Oleh Radensyah
AKIBAT telah melemahnya pendidikan spiritual, Sifat dan tindakan manusia pada zaman ini sudah sangat meresahkan khususnya generasi muda. Teori barat berhasil menyusup ke celah-celah sistem pendidikan kita dimana mereka lebih memprioritaskan kemampuan intelektual daripada spiritual. Berdasarkan fenomena yang kita saksikan secara nyata maupun melalui media, terbukti manusia saat ini nafsu buruk lebih mendominasi dalam dirinya daripada dasar spiritual. akalnya tidak lagi berdasar pada nilai spiritualnya sehingga tidak mampu berpotensi menciptakan kebermanfaatan untuk dirinya dan orang lain, tetapi menjadi sumber bencana.
Teori dan konsep negatif dari barat mampu memisahkan ilmu pengetahuan dari dasar spiritual. Paham dari barat masuk dengan berbagai cara, salah satunya melalui konsep pendidikan yakni mengutamakan kemampuan kognitif (Cognitive Domain). konsep ini berbentuk taksonomi hasil rumusan Benjamin, S. Bloom. Jika ini terus diterapkan, maka Hasilnya tidak menutup kemungkinan adalah berakal tapi mengakal-akali, bergelar tapi tidak benar, egois, bernafsu keakuan dan akan menjadi sosok materialisme tulen.
Menurut ahli linguis-pragmatik asal gayo yakni Dr. Joni, MN, posisi Kognitif yang ditempatkan dibagian pertama dalam taksonomi Bloom ini tidak tepat. Maksudnya, ini mempengaruhi metode dan tujuan pembelajaran yang secara otomatis kita akan terpengaruh/fokus terhadap kemampuan kognitif peserta didik dan kurang memperdulikan kemampuan spiritualnya. Selanjutnya Beliau juga menjelaskan, jika dicari secara kajian linguistik bahwa afektif dalam taksonomi bloom ini tidak mengarah kepada jiwa (pendidikan jiwa), tapi lebih kepada perilaku. Perilaku disini jika ditinjau dalam pemaknaan-kajian pragmatik terutama femungsiannya tentu sangat berdampak negatif karena lepas dari spiritual (soul-innerself) manusia. Dengan demikian lahirlah perilaku yang dibuat-buat dan instan, bukan perilaku berdasarkan akhlak sesungguhnya.
Terkait pendidikan di indonesia, Dr. Johansyah, MA dalam headline buku Beliau yang berjudul Pendidikan Karakter berpendapat, “Pada medan realitas, pendidikan kita ternyata lebih mengedepankan aspek pengayaan pengetahuan, dan terkesan mengabaikan aspek pembentukan akhlak. Perubahan demi perubahan dalam kebijakan pendidikan juga masih dominan pada reformasi simbolik-kuantitatif, bukan reformasi substantif-kualitatif.” Menurut saya ini benar, sekarang pelaku pendidikan lebih kepada membangun “teks” bukan “konteks”, inilah sumber kemunduran pendidikan kita. ini terjadi akibat ketidakjelian kita selama ini memahami kebutuhan dasar peserta didik dan terlalu khawatir jika otak(akal) peserta didik lemah, sehingga kitapun terdorong untuk memberlakukan konsep yang seharusnya tidak diterapkan.
Penerapan pembelajaran yang berdasar pada kemampuan kognitif dapat melemahkan kemampuan spiritual itu sendiri. Ciri-ciri pembelajaran yang cenderung pada kemampuan kognitif diantaranya, implementasi evaluasi pendidikan yang terlalu memprioritaskan berdasarkan penilaian angka. Kemampuan Peserta didik dipaksakan diukur dengan kemutlakan rumus, lebih mendahulukan paradigma kuantitas dari pada kualitas. Dari segi pendidikan bahasa, penerapan bahasa lebih kepada kaidah atau tata bahasa, bukan kearah berbahasa-melibatkan konteks. Seharusnya hal ini menjadi sarana sekaligus wadah bagi kita untuk mengintegrasikan ajaran Agama dan nilai-nilai Budaya. Wadah sudah kita miliki dan budaya kita juga kaya akan nilai-nilai, ini seharusnya membantu kita mewujudkan generasi yang maju secara spiritual, bukan hanya kemampuan kognitif semata.
*Penulis adalah anggota team kajian ilmu kegayoan-gayology Pinangan, berasal dari Rime Raya Kec. Pintu Rime Gayo.