Harga Kopi Gayo Tinggi ; Pedagang dan Petani Untung Eksportir Rugi, Kenapa?

oleh
Buyer kopi dari Royal Coffee USA bersama petani kopi Gayo anggota Koperasi Ketiara

Harga kopi arabika Gayo terus merangkak naik. Dua hari lalu, harga kopi Gayo mencapai 75 ribu rupiah perkilo gram. Harga ini naik 3 ribu rupiah dari dari harga jual per 20 Januari 2018, yang mencapai harga 72 ribu rupiah.

Menurut salah seorang pelaku kopi di Gayo, Armiadi, harga 75 ribu tersebut dengan kadar air 13 sampai 14 persen dan trase 8 persen. Harga kopi saat ini menurut diperkirakan akan terus naik. Diprediksi, harga akan mecapai 80 ribu rupiah. Fenomena harga seperti ini pernah terjadi pada tahun 2011 silam.

Lalu apa untung rugi dari melonjaknya harga kopi Gayo ini. LintasGAYO.co mencoba mengulas permasalahan ini dalam bentuk logika sederhana.  Minimnya hasil panen yang sudah berlangsung sejak tahun lalu, menyebabkan tingkat produksi petani kopi di Gayo. Disaat itu pula, tingkat permintaan terhadap kopi Gayo meningkat. Dalam hal ini terjadi hukum ekonomi, yang sering terjadi dalam dunia bisnis dan perdagangan.

Secara ekonomi, petani kopi di Gayo memperoleh keuntungan dengan naiknya harga kopi. Namun, keadaan itu berbanding terbalik dengan eksportir kopi Gayo. Kenapa hal itu terjadi, Armiadi yang juga bekerja di KBQ Baburrayan, sebuah koperasi ternama di Aceh Tengah dengan jenis usaha eksportir kopi memberikan alasannya.

Saat ini katanya, para pedagang pengumpul dan petani tengah dalam kondisi untung. Para pedagang pengumpul, menjual kopi ready ekspor dengan harga 74 sampai 75 ribu rupiah. “Kurang dari situ, pedagang tak mau menjual ke pengekspor,” kata Armiadi.

Akibatnya kata Armiadi, para pengekspor terpaksa beli rugi. Kenapa hal itu terjadi?, owner Asa Kopi Gayo ini mengatakan, saat ini, beberapa eksportir masih memiliki beberapa nilai kontrak dengan buyer. Kontrak ini merupakan lanjutan dari tahun-tahun sebelumnya.

Memenuhi kontrak lama bersama buyer dimana, harga kesepakatan yang dipakai adalah harga saat kontrak, bukan harga saat ini. “Nilai kontrak bersama buyer jauh lebih rendah dibandingkan harga sekarang. Mau tak mau eksportir terpaksa beli rugi, untuk memenuhi kontrak kepada buyer, jika tidak akab terkena pinalti,” sebutnya.

Meski buyer dan eksportir punya kesepakatan menunda pengiriman, namun hal itu akan beresiko saat penundaan terlalu lama. Akhir 2017, harga kontrak rata-rata exsportir kopi adalah $ 5,5 atau sekitar Rp. 72.600 (kurs rupiah Rp. 13.330/USD). Dengan harga kontrak tersebut jika dikonversi dengan harga kopi saat ini, eksportir akan mendapat kerugian sekitar 5 ribu rupiah perkilo gramnya.

“Namun tidak semua eksportir mengalami kerugian, karena ada dari beberapa eksportir punya kontrak harga $5,8 sampai $ 6,2. Dengan nilai kontrak itu, eksportir masih mendapat keuntungan,” terang Armiadi, Minggu 28 Januari 2018.

Permasalahan lain, sebut Armiadi, beberapa eksportir hingga awal tahun 2018 ini masih belum berani mengambil tawaran dari beberapa buyer luar negeri. Saat ini, tawaran buyer perkilo gram kopi ready ekspor mencapai $6,5 atau setara 86.450 rupiah. “Meski harga ini cukup tinggi, namun eksporti belum berani tanda tangan kontrak. Masih ada ketakutan, harga akan terus naik, lantaran produksi kopi petani hingga saat ini belum menggembirakan,” katanya.

Meski pedagang dan petani diuntungkan pada kondisi ini. Armiadi mengatakan, hal itu tidak sepenuhnya benar. Dengan berkurangnya ekspor kopi, petani dan pedagang pengumpul sedikit banyaknya pasti terimbas. Produksi yang sedikit, akan mempengaruhi sistem perekonomian lokal di Gayo. Karena sebagian besar masyarakat Gayo bergantung pada hasil produksi kopi.

[Darmawan Masri]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.