maupun secara agamani, khususnya bagi pandangan yang monoteistik.
Tuhan dalam bahasa Yunani yaitu Theos serta dalam bahasa latin Dues, dalam mempercayai adanya Tuhan atau tidak mempunyai beberapa pemahaman seperti Ateisme, yaitu suatu kepercayaan atau aliran pandangan yang menganggap bahwa Tuhan itu tidak Ada (Baca: Ateisme, Lintasgayo.co 03/28/2017). Agnotisisme suatu pandangan yang menganggap bahwa tidak ada cukup alasan atau bukti untuk mengakui ataupun menolak keberadaan Tuhan sedangkan Deisme yaitu suatu pandangan yang mengakui adanya Tuhan yang pada waktu yang lampau menggerakkan dunia ini dan telah meninggalkannya sehingga dunia itu bergerak sendiri dengan hukum-hukum alamnya.
Harun Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya Jilid I, dijelaskan bahwa kepercayaan/keyakinan tentang agama ada yang bersifat primitif dan ada pula yang dianut oleh masyarakat yang meninggalkan fase keprimitifan. (Baca: Beragamakah Suku Manti?, Lintasgayo.co 04/15/2017). Agama-agama yang terdapat dalam masyarakat primitif ialah dinamisme (mengandung pada kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius), animisme (tiap-tiap benda baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa mempunyai roh) dan politeisme (mengandung kepercayaan pada dewa-dewa) atau henoteisme (mengakui satu tuhan untuk satu bangsa dan mengandung paham tuhan nasional, paham henoteisme ini seperti yang ada dalam masyarakat Yahudi yaitu mempercayai Yahweh sebagai tuhan nasional bangsa Yahudi. Sementara istilah Panteisme yaitu kepercayaan yang menganggap bahwa Tuhan itu identik dengan alam atau dunia secara keseluruhan.
Sedangkan dalam masyarakat yang sudah maju atau telah meninggalkan fase keprimitifan agama yang dianut ialah monoteisme. Dalam kepercayaan ini bahwa hanya ada satu Tuhan saja yang bersifat personal, yang menuntut kesetiaan mutlak dari makhluk umatnya. Dialah Sang Pencipta, Sang Khalik yang mempunyai sifat-sifat Ilahi yang superlatif.
Akhir dari tulisan singkat ini, kita kembali ke pertanyaan yang ada di atas; yaitu apa buktinya Tuhan itu ada?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita merujuk ke salah satu filosof Islam yang dijuluki filsuf Arab karena satu-satunya filosof yang murni berdarah Arab yaitu Al-Kindi yang lahir di Kota Kufah pada tahun 185 H/801 M. Beliau memberikan tiga argumen dalam membuktikan bahwa ada Tuhan, ketiga argumen tersebut yaitu: pertama, baharunya alam. Baharunya alam bahwa alam semesta adalah baharu yaitu diciptakan dari tiada dan yang menciptakan alam adalah Allah SWT.
Kedua, keanekaragaman dalam Wujud. al-Kindi memberikan argumennya tentang keanekaragaman dalam wujud bahwa menurutnya dalam alam empiris ini tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa keseragaman atau keseragaman tanpa keanekaragaman. Menurut al-Kindi terjadinya keanekaragaman dan keseragaman ini bukan secara kebetulan tetapi ada yang menyebabkan dan merancang sehingga terjadinya alam.
Argumen ketiga adalah kerapian alam, al-Kindi menjelaskan bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali tanpa ada yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendali adalah yang berada di luar alam dan pengatur dan pengendali tersebut tidak sama dengan alam, dzat pengatur dan pengendali tentu tidak bisa dilihat oleh mata, tetapi dzat tersebut bisa diketahui dengan melihat tanda-tanda atau fenomena yang terdapat di alam ini dan dzat tersebut yang disebut dengan Allah swt.
*Penulis, Alumni Pondok Pesantren Terpadu Nurul Islam Blang Rakal Bener Meriah, Kolumnis LintasGAYO.co dan Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam. Email: delungtue26@yahoo.co.id