Jadi Pengarung Jeram Penutup di Tahun 2017, Ini Keseruannya

oleh

Oleh : Hefa Lizayanti*

Arung jeram? Bikin pingin lagi, lagi dan lagiii… Asli, ga cukup sekali. Anak-anak kami, terutama Fatiya, menyatakan begitu. Bundanya juga. Semacam memiliki sensasi seru tak berkesudahan.

Akhirnya sore ini, kesampaian juga mengikuti wisata olah raga baru nan keren di Tanoh Gayo, Arung jeram. Bahasa kerennya rafting. Berlokasi di Sungai Peusangan, dimulai dari bawah jembatan Lukup Badak, perbatasan Kecamatan Pegasing – Bies, dan berakhir di Kampung Saneheh, Kecamatan Silih Nara.

Wisata arung jeram di Aceh Tengah ternyata cukup aman. Aliran sungainya, juga pengawalnya. Yup! Arung jeram ini dikawal langsung oleh atlet-atlet dari Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) Aceh Tengah. Sepanjang ingatan saya, ada dua anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Takengon yang termasuk atlet dan pengawal/pengemudi perahu (skipper) arung jeram ini : Sofia Toyumi dan Waddah Wifi Oneyx. Tadi, hanya Waddah yang kami temui di sana.

Mencoba arung jeram sudah kami rencanakan dengan Chi Echie. Menuntaskan penasaran. Sepertinya heboh banget wisata ini. Seseru apa sih? Padahal lokasinya hanya 5 menit berkendara dari rumah. Tapi kami belum sempat mencoba berarung jeram.

Maka jam 10.55 WIB, kami, dua keluarga lengkap, siap menuju jembatan Lukub Badak untuk berarung jeram. Anak-anak dan emaknya yang paling semangat. Sedangkan bapak-bapak kepala keluarga kami cenderung khawatiran. Tapi tak ada kata mengalah, rencana harus dijalankan.

Alhamdulillaah, bapak-bapak kepala keluarga kami lebih khawatir menghambat kebahagian istri ketimbang kemungkinan bahaya arung jeram yang akan dihadapi. Jadi yaaa… begitulah. Mereka tetap menemani kami ke Lukup Badak.

Sampai di sana, kami disambut Waddah dan Ayu. Saya dikabari bahwa seba’da zhuhur, Mak Eviza Hayati juga akan turun berarung jeram bersama Orin dan abinya. Ga janjian sih, alamat ga bertemu juga, pikir saya.

Ternyata, jam segitu saja sudah ramai masyarakat yang bertujuan sama, wisata arung jeram. Memanglah, wisata ini sedang naik daun. Dua perahu sudah mengarung, satu perahu lagi kosong. Tapi baju pelampung dan helm tidak cukup. Satu perahu muat 6 orang dewasa dengan 1 atau 2 skipper. Artinya, untuk memastikan safe dengan perlengkapan komplit, kami harus menunggu.

“Tapi kabarnya ibu gubernur dengan rombongan sudah di jalan Kak, mau kemari. Kayaknya mereka dululah yang diturunkan. Sabar-sabarlah sebentar kita di sini.” Demikian Waddah menginfokan.

Baiklah. Perkiraan kami rombongan ibu gubernur tidak ramai. Bisa jadi cukup sekali berangkat sekaligus tiga perahu, berarti kami ‘hanya’ menunggu sekitar satu jam.

Tapi tatkala rombongan ibu gubernur tiba, kami berubah pikiran. Ruamenya maa syaa-a-llaah… mana 2 perahu yang sedang mengarung belum juga kembali. Hmm… kayaknya bisa nih pulang dulu ke rumah, masak, makan, shalat, santai-santai, ntar agak sorean balik lagi. Kami bersepakat pulang dulu.

Sampai di rumah, anak-anak tidak tenang. Fatiya izin main ke rumah kawannya, lalu pulang bersama Haura dan Feiza-nya Rahmi Nia Ivana, shalat zhuhur dan makan, kemudian main lagi. Ternyata sepanjang main, cerita mereka melulu seputar betapa arung jeram itu membuat penasaran. Dua anak di rumah ga jauh beda. Sebentar-sebentar bertanya, “Bunda, can we go now to Lukup Badak?” Alamaaak… sungguh serangan bertubi-bertubi terhadap stabilitas emosi sang bunda.

Ketika akhirnya kami siap berangkat kembali, Faqih tertidur, sehingga ayah memilih tinggal di rumah menjaga Faqih. Dan ternyata, Aunty Echi juga sudah bobok cantik. Eh tapi, ada keluarga lain yang berminat luar biasa mencoba arung jeram, atas dasar cerita penuh provokasi Fatiya, kehebohan anak-anak dan semangat sang emak, K’ Rahmi. Jadilah, 2 emak, 5 anak, dengan 2 sepeda motor. Bismillaah… semoga rombongan ibu gubernur sudah pulang.

Alhamdulillaah, sampai di sana, rombongan ibu gubernur sudah meninggalkan tempat. Tapi masyarakat yang hendak berwisata arung jeram, semakin ramai. Ada keluarga Kak Eviza Hayati juga yang sudah lebih dulu tiba dan menunggu giliran, sembari menikmati jagung bakar. Lhaaa kami akan tergilir tidak ya sore ini?

Masih menunggu, bosankah? Saya sih tidak. Ada rajutan yang setia menemani kemana-mana.

Kak Rahmi Nia Ivana memilih mengawal anak-anak sekalian jadi juru foto. Mak Eviza Hayati sibuk ganggu anak laki-laki orang yang lucunya minta ampun dan digendong kesana kemari. Semoga segera hadir ya Mak… Anak-anak bermain kreatif. Dari pegangan tangga yang dijadikan perosotan, izin mengetik di hp bunda, lari sana-sini, terakhir pesan dan makan jagung bakar.

Kami bersemangat dan cukup senang saat beberapa keluarga akhirnya memilih pulang dan akan mencoba berarung jeram esok hari saja. Tentu saja ini membesarkan peluang kami berkesempatan menikmati arung jeram sore ini. Mungkin rumah mereka jauh. Mungkin mereka khawatir kemalaman. Mungkin mereka tidak suka kehujanan. Apapun yang mungkinlah. Intinya ini menjadi kabar baik bagi kami.

Lalu tibalah waktu ‘ashar. Saya gelisah bolak balik ke kamar mandi yang hanya satu-satunya, urutan antrian masih lumayan, sedangkan air sisa sedikit. Solusi air mudah. Tinggal menciduk dengan ember dari sungai. Urusan kamar mandi yang cuma sebiji itu yang susah. Anak-anak juga harus berwudhu’.

Sementara mereka masih berjibaku menghabiskan jagung bakar, saya izin ke Kak Rahmi hendak berwudhu’ ke kantor saja yang jaraknya hanya sekitar 1 menit dari Jembatan Lukup Badak. Sampai di kantor, rupanya semua ruangan kerja dikunci, sebab sedang ada pekerja renovasi. Ya sudahlah, nanggung, sekalian pulang ke rumah saja berwudhu, sambil melihat kalau-kalau Faqih sudah bangun, bisa sekali ajak dengan ayahnya.

Sampai di rumah, ternyata Faqih masih sangat lelap. Saya berwudhu’ cepat-cepat, lalu segera kembali ke Lukup Badak, shalat di mushalla sana saja, khawatir anak-anak kecarian.

Setibanya di Lukup Badak lagi, Mak Evi melaporkan, bahwa Faheema baru saja ber-make-up ria dengan arang. Jilbab putihnya, wajah dan tangan sempurna bernoda hitam. Saat bunda memperhatikan, nodanya tinggal sisa-sisa. Sudah dibersihkan sebisanya oleh ‘Ammah Rahmi.

Ah, Faheema. Engkaulah simbol totalitas dan realitas dunia bermain anak-anak dalam keluarga kita. Tidak setengah-setengah. Tak cukup imajinasi. Semua harus nyata hadir, berwujud dan berbekas. Memanfaatkan segala yang ada. Lanjutkan nak!

Tak lama usai kami bergiliran shalat ‘ashar, hujan turun dengan deras. Bersamaan dengan tibanya 2 perahu karet dari garis finish dan akan diturunkan lagi ke sungai. Para tim dari FAJI Aceh Tengah mengatakan bahwa sekarang giliran kami. Ya memang hanya tinggal kami dan satu kelompok lagi, yang lain sudah pulang. Kami pun menerima jacket pelampung, helm dan paddle atawa kayuh.

Bismillah… meskipun hujan menderas, kami tak patah semangat. Anak-anak juga semakin senang, sebab bisa menikmati main air dengan dua cara sekaligus. Hujan-hujanan dan arung jeram.

Ada cerita berkesan saat tim kami akan turun. Ketika anggota FAJI Aceh Tengah melihat ada Abi Orianna (suami Mak Eviza Hayati) dalam tim kami, serta merta mereka kompak menyeru, “Udah tu, itu aja sekalian supirnya. Ga perlu skipper lain.” Yang ditunjukpun bersedia dengan senang hati. Istrinya juga tertawa-tawa gembira, walaupun di awal-awal sempat bergaya tarik ulur menolak. Cieee… cieee… pura-pura jangan, khawatir, padahal senang banget tuuu.

Oke, balik ke cerita, akhirnya begitulah. Kami yang sama sekali tidak punya pengalaman arung jeram ini di-skipper-i oleh Abi Orin di belakang perahu, dan Ayu di depan perahu, dibantu Bu Eviza Hayati. Dalam pengarungan, kami mendapat kejutan dengan manuver Abi Orin yang memutar perahu sehingga melaju dengan arah belakang di depan. Jadi kami memunggungi arah arus sungai. Subhaanallaah… cukup menambah keseruan kami jelang maghrib kemarin. Abi Orin juga sempat terjun merenangi sungai untuk mengukur kedalaman. Lalu Ami Orin pun meluncur ke luar perahu, ikut berenang juga sejenak. Saya dan Kak Rahmi cukup menyemangati saja, secara masing-masing kami mengawal 2 dan 3 anak.

Kilas balik sebentar saat shalat ‘ashar. Ada yg lucu dan tak boleh dilewatkan. Bagi yang sudah membaca tentang antrian ke kamar mandi sehingga saya akhirnya memilih berwudhu’ di rumah, nah, anak-anak kami tidak ada yang bersedia meninggalkan lokasi hatta untuk berwudhu’. Mereka konsisten antri. Haura-nya Kak Rahmi Nia Ivana paling terakhir dapat giliran karena beberapa kesulitan.

Ketika akhirnya Haura selesai berwudhu’, Haura bermasalah lagi dengan urusan memilih mukena. Sedari awal sudah saya tawarkan pakai kaos kaki yang memang saya sediakan khusus untuk shalat saja. Merasa ga enak, Haura menolak. Lalu Haura berusaha memilih mukena yg tersedia. Ternyata tidak ada yang nyaman di hatinya. Terakhir Haura shalat juga dengan meminjam kaos kaki.

Efek lama pilah pilih, tepat saat Haura akan shalat, perahu karet sampai kembali ke atas Jembatan Lukup Badak. Fatiya cs heboh. “Sekarang giliran kita Kak Hauraaa…” Katanya berulang-ulang sembari loncat-loncat di mushalla. Haura galau. Saya & Kak Rahmi senyum-senyum saja. Haura makin galau. Lanjut shalat, takut ketinggalan arung jeram. Meninggalkan shalat, gimana ya? Bersalah pada hati.

Akhirnya saya memilih bersuara. “Shalat terus, Kak Haura. Masih sempat. Kami tunggu. Lagian itu perahunya masih harus diturunkan ke sungai.” Haura segera mengambil posisi dan menunaikan shalat ‘ashar. Alhamdulillaah.

Usai Haura shalat, perahu sudah sedia untuk kami naiki. Tapi hujan menderas. Subhaanallaah, kalimat-kalimat penguat dari Kak Rahmi menjadikan kami lebih bersemangat dan sepenuhnya berharap pada Allah. Lebih kurang begini kalimatnya (seingat saya dengan bahasa saya), “Ayo, tetap bersemangat, kita berdo’a saja pada Allah, semoga saat kita mengarung, Allah meredakan hujannya.” Wow, seluruhnya yakin akan kekuatan do’a dan mulai berdo’a semoga Allah meredakan hujan agar kami lebih menikmati arung jeram.

Masalah selesai? Belum ternyata. Helm kurang 2. Baiklah, dua emak memilih tidak menggunakan helm. Anak-anak diutamakan. sekali lagi meyakinkan diri bahwa Allah akan menjaga kami. Setelah semua siap dengan jaket pelampung, anak-anak sudah memakai helm, Abi Orin sudah diserahi tugas sebagai skipper tim kami, Ami Orin ( Eviza Hayati ) tidak tolak menolak lagi dengan anggota FAJI. Kami berbaris untuk dokumentasi perdana sebelum mengarung oleh Kak Ayu. Selesai berfoto, kami menaiki perahu. Semua anak dibantu naik oleh Abi Orin, kecuali Feiza. Dia hanya mau naik dengan Ine (Gayo : ibu)-nya.

Setelah semua duduk tertib di perahu, Kak Rahmi mengaba-aba membaca do’a berkendaraan lagi, semua mengikuti, kami mulai mengarung. Subhaanallaah… hujan benar-benar berhenti. Sempurna untuk mengambil foto di pengarungan. Kak Rahmi, walaupun hujan dan tidak memiliki saku, baik saku di baju maupun saku/tas khusus anti air, nekat menyertakan gawai canggihnya dalam pengarungan. Khawatir tidak ada kenangan yang tersimpan dan bisa dilihat saat mengarung. Simpan di saku rok saya pun jadilah. Padahal sudah saya ingatkan, saya tidak yakin saku rok saya bebas basah dari hujan maupun cipratan air sungai. Alhamdulillaah, kenekatan Kak Rahmi membuat kami memiliki stok foto yang cukup untuk dibagi dengan kawan-kawan semua.

Foto hanya bisa diambil saat perahu melintas di arus yang tenang. Kala melintasi jeram, awalnya saya khawatir anak-anak akan ketakutan. Lalu saya ingatkan, “Apa yang kita ucapkan saat susah berjalan?” Serentak anak-anak menyahut, “Takbiiiir… Allaahu akbar! Allaahu akbar! Allaahu akbar!” Maasyaa-a-llaah, pengarungan kami jadi bernuansa aksi solidaritas saja. Penuh takbir dari suara-suara pengarung cilik di sana sini.

Ikut diramaikan dengan seruanseruan semacam ‘huuu’ ketika seru melintasi jeram, lalu teriakan melepaskan beban emosi ‘haaa!’ yang dipandu Kak Evi beberapa kali. Saat semua meneriakkan ‘haaa!’, Feiza yang paling kecil di antara kami justru menangis. Ia ketakutan mungkin dengan gempuran semangat dari suara-suara lantang di sekelilingnya.

Di perjalanan, Ayu aktif mengarahkan, bagaimana kalau terlalu ke pinggir, cara mengamankan kayuh agar tak terbentur pinggiran atau batu di area-area jeram, arah yang harus diambil pada cabang-cabang sungai, juga bersama Kak Eviza Hayati kompak mengintruksikan, “Kalau Kakak bilang ‘bun!’ itu semua harus merunduk yaaa… ‘Bun’ artinya merunduk.”

Setidaknya ada beberapa kali kami merunduk. Pertama ketika melewati pohon-pohon yang cabangnya menjorok ke badan sungai, lalu saat melewati jembatan penghubung yang jembatan asalnya sangat rendah melintas di atas sungai masih dibiarkan ada, lalu saat melewati seutas tali kawat yg membentang lumayan rendah juga di atas sungai.

Alhamdulillaah, tidak ada insiden. Anak-anak mengikuti instruksi dengan sangat baik. Anak-anak senang melihat kincir air masih berputar dan berfungsi mengairi sawah di pinggir sungai di kawasan Kampung Lenga, bertanya dan kami jelaskan sebisanya. Fatiya sempat komplain melihat sampah-sampah plastik di pinggiran sungai. Jelas terlihat sebab dia duduk di sisi kanan perahu, ikut mendayung.

Faheema sibuk bernyanyi, bicara, melobi saya minta diizinkan mendayung, ber-hi five setiap kali berhasil melewati jeram, dan sebagainya. Haura dan Danish sempat tukaran tempat, sebab Danish ingin merasakan mendayung juga. Orin lebih santai dan kalem, karena sudah beberapa kali pengalaman mengarung. Hanya sekali merengek minta diizinkan cebur ke sungai dan berenang juga seperti aminya.

Ups! Nyaris terlewat! Ayu menghibur kami yang mendapat giliran mengarung terakhir hari itu.

“Selamat yaaa… Kalian adalah tim arung jeram penutup tahun 2017!”

Jelas, kami selesai dan tiba kembali di jembatan Lukup Badak saat azan maghrib berkumandang. Tidak ada arung jeram malam hari. Besok sudah 1 Januari 2018.

Sejujurnya, salute dengan ketangguhan stamina skipper arung jeram yang notabene adalah anggota FAJI Aceh Tengah. Sejak pukul 09.00 pagi mereka bergantian turun mengawal pengarung. Bergantian berselang seling sampai maghrib tiba. Basah, kadang kuyup dalam hujan, sepanjang hari. Hanya bermodal perapian kecil sebagai penghangat saat tukar giliran. Semoga Allah senantiasa menjaga kalian.

Sampailah kami di wilayah Kampung Sanehen. Dari sungai, kami melihat mobil hijau sedang memutar arah.

“Nah, kita sudah sampai. Mobilnya sudah datang menjemput kita kembali ke Lukup Badak.” Kata saya.

Kompak anak-anak mengajukan seruan-seruan kecewa. Masa cuma segini? Lanjut lagilah, ulang lagilah, kami masih mau, kami belum puas, dan protes-protes lain lancar sahut menyahut dari bibir-bibir mungil ini. Maa syaa-a-llaah. Para emak hanya bisa menenangkan. Sudah mau maghrib, lain kali kalau Allah izinkan kita ulang berarung jeram.

Anak-anak masih tidak mau beralih dari seruan-seruan kecewa dan belum puas. Padahal sudah lebih kurang 1 jam mengarung sungai. Tapi mau bagaimana lagi? Alhamdulillaah, tetap banyak pelajaran dan kesan indah dan seru yang tertinggal. Buktinya sampai hari ini anak-anak belum usai bercerita tentang keseruan arung jeram.

Ada yang mau mencoba? Ayo ke Gayo!.[]

*Hefa Lizayanti lahir di Banda Aceh 28 Februari 1984. Anak pertama dari 6 bersaudara ini merupakan istri dari Sayid Fadhil Asqar.

Aktif menulis sejak 2002, tepatnya sejak bergabung dalam Forum Lingkar Pena Wilayah (FLP) Aceh. Sebagian besar karya dari ibu tiga anak ini telah dimuat di Tabloid Jum’atan Gema Baiturrahman, Banda Aceh. Satu cerpen berjudul Mak Ipah pernah dimuat di Serambi Indonesia (tahun 2004).

Menetap di Takengon sejak 2006. Lalu pada 2014 bersama suami menggagas Rintisan Komunitas Kepenulisan Takengon (RIKOKETA) yang kemudian mengokohkan posisi sebagai FLP Cabang Takengon. Saat ini, ia memegang amanah sebagai Ketua FLP Takengon yang pertama.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.