Oleh : Yandri Syafputra*
MASYARAKAT Indonesia mengenal istilah musik, baru pada tahun 1949 yakni pada zaman kolonial Belanda. Istilah menyebut sebuah pertunjukan dengan ‘musik’, kemudian berkembang di sejumlah wilayah Indonesia, terutama di kota-kota besar. Selanjutnya, penyebutan istilah musik berkembang di lembaga seni formal. Celakanya, istilah musik ‘dipaksakan’ untuk menyebut kesenian tradisional yang ada di daerah-daerah, di desa/tempat tumbuh dan berkembangnya musik etnis seperti Aceh, Minangkabau, Kalimantan, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, wilayah yang mempunyai kebudayaan yang kuat atau katakanlah masyarakat primordial (pra-modern), istilah musik tidak populer. Misalkan saja dalam wilayah kebudayaan Aceh, Jawa dan Minangkabau.
Seniman autodidak/seniman tradisi tetap menyebut kesenian tradisional langsung merujuk kepada nama pertunjukannya, misalkan “Talempong pacik”, “Gandang Tambua”, “Saluang” dan lain sebagainya. Sampai hari ini, masyarakat Minangkabau tidak pernah menyebut talempong pacik dengan musik talempong pacik, gandang tambua dengan musik gandang tambua. Begitu juga di Aceh, fenomena demikian juga terjadi.
Para pelaku kesenian tersebut, tetap menyebut pertunjukan kesenian tradisional langsung merujuk kepada alat musik yang dimaksud. Contoh: Rapai, bukan musik Rapai. Serunee Kalee, bukan musik Serune Kalee, dan seterusnya. Orang-orang yang menyebut istilah ‘musik’ untuk menamai sebuah pertunjukan kesenian di Indonesia hanyalah orang yang bersembunyi di balik baju ilmiah, latah budaya, kegaya-gayaan, buta sejarah dan kadangkala ditunggangi oleh ideologi kapital-kolonial.
Istilah Musik
Pada dasarnya, masyarakat Indonesia tidak ada mengenal istilah musik dalam kebudayaannya. Kata musik yang diwacanakan oleh bangsa Eropa tersebut lebur dalam peristiwa konkret yang ada dalam setiap pertunjukan kesenian tradisional yang ada di Indonesia. Hanya saja, agresi dan intervensi bangsa Eropa pada masa dahulu sangat kuat terhadap Indonesia, makanya dengan mudah bangsa Eropa menularkan apa yang diwacanakannya.
Hal ini juga didukung oleh media, kaum aristokrat yang semakin melegitimasikan, bahwa bangsa Eropa adalah bangsa yang paling kuat, hebat dan di atas segala-galanya. Bagaikan gayung bersambut, di pusat ibukota Jakarta, media gencar me-propagandakan kata musik dalam siaran televisi. Bahkan, kata musik disandingkan dengan Indonesia, musik Indonesia! Keadaan ini membuat masyarakat Indonesia pada hari ini dengan terpaksa dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyetujui, bahwa segala sesuatu yang mempunyai unsur bunyi adalah musik.
Maka, tak heran gelapnya “hutan belantara” musik di Indonesia semakin gelap dan sulit dilacak. Hal ini diakibatkan minimnya pengetahuan masyarakat Indonesia tentang musik. Musik Indonesia. Pada kenyataannya musik yang berkembang di tengah masyarakat adalah musik Barat yang dipopulerkan oleh orang Indonesia. Musik Barat yang menggunakan bahasa Indonesia. Keputusan untuk menyebut suatu pertunjukan musik dengan alat musik Indonesia dan bahasa Indonesia sebagai musik Indonesia merupakan suatu kesilapan yang harus disadari. Buka kulit, tampak isi.
Begitulah seharusnya, bila memberi label Indonesia dalam suatu jenis musik tertentu. Tidak sepenuhnya bisa dibenarkan, apa yang disukai oleh mayoritas masyarakat bisa mewakili kebenaran untuk semuanya. Tidak serta-merta, musik yang sering dipertontonkan di televisi, artis, grup band adalah musik yang betul-betul mewakili musik Indonesia. Sebagian besar adalah musik industri. Musik yang ditunggangi oleh kepentingan sebuah kelompok, kelompok kapitalis. Bila ingin melihat musik yang mewakili kebudayaan Indonesia, jawabannya adalah musik tradisional. Musik yang tumbuh dan berkembang di etnis tertentu. Rapa’I Pase, Rapa’I Uruh dan Rapa’I Pulut yang ada di Aceh bisa menjadi contoh konkrit. [SY].Tamat
*Yandri Syafputra, Alumnus magister musik Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Pengajar di ISBI Aceh. Dapat dihubungi di: yandri.syafputra06@gmail.com.
Baca : https://lintasgayo.co/2017/04/21/wajah-musik-indonesia-hari-ini-bag-1