Islam, Nasionalisme, dan Nalar Kebangsaan Generasi Muda

oleh

Muhamad Hamka*

HARI-hari ini kita menyaksikan betapa generasi muda Indonesia terjebak dalam pergesekan yang diametral. Hal ini, di sukai atau tidak, tak terlepas dari Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 silam yang masih menyisakan “keterbelahan politik” yang menganga-lebar. Ruang interaksi sosial kita sebagai bangsa pun tercabik oleh hujatan, caci-maki dan sumpah serapah.

Generasi muda yang di harapkan menjadi katalisator dan elanvital perubahan bagi bangsa ini, justru terjebak dalam keterbelahan politik diatas. Di media sosial, betapa kita terperangah dengan hujatan dan sumpah serapah yang hadir berseliweran. Berita-berita hoax pun hadir silih berganti mencemari akal sehat banyak generasi muda. Semangat cinta tanah air (nasionalisme) pun menguap dan makin tergerus, seturut dengan semakin intensnya penetrasi ideologi-ideologi transnasional yang ekstrim. Narasi bangsa kita yang religius dan kental dengan spirit nasionalisme, pun nyaris tumbang dalam kebencian, saling curiga, serta ruang dialog yang tersumbat akibat persepsi yang di kelolah secara sepihak.  

Hal ini tentu menghadirkan kegundahan bagi kita sebagai bangsa. Betapa tidak, generasi muda yang diharapkan bisa merawat akal sehat dan “menenun” nalarnya dengan baik untuk perubahan dan kemajuan negeri ini, justru terperangkap dalam disorientasi berbangsa. Ini tentunya, sekali lagi merupakan ironi bagi bangsa yang mayoritas warganya menganut Islam ini. Sementara kita tahu Islam sangat menganjurkan solidaritas sosial sebagai manifestasi habbluminnanas.

Sebagaimana yang tergambar dengan sangat terang dan jelas dalam Al.Quran “….Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat berat siksaaNya.” (QS.Al-Ma’idah ayat 2). Namun celakanya, kecendrungan yang berkembang saat ini justru tolong-menolong dalam menebarkan permusuhan. Seolah belum menjadi manusia Indonesia, kalau belum saling fitnah, saling hujat hingga bersumpah serapah.

Kalau generasi muda tidak keluar dari “jebakan” destruktif ini, maka kosekwensinya sangat serius bagi perjalanan bangsa ini kedepan, ditengah kepungan globalisasi dan dinamika sosial-politik mondial yang semakin rumit. Olehnya itu, di tengah percaturan politik dan ekonomi global yang semakin kompetetif dan dinamis, sangat dibutuhkan soliditas dan peneguhan simpul-simpul kebangsaan. Tak boleh ada lagi penegasian nilai-nilai Islam dan kebangsaan.

Menegasikan spirit Islam yang universal dengan nilai-nilai nasionalisme sebagai khasanah bangsa dalam membangun nalar kebangsaan kita, tidak saja membuat solidaritas kebangsaan kita tercabik, namun juga mengingkari hakikat berdirinya Republik ini yang tegak di atas perjuangan dan semangat nasionalisme para syuhada Islam. Untuk itu, disinilah di butuhkan paduan dan sinergitas antara Islam sebagai kekuatan mayoritas bangsa dan nilai serta semangat nasionalisme sebagai khasanah dan warisan kebangsaan para pendiri Republik.

Untuk itu, generasi muda sebagai pionir dalam mengatur laju navigasi bangsa ini kedepan, harus punya karakter epistemologi (baca:pengetahuan) yang kuat terkait relasi harmoni antara Islam di satu pihak dengan semangat nasionalisme di lain pihak dalam membangun etos kebangsaan. Karena Islam dengan nasionalisme sesungguhnya tidak ahistoris dalam sejarah kebangsaan kita. Sebagaimana sudah di singgung di muka, bahwa kemerdekaan Republik ini tidak terlepas dari semangat nasionalisme para syuhada Islam. Semangat nasionalisme para syuhada ini, tentu saja selaras dengan Sabda Rasulullah saw bahwa “cinta tanah air adalah sebagian dari iman” (hubbul wathan minal iman).

Sejatinya, semangat nasionalisme merupakan tabiat yang sangat manusiawi. Sehingga, setiap orang sudah pasti ingin tanah airnya maju, beradab dan aman. Bahkan akan sangat marah ketika tanah airnya tidak di hormati dan di lecehkan oleh bangsa lain. Dan ini seturut dengan ajaran Islam yang memosisikan sikap nasionalisme atau cinta tanah air sebagai bagian dari iman. Rasulullah saw sendiri pernah mengekspresikan kecintaanya kepada negeri Mekkah sebagai tempat kelahiranya. Sebagaimana yang di riwayatkan Ibnu Hibban berdasarkan penuturan Ibnu Abbas ra berikut ini.

Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu.” (HR. Ibnu Hibban). Sehingga jelas dan terang bahwa Islam sangat menganjurkan cinta tanah air.

Lalu bagaimana agar generasi muda mampu mengharmonikan Islam dengan spirit nasionalisme dalam membangun nalar kebangsaanya? Ini tentu menjadi pertanyaan yang fundamental di tengah tercabiknya solidaritas kebangsaan kita. Merawat nalar kebangsaan generasi muda; yang cinta tanah air, humanis dan religius tentu tak semudah membalikan telapak tangan. Ada banyak tantangan yang hadir; mulai dari dinamika politik internal bangsa yang tidak begitu stabil, hingga penetrasi kepentingan global yang semakin menggila.

Maka disinilah di butuhkanya konstruksi epistemologi yang kuat bagi semua generasi muda, bahwa nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi nasionalisme harus “merasuki” jantung kebangsaan kita. Semangat cinta tanah air yang digambarkan oleh Islam sebagai bagian dari iman harus bisa menginternalisasi dalam nalar dan karakter kebangsaan generasi muda kita. Bahwa semangat nasionalisme yang merupakan tabiat manusia jangan sekadar meliuk dalam slogan dan jargon partai politik (parpol), politikus dan pejabat pemerintah.

Kalau saja nilai-nilai Islam yang terkait dengan spirit nasionalisme ini mampu “menginjeksi” dalam nalar kebangsaan generasi muda kita, maka kita layak membangun optimisme bahwa perbedaan-perbedaan yang ada dan acap kali merobek rajutan kebangsaan kita, akan bisa terjembatani dalam nilai dan semangat cinta tanah air.

Persoalan kita selama ini adalah konstruksi nalar dan karakter kebangsaan kepada generasi muda yang masih cendrung “terkanalisasi” dalam kerangka normatifisme. Sehingga terbangun paradigma, bahwa semangat nasionalisme hanya bisa tumbuh dalam deretan aturan-aturan hukum yang kaku dan memaksa. Akibatnya, rasa nasionalisme generasi muda tidak tumbuh dalam kesadaran kemanusiaanya. Namun, hanya sekadar kepatuhan yang tidak berimplikasi secara luas dalam aktus kehidupanya.

Sehingga jangan heran kalau nasionalisme hanya bergemuruh dalam ruang-ruang seremoni, meliuk dengan “genit” dalam ruang-ruang seminar para pejabat, elit politik dan aktivis papan atas. Hingga tercecer dalam tumpukan-tumpukan diktat dan proposal para pengamat dan intelektual. Hasilnya, begitu kegiatan selesai, maka menguap pula semangat nasionalisme tersebut seturut dengan hadirnya dinamika dan isu-isu baru.

Oleh karena itu, membangun karakter epistemologi yang mengharmonikan Islam dengan semangat cita tanah air ini mutlak di bangun. Dan semuanya harus di mulai dari pendidikan. Karena hanya melalui pendidikanlah; paradigma, sikap dan perilaku umat manusia dapat berubah dan tercerahkan. Hanya lewat pendidikanlah, kita bisa melakukan “ziarah” kemanusiaan.[]

*Penulis tetap di LintasGAYO.co, tinggal di Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.