Pernikahan yang Bertanggung Jawab; Secara Ilahiah dan Secara Insaniah

oleh
Ulama Kharismatik Gayo, Mahmud Ibrahim dan Mahbub Fauzie

Oleh: Mahbub Fauzie*

Ulama Kharismatik Gayo, Mahmud Ibrahim dan Mahbub Fauzie

Pernikahan dalam pandangan Islam bukan hanya semata-mata urusan kehalalan hubungan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Melainkan juga sangat terkait erat dengan adanya rasa tanggung jawab, baik secara ilahiah dan sekaligus tanggung jawab insaniah. Konsekwensi ini merupakan hal yang niscaya mengingat pernikahan di dalam ajaran Islam mengandung aspek ibadahdan juga aspek muamalah.

Aspek ibadah dalam pernikahan adalah suatu perbuatan yang memiliki kaitan dengan pengamalan ajaran agama sebagai implementasi perintah Allah Swt. Pernikahan adalah satu di antara perintah Allah Swt sebagaimana tersebut dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain dalam Surah An-Nur ayat 32, yang artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.

Karena merupakan perintah Allah Swt, maka pernikahan memunculkan konsekwensi rasa tanggung jawab ilahiah bagi pasangan suami istri (pasutri) yang menikah. Diawali dengan  keharusan niat dan cara yang benar dalam pelaksanaannya. Pernikahan harus sah secara hukum agama dan dijalankan sesuai tuntunan syari’at-Nya.

Semua tindakan dan prilaku pasutri dalam pernikahan dan perjalanan kehidupan keluarganya akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di yaumul hisab (hari perhitungan) baik yang tidak diketahui maupun yang diketahui oranglain,  sebagaimana tersurat dalam Firman Allah Swt Surah Yasin (36) ayat 65.

Kesadaran akan rasa tanggung jawab kepada Allah Swt dalam pernikahan menyebabkan suami isteri akan saling menjaga diri masing-masing, baik saat pasangannya (zawaj) ada disampingnya maupun ketika tidak berada disampingnya, karena meyakini bahwa Allah Swt pasti melihatnya. Sebaliknya, jika mengabaikan atas tanggungjawab ilahi membuat pasutri hanya akan menjalankan kehidupan pernikahannya dengan baik jika pasangannya atau orang lain mengetahuinya, atau dengan kata lain suka bersandiwara.

Sikap saling setia antara pasutri bukan semata-mata karena pasangannya menghendaki kesetiaan, tetapi terutama karena Allah Swt menghendaki hal yang demikian. Sebab diciptakan pasangan suami isteri adalah untuk saling menentramkan, saling mengasihi dan saling menyayangi (QS. Ar-Rum ayat 21). Selain itu, Allah Swt juga menegaskan bahwa pernikahan merupakan perjanjian yang kokoh (mistaqan ghalizhan) yang tentunya disadari oleh pasutri untuk saling menguatkan dan mengokohkan jalinan hubungan rumah tangga mereka.

Itulah kesadaran yang musti diwujukan dari rasa tanggung jawab Ilahiah bagi suami dan isteri dalam perjalanan hubungan pernikahannya. Insya Allah kesadaran tersebut akan melahirkan rasa saling percaya atas pasangannya, saling menjaga diri dan kehormatan diri dan juga kehormatan pasangannya. Kesalingan ini akan melahirkan kesetiaan dan rasa tanggung jawab kepada sesamanya, selain tanggung jawab kepada Allah Swt.  Dengan demikian nilai ibadah dalam pernikahan akan benar-benar teraktualisasi dalam kehidupan rumah tangga.

Implementasi aspek ibadah dalam pernikahan juga seiring sejalan dengan aspek muamalahnya. Pada saat yang sama, pernikahan melahirkan hubungan-hubungan tanggung jawab antar sesama, mulai dari tanggung jawab suami terhadap isteri, tanggung jawab isteri terhadap suami dan tanggung jawab keduanya dengan manusia lain di sekitar kehidupan sosialnya. Termasuk tanggung jawab sebagai warga masyarakat maupun tanggung jawab sebagai warga negara.

Sebagai warga masyarakat dan warga negara, tentunya harus mematuhi aturan-aturan yang ada. Pertama, pernikahan juga harus sah secara hukum sebagaimana ditetapkan oleh negara. Keabsahan pernikahan dalam hukum positif negara akan berkaitan dengan hak dan kewajiban seluruh anggota keluarga di hampir semua aspek hehidupan (Buku: Fondasi Keluarga Sakinah, Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA dan Bina Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, 2017 : 6).

Perkawinan (pernikahan) yang hanya sah secara hukum agama namun tidak sah menurut hukum negara, maka kewajiban masing-masing pihak tidak akan bisa dikontrol oleh negara dan hak-hak mereka dan anak mereka pun tidak bisa dlindungi dan tidak bisa dilayani oleh negara. Misalnya jika pernikahan tidak dicatatkan dalam dokumen negara, maka pernikahan dan segala implikasinya tidak akan muncul dalam dokumen-dokumen negara, seperti akte kelahiran anak, Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan lain-lain.

Oleh karena itu, dihimbau dan diharapkan kepada warga masyarakat yang hendak dan telah menikah sudah semestinya memahami hal tersebut demi kemaslahatan pernikahan serta keluarganya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Artinya, kesadaran atas kewajiban dan tanggung jawab insani ini hendaknya menjadi kesadaran bagi semua kita.

Dengan memahami tanggung jawab ilahi dan tanggung jawab insani dalam pernikahan diharapkan bisa melahirkan kesadaran bagi pasutri dan masyarakat akan pentingnya kepatuhan hukum, baik terhadap hukum agama dan sekaligus terhadap hukum negara serta norma-norma masyarakat yang berlaku. Sebab, semangat untuk tertib pada pelaksanaan ajaran agama dan juga aturan yang ada, maka dampak dan maslahatnya akan kembali kepada kita juga.

Dalam ajaran Islam di tegaskan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan seseorang, baik atau buruk, termasuk dalam pernikahan maka dampaknya akan diterima orang itu, hal ini tersurat dan tersirat dalam Surah Al-Isra’ ayat 7 : “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri…”. Nah?

*Mahbub Fauzie adalah pelayan masyarakat dari KantorKementerian Agama yang bertugas di KUA Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah. Email : mahbubfauzie@gmail.com

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.