[Cerpen] Riwayat Inengku

oleh

[Cerpen] Riwayat Inengku

Ivana Zara Zeta, RJ

TUHAN bekehendak, tidak ada yang menyangka akhirnya kami harus hidup tanpa seorang kepala rumah tangga yang menjadi imam, rasanya seperti tidak biasa dan juga melelahkan untuk dapat mencari nafkah agar bisa melanjutkan pendidikan bagi ke delapan adik-adikku. Kami ditinggalkan oleh ama saat aku masih kuliah semester lima di salahsatu Peguruan Tinggi Negeri di Kutaraja.

Aku anak sulung dari sembilan orang bersaudara. Adik-adikku masih kecil-kecil dan masih sangat membutuhkan kasih sayang dari seorang ama. Disaat yang sama sebagai putri sulung, aku harus memerankan diri sebagai pengganti ama.

Ama meninggalkan kami karena penyakit jantung yang dideritanya, yang menggerogoti dirinya secara tiba-tiba. Kabar yang datang padaku tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi di rumahku, mereka mengatakan bahwa ama-ngku sedang menderita sakit di rumah sakit dan merindukan diriku, karenanya aku harus pulang dari rantau.

Jenazah ama-ngku yang terbaring di atas tempat tidur yang dibaringkan di ruang tengah rumah seakan seperti menunggu kepulanganku ke rumah yang terletak di pinggir jalan depan masjid kampung Umang Cucut.

Sepanjang perjalanan dari Banda Aceh menuju Aceh Tengah dengan ibu kota Takengon dataran tinggi Gayo kendaraan umum yang kami tumpangi terasa melaju sangat lamban, perasaanku yang tidak enak seperti mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.

Hatiku yang gelisah dan tidak sabar ketika tiba di halaman rumah, menginjak keset di depan pintu dan memandang lepas ke ruang tamu dimana tergantung bingkai foto tua ke delapan adik-adikku direntangi jaring laba-laba.

Namun semua itu hanya ada dalam bayangnaku. Ingin melihat keadaan ama yang sebenarnya, membuat tidurku tidak nyenyak sepanjang perjalanan pada malam itu. Dalam lelahnya perjalanan yang lumayan jauh itu akhirnya membuatku tertidur. Ketika aku terbangun perjalanan sudah semakin mendekati kota tujuan, tidak lama lagi kami akan tiba. Hanya butuh waktu satu jam saja sebelum tiba di terminal.

Dari terminal menuju ke rumah di pinggiran kota Takengon arah barat kampung Umang Cucut jaraknya lumayan jauh saat itu. Karena pada tahun 1986 itu belum ada angkutan khusus yang antar jemput atau kendaraan sewa lainnya, baik angkutan roda tiga ataupun ojek apalagi angkot.

Butuh waktu 30 menit lagi untuk tiba di rumah. Saat itu kebetulan saya bersama abang sepupu yang menemani, namanya Darwin. Kami menumpangi angkutan umum sejak dari Banda Aceh hinggga tiba di terminal kota dingin Takengon yang masih terletak di Belang Mersah terminal lama, tepatnya di jalan Lintang hari ini.

Sewaktu tiba di perbatasan antara Kampung Tansaril dan Kampung Umang kami turun dari kendaraan, tepat di salahsatu simpang tiga jalan menuju Kampung Sadong dan Belang Gele. Dari simpang ini kami melangkah ke arah kanan dengan empat tikungan dan jalan yang menanjak. Berjalan kaki menuju rumah yang disalah satu sudutnya terdapat sebuah mesin jahit punya ine-ngku, Ine Kamsiah Inen Perdi.

Dalam keadaan gelisah dan penuh rindu melihak kondisi ama aku bertanya kepada bang Darwin, sepupuku.

“Bang kita langsung ke rumah sakit saja agar bisa secepatnya melihat kondisi ama atau kita terlebih dulu ke rumah ?”

Bang Darwin dengan tenang seolah menyimpan sesuatu yang ia ketahui kemudian  menjawab.

“Kita beristirahat saja dulu di rumah, nanti kalau sudah hilang rasa lelah baru kemudian kita pergi ke rumah sakit!”, kata bang Darwin dengan tenangnya.

Sementara aku hanya dapat menundukkan kepala mendengar jawaban sepupuku itu tanpa membantah.

Setelah beberapa waktu kemudian langkah kaki kami menuju rumah. Dalam penuh tanda tanya itu perasaanku seperti berkata lain. Ada sesuatu yang tidak lazim. Suasana dan lingkungana rumah sangat sepi seperti tidak ada orang di dalam rumah. Meski demikian kutenangkan hati, aku berpikir bahwa semuanya pasti sudah menginap di rumah sakit.

Pintu depan rumah yang tidak terkunci itu pun kubuka perlahan, dan rasa sedih dengan hati gundah menyapa seketika. Derai tangis dan air mataku sungguh tak tertahankan. Tanpa kusadari tangisan yang keras membuat seisi rumah ikut terharu dan menangis bersama.

Kabar dan alasan yang mereka berikan kepadaku sejak dari Banda Aceh dan sepanjang perjalanan membuat hatiku tambah sedih.

“Seharusnya aku mengerti apa tamsil dari kabar yang kuterima hingga sesegera mungkin aku harus kembali ke Umang, rumah dimana ama, ine serta kedelapan adik-adikku telah menunggu”. Hatiku yang belum bisa mengikhlaskan kepergian ama tercinta itu membuat kerinduan dan air mata kembali mengalir.

Sejak saat itu, sebagai anak sulung aku berusaha memenuhi segala kebutuhan keluarga menggantikan peran ama yang telah mendahului kami menghadap sang Khalik. Mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga membiayai kuliah dan sekolah ke delapan adik-adikku. Mengajar mengaji, menjadi guru honorer kulakoni sepenuh hati.

Terkadang aku tidak tega dan merasa sangat sedih karena harus meninggal kan ine-ngku sendiri mengurusi dan menjaga ke delapan adik-adikku, meski kini akulah kepala rumah tangga mengganti kan ama.

Puji syukur kepada yang Maha Kasih dan yang Maha Penyayang, pergantian hari, bulan dan tahun satu-satu pendidikan adik-adikku terselesaikan. Alhamdulillah, aku dan tujuh orang adik-adikku mendapat pekerjaan yang layak. Ada yang menjadi guru seperti almarhum ama, ada juga yang bekerja sebagai pegawai pemerintah.  

Rasa syukur yang tak terhingga kepada yang Maha Kuasa, terharu dan bahagia rasanya menyaksikan mereka satu persatu menerima gaji bulanan dari kantor mereka masing-masing.

Walaupun masih berharap kesuksesan ini masih bisa dinikmati dan di rasakan oleh ama kami, tapi itu hanya bisa terjadi di dalam mimpi. Kini hanya doa-doa yang kami hatur dan panjatkan dengan sepenuh jiwa kepada yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dari anak-anak dan cucu-cucunya yang mulai merangkak dewasa. Allahummagfirlahu warhamhu waafihi wa’fuanhu. [SY]

Ivana Zara Zeta RJ,  adalah siswi kelas 3 MTsN Negeri 1 Takengon. Lahir pada tahun 2004. Anggota Teater Reje Linge dan Komunitas Sastra Bukit Barisan Takengon, Aceh Tengah.

*Dikurasi dari judul semula “Akan Ku Jaga 8 Adik Ku”, Cerita dirangkum dari kisah nyata ibu kandung penulis, Juraini, S.Ag., S.Pdi.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.