Easy to Find Gayo

oleh
Loyang Ujung Karang

Catatan Khalisuddin

Bersama Uffe dan arkeolog Taufiqurrahman di Pantan Terong

EASY to find, itulah kalimat singkat yang diungkapkan seorang turis asal Denmark, Mr. Uffe Gram Wilken dalam perbincangan tentang situs pra sejarah Loyang Mendale dan Ujung Karang dan objek wisata lainnya milik Aceh Tengah sambil ngopi Arabika Gayo di Bandara Rembele menunggu jadwal terbang kepulangannya ke Denmark, Rabu 1 Maret 2017.

Dia bukan turis sembarang, tapi menjabat sebagai Communications Officer Centre for GeoGenetics Natural History Museum University of Copenhagen Denmark. Berkunjung selama 3 hari ke Takengon setelah sebelumnya bersepakat dengan Balai Arkeologi Sumatera Utara akan membantu penelitian arkeologi di Loyang Ujung Karang dan Mendale yang dipimpin DR. Ketut Wiradnyana.

Easy to find, dia ungkapkan setelah mengunjungi Loyang Ujung Karang, Loyang Mendale, puncak Al Kahfi Pantan Terong serta menikmati citarasa Arabiko Kopi Gayo di beberapa Coffee Shop, termasuk di Negeri Kopi milik tokoh penulis Muhammad Syukri.

Easy to find yang berarti mudah menemukannya. Betapa tidak, hanya 1 jam dari Kualanamo Medan dia sudah berada di Bandara Rembele Bener Meriah. Kurang dari setengah jam berada di puncak Singah Mata dan sekilas menyaksikan indahnya kota Takengon dan Danau Lut Tawar, green and beautiful. Begitu katanya.

Menuju Situs Loyang Ujung Karang melintasi semak belukar

Lima belas menit berikutnya dia sudah berada dalam kamar hotel di Takengon. Tidak kurang daei 10 menit dia sudah berdecak kagum di Loyang Ujung Karang. Hanya 5 menit dia sudah bengong seakan tak percaya di Loyang Ujung Karang. Dia memberikan nilai 8 untuk temuan-temuan Dr. Ketut dan kawan-kawan di kedua situs tersebut.

Berbeda dengan situs-situs lain di belahan dunia yang umumnya sulit ditemukan, ada yang tenggelam ditengah bangunan pencakar langit, berbilang juga yang harus menempuh perjalanan berjam-jam dari pusat keramaian.

Situs Ujung Karang dan Mendale, hanya 2 kilometer dari pusat kota Takengon, tidak perlu banyak tanya sana-sini, cukup cari saja sisi barat danau Lut Tawar, dan cari sisi selatannya.

Temuan para Arkeolog Balai Arkeologi Sumatera Utara ini menurut Mr. Uffe bernilai 8. Penilaian menggembirakan, objektif dari seorang pejabat teras Centre for GeoGenetics Natural History Museum University of Copenhagen Denmark.

Lalu bagaimana nilai pengelolaannya. Uffe tidak mau banyak berkomentar karena tidak ingin pernyataannya menjadi amunisi senjata politik menyerang pihak-pihak tertentu.

“Soal ini atasan saya Ketut, bagaimana baiknya menurut dia sajalah,” katanya berdalih. Dia tidak mau terjebak urusan politik yang kerap dimanfaatkan untuk memojokkan pihak-pihak tertentu.

Namun dia terlihat mengernyitkan dahi saat berada di Loyang Ujung Karang. Harus melalui jalan rusak dan sempit, tempat parkir mobil tidak tersedia, melintasi jalan setapak bersemak yang sebagiannya mesti dilewati dengan jongkok. Lalu membaca papan nama situs yang kurang tepat penempatannya dengan kosakata yang tidak tepat pula “Open Site Ujung Karang Situs”.

“Aduh malu kita, situsnya babak belur,” ujar Dr. Ketut Wiradnyana disela menjelaskan temuan-temuannya di Loyang Ujung Karang tersebut. Lontaran tersebut beberapa kali juga diucapkan di Loyang Mendale.

Loyang Ujung Karang

Pernyataan Ketut ini wajar, selain kondisi kedua situs yang mulai diteliti sejak tahun 2009 itu belum ditangani selayaknya destinasi wisata budaya, pendidikan yang tak ternilai, duplikat-duplikat kerangka manusia juga hancur, pecah-pecah alias babak belur akibat alam atau sengaja dilempari orang.

Mirisnya, situs tersebut bersih saat akan dimulai penelitian saja. Di lain waktu terkadang dijadikan warga sebagai Tempat Pembuangan Sampah, rumah tangga atau bekas reruntuhan bangunan.

“Saya jadi mikir kenapa cerewet sama kamu, apa urusan saya dengan kondisi situs ini mau hancur ya hancurlah, yang penting sudah saya teliti dan saya laporkan hasilnya ke publik. Saya juga bukan orang Gayo kok. Atau mungkin saya ini sudah terlanjur jatuh cinta sama Gayo ya?,” ungkap Ketut bernada rasa bersalah karena coco alias kebablasan diluar kapasitasnya.

Uffe bersama Ketut di Loyang Peteri Pukes

Begitu kata Ketut kepada saya. Dan selaku teman, dia sering menjadikan saya ‘tong sampah’ kekecewaan soal ketidakfahaman para pihak untuk kedua situs ini.

Setelah ditelusuri, alasan klasik muncul, proses pengalihan status kepemilikan lokasi belum selesai. Bisa bermasalah dengan hukum jika digelontorkan kebijakan pembangunan sarana-prasarana.

Pertanyaan muncul, kenapa kendala ini tidak kunjung rampung, kesimpulan sederhananya adalah gagal komunikasi yang dipicu gagalnya pemahamanan akan nilai penting situs tersebut.

Loyang Mendale dari udara. (foto : Taufiqurrahman)

Saran Mr. Uffe, di kedua situs ini harus disediakan informasi, dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Menurut Uffe, situs Ujung Karang dan Mendale sangat penting dan salahsatu bukti adanya kebudayaan tua di dunia.

“Buatkan juga di media anda informasi tentang situs ini dalam bahasa Inggris agar mudah ditemukan di pencarian online ” saran Uffe.

Keinginan ini juga diutarakan seorang guru Biologi di MAN 2 Aceh Tengah, Ria Ariawati Ib yang menginginkan murid-muridnya lebih memahami tentang evolusi.

“Sulit mendapatkan informasi soal temuan jejak nenek moyang Urang Gayo,” kata Ria beberapa waktu lalu. Dia juga kecewa ada bagian-bagian penting berupa duplikat kerangka manusia sudah hancur akibat tidak permanennya pengamanan.

Dia menyarankan agar dipajang foto-foto ukuran besar tentanga benda apa yang ditemukan ditempat tersebut, berikut dengan keterangan. Tujuan agar orang yang berkunjung bisa segera faham akan apa yang dikunjunginya.

Siswa dan guru MAN 2 Takengon di Loyang Mendale

Untuk kerangka manusia baik di Loyang Ujung Karang maupun di Mendale, walaupun duplikat sebaiknya dijadikan wajib untuk ditampilkan, karena orang dari golongan apapun tertariknya kepada kerangka manusianya.

Dan mudah-mudahan saja hasil uji DNA dan Carbon Dating oleh Centre for GeoGenetics Natural History Museum University of Copenhagen Denmark terhadap kerangka manusia yang ditemukan samping batu Inen Mayak Pukes segera mendapatkan hasilnya, agar semakin kuat alasan kenapa harus datang ke gua tersebut. Ada folklor ada juga ilmiah, tentu sangat menarik.

Buku Tanoh Gayo Riwajatmoe Doeloe

Kurangnya informasi diakui Ketut Wiradnyana. Dan pihaknya dari Balai Arkeologi dibawah naungan Kemendikbud RI tidak bisa berbuat banyak. Namun tetap berupaya, hasilnya di pertengahan Maret 2017 ini digulirkan program Rumah Peradaban yang dipusatkan di Loyang Mendale Takengon dengan salahsatu paket kegiatannya ada penerbitan buku berjudul ‘Gayo Riwajatmoe Doeloe’ yang diberikan kepada perwakilan siswa dan masyarakat.

Program Rumah Peradaban merupakan sarana edukasi dan pemasyarakatan hasil penelitian arkeologi untuk memberikan pemahaman tentang sejarah dan nilai budaya masa lampau dalam upaya melek budaya, pencerdasan bangsa, penumbuhan semangat kebangsaan, dan sumber inspirasi bagi pengembangan budaya yang berkepribadian.

(silahkan klik DISINI untuk mengetahui seluk-beluk program tersebut)

Seberapapun hebatnya kepedulian pihak lain terhadap kita, tentu tidak akan berarti apa-apa dan akan kembali ke titik nol bahkan minus jika kita tidak peduli terhadap kita sendiri.

Ya, Gayo memang negeri yang sudah easy to find. Kopi, panorama Lut Tawar dari Pantan Terong dan tentu situs mahal Loyang Ujung Karang dan Loyang Mendale. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.