Oleh : Johansyah*
Saya pernah mendengar seorang teman bercerita bahwa beberapa kali dia dimohon untuk mengisi acara di sebuah dinas/perkantoran. Seperti biasa, setiap dipanggil untuk mengisi acara, dia sanggupi dan terpaksa meninggalkan aktivitas yang sedang dia lakukan demi suksesnya acara. Tapi apa yang terjadi? Setiap acara selesai, panitia penyelenggara hanya mengucapkan kata berijin (terima kasih). Kejadian yang sama berulang di waktu yang berbeda, hanya ada bingkisan kata berijin.
Di Gayo, kata berijin memang sangat mulia dan agung. Ungkapan ini merupakan apresiasi seseorang atas jerih payah seseorang yang telah membantunya, baik secara moral maupun materi. Tapi, jerih payah dan waktu yang disisihkan orang demi suksesnya acara, dan dia rela meninggalkan pekerjaannya, cukupkah hanya dengan ungkapan berijin secara lisan? Apakah tidak ada apresiasi materi berupa imbalan uang sekedarnya sebagai penghargaan terhadap profesi dan waktunya, dan apakah itu salah kalau yang bersangkutan menuntutnya?
Saya yakin, setiap instansi/kantor, lembaga, maupun organisasi yang menyelenggarakan acara pasti sudah memiliki anggaran, mulai dari prosesi pembukaan acara hingga penutupan. Termasuk di dalamnya anggaran untuk pembaca al-Qur’an, pembaca do’a, MC, dan sebagainya.
Artinya kalau mereka diundang untuk mengisi acara, itu artinya sudah ada hak meteri mereka. Jadi tidak cukup hanya dengan berijin secara lisan. Kalau di masyarakat bisa jadi, pekerjaan ini banyak yang bersifat suka rela dan inisiatif pribadi. Bukan curiga, terkadang anggaran seperti itu sudah disiapkan, tapi tidak disampaikan pada yang berhak menerimannya. Hak ni jema igolonne (hak orang lain dirampas).
Anehnya, ada pula pembelaan diri dari orang seperti ini, dia membangun logika begini; “dia kan seorang ustadz atau tengku, kok minta imbalan, berarti dia tidak ikhlas dan materialis”. Bahkan mirisnya dibuat pula laqab (julukan) ke ustadz seperti ini “ustadz amplop” katanya. Logika apa ini? Logika sesat. Orang yang telah membantu menyukseskan acaranya dianggap tidak ikhlas, lalu haknya dirampas pula.
Pemaknaan ikhlas seperti ini menurut saya bias dan sesat. Antara ikhlas dan kondisi ril seseorang harus dilihat dengan jeli. Seseorang yang sudah membantu menyukseskan sebuah acara-katakan seorang qari atau ustadz, kalau satu kali mungkin dia tidak begitu terganggu, tapi jika sudah sering berulang dapat membuatnya tidak nyaman. Kecuali itu, ikhlas timbal balik. Kalau dia diundang dan apresiasinya hanya cukup dengan kata berijin, begitu juga orang yang mengundang, saat diundang atau dibutuhkan orang yang mengundangnya juga rela menerima perlakuan yang sama.
Sebagian orang tidak begitu, giliran orang lain dia tuntut ikhlas, tapi giliran dia ke orang lain, tidak siap ikhlas. Dalam istilah Gayo, karakter seperti ini adalah tejem kemili, tejem kujema, tumpul ku diri. Orang lain dituntun murah hati kepadanya, tapi dia sangat pelit pada orang lain. Hanya kesenangan dirinya yang dipikirkan, perkara kondisi masalah atau kesulitan orang lain tidak pernah peduli dan pura-pura tidak tau.
Menghargai Profesi dan Waktu
Ada dua alasan, mengapa seseorang layak untuk dihargai (dibayar secara materi). Pertama, petugas bernuansa keagamaan seperti membaca kalam ilahi atau membaca do’a untuk era sekarang sebenarnya sudah dapat dikategorikan sebagai profesi. Alasannya, bahwa mereka memiliki keahlian dalam bidang tersebut dan telah mencapai prestasi dari bidang yang digelutinya.
Aktivitasnya di bidang tersebut secara umum lebih dominan dibanding aktivitas bidang lainnya sehingga dapat dikatakan bahwa dia menggantungkan penghasilan dari bidang yang ditekuninya. Jadi kalau ada seorang qori atau ustadz yang memiliki skill khusus, mendedikasikan diri untuk bidang tersebut, dan menggantungkan penghasilan dari bidang yang ditekuninya, maka qari dan ustadz tersebut adalah profesi yang layak untuk dihargai jasanya.
Pada kenyataannya, ini bukan dianggap profesi dan dianggap sesuatu yang remeh. Padahal keberadaan mereka sangat berpengaruh dan menentukan dalam sebuah acara. Ke depan, pekerjaan penting seperti ini harus dikategorikan sebagai profesi yang tidak boleh dianggap remeh. Marilah berajar menghargai pekerjaan semacam ini.
Kedua, seseorang layak untuk dihargai karena waktunya yang tersita dan dibutuhkan. Keberadaannya mempengaruhi kualitas program atau acara yang diselenggarakan. Kealpaannya dapat membuat sebuah acara terkesan tidak sempurna. Maka oleh sebab itu, ketika seseorang menyanggupi (dengan kata lain membantu) suksesnya sebuah acara, maka dia layak bahkan wajib dihargai. Pertanyaannya, apakah semua orang memiliki skill yang dimilikinya, dan apakah kita mampu menggantikan perannya? Kalau tidak mampu, itu artinya kita butuh. Nah, kalau butuh, apa pantas kita tuntut dia ikhlas untuk dalih agar tidak perlu memberikan imbalan?
Hal yang harus diingat adalah bahwa kedatangan mereka itu bukan karena keinginan pribadi mereka. Mereka datang karena diundang oleh panitia karena mereka dibutuhkan. Etis tidak? Kita minta tolong kepadanya, memohon agar dapat mengisi sebuah acara, padahal di saat yang sama dia sedang melakukan pekerjaan penting. Tapi karena permohonan mendesak dari panitia penyelenggara, lalu dia akhirnya datang walau pun jaraknya sangat jauh dari posisinya. Lantas setelah acara selesai, panitia hanya mengucapkan hanya secara lisan “berijin pak”. Saya pikir ini tidak manusiawi.
Untuk apa mengkaji ikhlas atau tidaknya seseorang. Urusan ikhlas itu intrinsik, antara dia dengan Allah. Yang wajib dipikirkan adalah bahwa dia diundang karena skill dan waktunya tersita untuk kebutuhan kita. Maka oleh sebab itu hargailah! Kecuali itu, ketika mereka diberikan honororium, lalu mengatakan bahwa honornya sangat sedikit dan kalau selanjutnya seperti ini dia menyatakan tidak bersedia lagi. Ini baru bisa disebut “ustadz amplop” karena memasang tarif tertentu.
Dalam al-Qur’an maupun hadits, kita dituntun untuk menghargai jasa orang lain. Allah berfirman; “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6). Maknanya, setiap pekerjaan wajib disegerakan membayarkan upah (honor)-nya, jangan ditunda-tunda.
Dalam beberapa hadits, Rasulullah menegaskan; “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah). Begitu selesai pekerjaan, maka segera dibayarkan, jangan ditunda. Bahkan dalam hadits lain disebutkan; “menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) adalah kezhaliman” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalau begitu, marilah belajar menghargai profesi dan waktu orang. Jangan hanya berijin, sebab saya yakin kita sendiri tidak mau diperlakukan seperti itu. Dalam bahasa Gayo dikatakan; “cube gecep ku usi diri”. Wallahu A’lam!
*Johansyah adalah Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah