71 Tahun, ‘Puber ke Tiga’ Pers Kita?

oleh

Refleksi Hari Pers Nasional

Catatan: Iranda Novandi

HARI ini, 9 Fabruari 2017, sadar atau tidak sadar, pers kita (Indonesia) sudah berusia 71 tahun. Satu usia yang sudah sangat sepuh untuk ukuran manusia. Dalam usia yang sangat sepuh ini pula, pers Indonesia memasuki ‘puber’ ke tiga.hpn-2017-ambon

Dalam berbagai sumber menyebutkan, puber atau pubertas adalah masa ketika seorang mengalami perubahan fisik, psikis, dan pematangan fungsi seksual. Pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan berlangsung dengan cepat.

Memasuki masa puber ini, banyak cobaan yang dialami oleh anak manusia. Saat puber petama, anak-anak mulai memasuki akhir baligh. Anak manusia menuju masa dewasa. Masa puber ke dua, di analogikan, kebiasaan orang dewasa dan sudah berumah tangga, mulai memasuki tahapkan kritis, bahkan cenderung euporia kembali ke masa remaja.

Sedangkan, pubertas ke tiga merupakan tahapan akhir dari kehidupan manusia, yang cenderung bertingkah kembali ke masa anak-anak bahkan cenderung ingin diperhatikan lebih, oleh siapapun termasuk lawan jenis.

Dalam masa pubertas ini, setiap tahappnya manusia cenderung menghadapi cobaan yang teramat berat. Tinggal, sikap dan prilaku serta tingkat keimanan manusia untuk bisa menangkal itu semua.

Lalu, apa hubungannya dengan pers Indonesia. Di Indonesia, fase kemerdekaan Pers itu, berjalan dan berkembang mengikuti masa kepimpimpinan pemerintah saat itu. Dari catatan sejarah, perkembangan kemerdekaan pers itu, ada lima fase yakni fase Orde Lama, Orde Baru, Era Reformasi dan Era Pers Bebas serta terakhir Era Pers Hoax.

Dari lima fase ini, ada tiga fase yang bisa dikatakan teramat berat, yakni fase Pers Orde Lama, fase Pers Orde Baru dan fase Pers Hoax. Ketiga fase ini menujukan pasang surut dunia kewartawanan di Indonesia secara umum.

Kongres Berdirinya PWI. (Ist)

Nah… dalam perjalanannya, perkembangan pers di Indonesia masa puber itu sudah dilalui dalam tiga tahap. Pada puber pertama, yakni masa perjuangan. Pers di masa ini dalam proses mencari indentitas sejati.

Dimana, pers bersama komponen bangsa lainnya berjuang untuk bisa mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Menghadapi masa ini, pers juga mengalami masa yang sangat sulit dan banyak cobaan yang mendera.

Mulai dari masa orde lama, pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno, Pers dinilai salah satu alat perjuangan kemerdekaan negeri ini, sehingga tak mengherakan bila saat usia kemerdekaan RI masih berusia 7 bulan, lahirlah satu wadah organisasi pers yang diberi nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Tepatnya 9 Februari 1946, PWI dilahirkan di Kota Surakarta, setelah para wartawan, tokoh pers, pemimpin suratkabar, majalah dan pejuang wartawan se Indonesia berkumpul. Kemudian, saat memasuki usia ke 32, pada Kongres Ke-16 PWI di Padang, Desember 1978, diusulah hari lahirnya PWI ini menjadi Hari Pers Nasional.

PWI Pusat yang saat itu dikomandoi Harmoko mengusulkan salah satu keputusan Kongres kepada pemerintah agar menetapkan tanggal 9 Februari sebagai HPN. Namun, tidak sertamerta pemerintah menyetujuinya. Baru setelah tujuh tahun menunggu, pemerintah menyetujuinya. Melalui Surat Keputusan Presiden No. 5/1985, maka hari lahir PWI itu resmi menjadi HPN. Dimana saat itu, Harmoko sudah menjadi Menteri Penerangan RI, sejak tahun 1983.

Wadah ini, pada masa itu diharapkan menjadi satu-satunya wadah tempat bernaungan para insan Pers Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Wadah ini juga bersama-sama pemerintah dan masyarakat Indonesia umumnya terus berjuang untuk menyuarakan kemerdekaan. Pentingnya pers ini sangat dirasakan, saat Pemerintah Indonesia dimasa-masa kritis saat awal-awal kemerdekaan. Dimana, lewat agresi militer Belanda kedua tahun 1948, Bangsa Indonesia dinyatakan sudah tidak ada. Karena pemimpin Bangsa ini, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta sudah ditangkap dan diasingkan oleh tentara Belanda.

Namun, semua itu seketika dipatahkan. Lewat Radio Rimba Raya (RRR) yang menjadi cikal bakal berdirinya Radio Republik Indonesia (RRI), dari perdalaman dataram tinggi Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia di Yogyakara. Mereka (Belanda) mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi.

Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya membatalkan berita tersebut dan mengatakan Indonesia masih ada. Siaran itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa. Akhirnya, akibat berita yang disuarakan itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Berita yang disiarkan RRR merupakan pukulan “KO” bagi Pemerintahan Belanda.

Namun, seiring perkembangan kekuasaan, memasuki tahun 1960-an masa Orde Lama, perkembangan pers mulai memasuki masa surat. Dimana, Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI yang menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pada pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap Kantor berita PIA dan Surat Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin po yang dilakukan oleh penguasa perang Jakarta.

Penekanan pada kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Penerangan Maladi bahwa langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. Ini dilakukan, demi kepentingan pemeliharaan ketertiban umum dan ketenangan.

Selama tahun 1960 terjadi tiga kali pencabutan izin terbit, sedangkan pada tahun 1961 mencapai 13 kali. Rincian tindakan penekanan atau tindakan antipers selama 14 tahun sejak Mei 1952 sampai dengan Desember 1965, menurut catatan Edward C. Smith mencapai 561 tindakan.

Memasuki masa puber kedua, yakni pada era Orde Baru, dengan kepemimpinan Bangsa di tangan Presiden Soeharto, kurang lebih selama 30 tahun, kemerdekaan Pers juga tidak jauh beda dengan masa Orde Lama. Padahal, pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab. Meskipun pada kenyataanya kemederkaan pers tersebut bagai kerakap tumbuh di atas batu, hidup segan matipun tak mau.

Sebelumnya, saat awal-awal pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto, ada angin segar bagi kemerdekaan pers Indonesia, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Undang-undang ini secara umum memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers. Misalnya terhadap pers tidak dikenakan sensor dan pembredelan.

Baca Tulisan lain: Hamzah Ibrahim, Wartawan Aceh Berdarah Gayo Peraih Wing Terbang

Tetapi, keinginan pemerintah untuk mengontrol Pers akhirnya pemerintah melahirkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Namun Undang-Undang ini sangat berlainan dengan undang-undang sebelumnya dan semakin memperkuat belenggu kemerdekaan pers yaitu dengan mewajibkan seluruh pers agar memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

SIUPP tertuang dalam Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) No 01/Per/Menpen/1984 dan Surat Menteri Penerangan (SK Mepen) No 214A/Kep/Mepen/1984. Untuk memperoleh SIUPP sangat sulit. Untuk merubah nama, jumlah halaman, dan ukuran penerbitan harus memperoleh izin khusus dari Menteri Penerangan. Pelanggaran sepertin itu pun dapat mengakibatkan dicabutnya SIUPP sebagai kata lain yaitu diberangus.

Sepuluh tahun kemudian, pascaterbitanya (Permenpen) 01/1984, mulai memakan korban. Tentu, masih segar dalam ingatan kita, pada 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan Editor dicabut surat izin penerbitannya (dibredel) setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Menteri Penerangan saat itu, Harmoko dengan.

detik edtor Cover Majalah Tempo tentang skandal kapal-kapal perang eks-Jerman Timur yang dibeli Menristek B.J. Habibie, yang menyebabkan Tempo dibredel Soeharto (Sumber: Tempo Store)
Memasuki masa era reformasi yang bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik termasuk di dalamnya media Daring. dengan berbagai kemasan dan segmen dan gaya pemberitaan yang lebih terbuka bahkan cenderung kebablasan, seakan tidak ada lagi dinding pembatas dalam batasan etika.

Lahirnya UU No.40/1999 tentang pers membawa angin segar bagi insan pers Indonesia. Lairnya UU Pers ini, dalam pandangan Iwan Awaluddin Yusuf, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, merupakan perubahan bagi dinamisasi kehidupan media di Indonesia. Salah satu indikator awal dari adanya kebebasan tersebut adalah meningkatnya jumlah penerbitan pers.

Delapan belas tahun pascalahirnya UU No.40/1999, Pers Indonesia memasuki masa pubertas ke tiga, yakni era Pers Haox. Di tengah menjamurnya pernerbitan pers, baik cetak, elektronik terutama media cyber, Pemerintahan dibawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlihat sangat gerah dan responsif terhadap pemberitaan media massa.

Baca Tulisan lain: Kala Pers Aceh di Ujung Tanduk

Hingga akhirnya, pemerintah berupaya menangkal dengan munculnya pemberitaan bohong (hoax). Gayung bersambut, upaya Dewan Pers menertipkan perspun semakin gencar dilakukan, dengan melakukan verifikasi media. Hasil verifikasi itu dinyatakan ada sekitar 60-an media yang kompeten dan sertifikasi kompeten tersebut diserahkan Presiden Jokowi pada puncak HPN di Ambon, 9 Februari 2017.

Munculnya pemberitaan hoax ini, sebernarnya dilatarbelakangi ketidak percayaan masyarakat akan media yang ada saat ini. Dimana, banyak media yang terkesan dimata masyarakat, sangat membela kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Sehingga, media besar di rupublik ini juga latah melakukan pembohongan publik.

Dilema pers hoak di era serba digital ini, bisa menguras posisi pers ini sendiri. Karena, masyarakat cenderung melakukan jurnalistik warga. Dengan memberitakan sendiri apa yang dilihat, dirasakan dan didengar. Media yang digunakan yakni Media sosial (medsos). Keberadaan Medsos adalah konseksuensi nyata yang tak bisa ditolak, dengan tumbuh dan berkembangnya era digital saat ini.

Suatu pasang surut yang penuh dinamika. Tinggal kita sebagai pembaca yang harus cermat dan arif menyikapinya. Kalau tidak, keterpurukan informasi akan tergerus oleh zaman. Dirgahayu Pers Nasional. Pers Beretika, Masyarakat Tercerdaskan.[]

Note : Data dan Fakta pers masa lalu, digali dan disari dari berbagai sumber.

*Wartawan Analisa (Sumber : https://bukuiranda.wordpress.com/2017/02/09/71-tahun-puber-ke-tiga-pers-kita/)

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.