Oleh : Dr. Johansyah, MA*
Guru memiliki posisi penting dalam pendidikan. Berbicara pendidikan tidak akan lepas dari guru. Pendidikan terselenggara karena adanya guru dan orang yang dididik. Maka dengan kompleksitas masalah yang dihadapinya, guru perlu mempersiapkan diri dari berbagai aspeknya. Kegagalannya dalam menjalankan proses pendidikan menandakan dia kurang siap dari berbagai aspeknya. Sebaliknya, kesuksesannya dalam proses belajar mengajar menandakan bahwa dia siap segalanya.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai guru, ditemukan berbagai persoalan yang sering kali membuat guru buntu dan kehabisan akal bagaimana menecari solusinya. Terkadang karena kehabisan cara, marah dan menindak peserta didik secara berlebihan sering kali berujung pada pertikaian antara peserta didik dan guru. Bahkan tidak sedikit menjadi tragedi yang memilukan. Kita tidak ingin kasus meninggalnya guru SMA 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Ahmad Budi Cahyono (26) akibat dianiaya peserta didik, terulang.
Guru wajib memiliki kompetensi agar perannya sebagai pendidik dapat maksimal. Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 pasal 10 ayat 1 tentang guru dan dosen menyatakan bahwa: Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Keempat standar kompetensi tersebut wajib dimiliki oleh seorang guru.
Dari beberapa kompetensi ini, menurut saya kompetensi kepribadian perlu menjadi perhatian serius pemerintah. Aspek kepribadian harus menjadi prioritas. Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir b, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Pertanyaannya, faktor apa yang sangat mempengaruhi kepribadian seseorang? Ada 3, yaitu agama, budaya, dan ideologi bangsa. Agama adalah jalan hidup untuk mencapai kedamaian. Agama mampu menjawab hal-hal yang non-empiris. Di saat pengetahuan dunia ilmiah buntu, maka agama hadir menjawab persoalan hidup yang dihadapi seseorang.
Budaya adalah hasil karya dan karsa manusia sebagai respon bagi perkembangan masyarakat. Budaya membangun sebuah sistem nilai untuk dijadikan rujukan sehingga tercipta ketertiban, keamanan, dan kenyamanan. Sedangkan ideologi bangsa adalah falsafah hidup sebuah negara untuk menunjukkan khasnya sebagai sebuah negara, sekaligus dijadikan sebagai landasan pembangunan sebuah bangsa. Ketiga faktor inilah yang membentuk kepribadian seseorang.
Saya mau katakan bahwa pembentukan kepribadian guru berdasarkan konsep-konsep agama masih minim dikembangkan di pendidikan tinggi maupun pada program pelatihan tenaga pendidikan dan kependidikan.
Padahal agama (dalam hal ini Islam) cukup kaya dengan konsep ini, tapi hingga saat ini belum tergali secara maksimal. Mungkin ada yang memahami bahwa kajian konsep agama ini terlalu teoritis, bahkan melangit. Justru inilah yang diharapkan, teori-teori pendidikan seperti dalam al-Qur’an ini dapat membumi melalui kajian-kajian serius pendidikan.
Ada tiga pendekatan pendidikan yang menurut saya perlu dikuasai oleh guru. Pendekatan ini bahkan menurut saya sangat praktis, tidak sekedar teoritis. Pendekatan dimaksud adalah pendekatan pendidikan berdasarkan pendekatan dakwah yang diajarkan oleh Allah kepada nabi Muhammad, sebagaimana digambarkan dalam surah an-Nahl ayat 125.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. an-Nahl: 125).
Ada tiga pendekatan dakwah nabi yang terbukti efektif dan ini juga dapat dijadikan oleh guru sebagai pendekatan pendidikan, mengingat pendidikan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari dakwah. Inilah sebenarnya ilmu psikologi yang diajarkan al-Qur’an yang minim dipakai dikarenakan kita terpaku dengan konsep-konsep psikologi yang dianggap matang dan mapan. Bagaimana pun, psikologi Islam selalu mengandalkan aspek teosentris dan inilah yang membedakannya dengan psikologi umum yang hanya terpaku pada dimensi antroposentris. Tegasnya, kalau konsep psikologi yang berangkat dari al-Qur’an maka nilai-nilai yang melandasinya, bukan sekedar nilai-nilai empiris, tapi juga nilai-nilai transendental. Hal ini terlihat dari pemahaman tentang psikologi, bahwa sebagian pakar psikologi tidak sepakat dengan pengertian psikologi sebagai ilmu tentang jiwa manusia.
Mereka lebih sepakat dengan pengertian psikologi sebagai ilmu tentang perilaku, karena perilaku dapat diamati. Di sini terlihat bahwa pengertian kedua lepas dari nilai-nilai teosentris dan transendental.
Dalam upaya pengembangan dan penguatan kompetensi kepribadian guru, tiga pendekatan ini dapat dijadikan landasan dasar. Kenapa kita alergi dengan teori-teori al-Qur’an yang jelas-jelas sudah terbukti efektif? Lagi pula konsep-konsep yang ada tidak mampu menjawab persoalan pendidikan (Islam) dengan warna dan ragamnya.
Untuk itulah, maka seorang guru harus mendalami dan menguasai 3 (tiga) model pendekatan pendidikan perspektif al-Qur’an; pendekatan bi al-hikmah, mauizhati al-hasanah, dan wajadilhum billati hiya ahsan. Pendekatan bi al-hikmah berarti seorang guru harus memiliki sifat-sifat akhlak mulia, yaitu sabar, santun, tidak pantang menyerah, cerdas, jeli, berusaha memahami karakter peserta didik, senantiasa mencari cara-cara yang dapat menggugah hati peserta didik. Al-hikmah selanjutnya diperkuat dengan pendekatan yang kedua, yaitu mauizhati al-hasanah dengan memberi nasehat yang dapat menggugah hati peserta didik. Materinya bisa saja dari al-Qur’an atau peristiwa-peristiwa yang ada di sekitarnya.
Pendekatan yang ketiga adalah wajadilhul billati hiya ahsan. Dalam kondisi tertentu, seorang pendidik atau guru dapat saja mendapat bantahan dari peserta didik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka dalam hal ini, guru dihimbau untuk bermujadalah dengan cara yang baik, tidak mudah terpancing, emosinya terkendali dan terus berusaha meyakinkan peserta didik untuk mau menjauhi keburukan dan gemar berbuat baik.
Dengan menggunakan 3 model pendekatan pendidikan ini, kompetensi kepribadian guru diharapkan dapat tertata dengan baik. Ketika kompetensi kepribadian ini bagus, maka kompetensi lain dapat berjalan dengan maksimal pula. Jika kepribadian ini rapuh, maka bagaimana pun hebatnya kompetensi lain, baik kompetensi profesional maupun pedagogis, proses pendidikan tetap tidak maksimal karena substansinya terabaikan, yakni kepribadian guru. Wallahu a’lam!
*Johansyah, Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah.