Pohon Cemara, Pohon Persahabatan

oleh

Oleh Junaidi A. Delung*

Kini, harus saya relakan kepergiannya. Beberapa tahun yang lalu, tepat saat kami bersama melakukan pengurusan berkas untuk tes Bidik Misi, di salah satu kampus terkenal di Aceh. Kampus yang megah dan mempuni dalam bidang Agama, yaitu kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-raniry di Banda Aceh sebelumnya. Tahun 2014 yang lalu, statusnya berubah menjadi Univeristas Islam Negeri (UIN) Ar-raniry.

Kampus yang berada di barat Sumatra itu, mengingatkan saya dengan seorang teman ketika bersama-sama menginjakkan kaki dan menempuh pendidikan disana. Dengan kisah yang mengharukan, menyenangkan, bercanda, sengsara, dan lain sebagainya, semua dihadapi dengan ketabahan senyuman kebersamaan. Namun sayang, hari itu dan sekarang kami dipisahkan oleh jarak dan waktu yang begitu jauh. Ia harus pindah dan menempuh kuliah di negeri Sunda, Jawa Barat di UPI. Dengan lulus tes beasiswa dari pemerintah daerah (Pemda) di Bener Meriah.

Tiba waktu hari raya Idul Adha. Kami masih bersama berada di kota Darussalam, Banda Aceh. Kotanya para mahasiswa. Orang-orang menyebutnya kampus jantung hati Masyarakat Aceh (konon sejarahnya). Rencana kami tidak sedikitpun terbesik dalam hati dan niat beranjak untuk pulang kampung. yang kebetulan kampung kami tidak terlalu jauh dan masih bisa dijangkau bersama. Ia di Kampung Tingkem dan saya di Kampung Delung. Suatu hari, tiba-tiba ia harus pulang ke kampung, lantaran orang tuanya yang menyuruh. “Jun, Aku turah ulak mulo kejeb ku BM (Bener Meriah). Ama orom ine kenie ulak dan turah reraya i one”. (jun, saya harus balik ke BM dulu sebentar. Ayah dan ibu menyuruhku untuk pulang dan lebaran disana) Ungkapnya dengan tenang.

Sebagai teman, saya paham betul bagaimana rasanya kalau tidak pulangpun. “ike lagu oya kene ama orom ine, bohmi keta gere sanah. Aku isen den ne reraya orom abang-abangni”. (kalau demikian Ayah dan Ibu mengatakan, ya sudah, tidak apa-apa. Saya disini aja lebarannya bersama abang-abang ni).Tegas saya dengan hati yang sedih. Kebetulan waktu itu, saya ingin sekali mencoba bagaimana rasanya lebaran bersama ditanah perantauan.

Sudah dua minggu berlalu, hari Id pun selesai juga yang kebetulan hanya beberapa hari saja liburnya. Selepasnya ia tidak ada kabar. Tidak lama kemudian, ia menghubungiku lewat telepon genggam. “Jun, aku turah berangkat Ku Bandung. Aku gere kuliah i Banda neh”. (Jun, saya harus berangkat ke Bandung. Saya tidak lagi Kuliah di Banda Aceh) Ungkapnya dengan suara terisak tangis.

Saya yang sebelumnya gembira dan senang, kini harus berubah menjadi terkejut mendengar apa yang ia sampaikan itu. Sedikit demi sedikit. Mataku mulai redup, dan hatipun menangis. Seolah tidak menerima, ia dengan secepat itu harus berpisah dan meuju kota Bandung, untuk mengikuti kesempatan baik yang pernah ada. Namun apalah daya, sebagai seorang teman sekaligus menjadi saudara. Tentunya harus bangga mendengar dan melihat saudaranya bisa lulus beasiswa dan kuliah diluar Aceh. Apalagi dibiayai oleh pemerintah Daerah. Kebetulan ia dan satu-satunya perwakilan dari Bener Meriah yang kuliah ke bandung dengan masing-masing perwakilan kabupaten yang ada di Provinsi Aceh ini.

“selamat keta suderengku. Semoga sukses kite bebewente. Dan mohon komunikasite enti metus sesabe diri”.(Selamat sukses saudaraku. Semoga kita semua menjadi sukses. Dan mohon komunikasi kita jangan sampai terputus diantara kita). Ungkapku.

“maafen aku Jun, sengeje gere ku seder-seder manea bahwa aku male kuliah i Bandung. Sedih pedeh kurasa ike seandai e kuperen i arapmu waktu manea. Aku gere sangup ya suderengku”. (maafkan saya Jun, sengaja tidak saya bilang kemarin itu bahwa saya mau kuliah di Bandung. Sedih kali rasanya kalau seandainya saya sampaikan didepanmu waktu itu. Saya tidak sanggup mengatakannya saudaraku). Sampainya lagi. Demikian kebanyakan sapa orang gayo yang mempunyai sikap gemasih antara satu dengan yang lainnya. antara satu kawan dengan sahabatnya.

Saya masih belum puas mendengar kata-katanya yang telah beberapa minggu itu ia sampaikan. Toleran sikap seorang sahabat yang tidak bisa saya lupakan hingga sampai hari ini. Canda, tawa, senang, susah, senantiasa mengiringi jejak-jejak kami bersama. Ketidakadaan dia. Kini kami semua harus berpisah antara teman satu dengan teman yang lainnya yang pernah akrab sebelumnya. Ia ibarat tali yang menyatukan ujung satu dengan ujung lainnya. namun setelah terputus, tidak bisa diikat kembali lagi sebagaimana rapinya persahabatan semula. setelah kepergiannya itulah, kami sontak meledak dan bubar. “Burrr!!!”. Semua terpisah bagaikan air mengalir entah kemana arahnya perginya dengan cepat. Entah kemana larinya ditelan bumi, dan hilang begitu saja.

Kawan-kawan yang tadinya bersama, kini Jarang sekali berjumpa antara satu dengan yang lainnya di kampus UIN tersebut, meski satu daerah. Namun hanya saja berbeda jurusan. Paling tidak sesekali berjumpa ketika ada acara-acara tertentu yang di buat oleh paguyuban organisasi-organisasi. Tidak masalah, penting semua sehat dan selalu menjadi yang terbaik.

Kesedihan dan luka itupun, kini telah terobati. Dengan menuaikan suatu keihklasan hati, detik demi detik hingga berlalu terus senantiasa membaik. Akan tetapi, ia bisa kembali lagi, ketika melewati sebuah pohon yang berada di didepan Biro itu. Tepatnya dibawah pohon cemara disana. Ketika lewat, selalu mengingatkan saya pada suatu waktu itu. Tepat dimana kami berempat, Elyana, Mulia Ningsih, Mizan Akbar, saya dan ia sedang sibuk-sibuknya mengurusi berkas bidik misi.

Saya terdiam sejenak. Mengingat indahnya kebersamaan, mengharukan, kecapean hingga pada akhirnya berkas yang diajukanpun tidak lulus seleksi juga. “Hehe”. Kenangan pada berkas yang pernah diurus bersama tidak menghasilkan buah, akhirnya harus pasrah dan tertawa bersama.

“huhhh. kejadiannya sudah berlalu. sekarang pohon cemara ini sudah besar dan berdiri jauh menjulang tinggi ke langit. Melawan angin, hujan dan panasnya terik matahari”. Terangku dalam hati. Mungkin karena Dulu, pohon itu masih kecil. Pas-pasan untuk duduk dibawahnya, walau sedikit  ditembus dan dipanasi sinar matahari ketubuh kami.

Saya sebut itu pohon persahabatan. Pohon cemara riang nanindah. Dibawahnya ia memberikan tumpangan buat manusia untuk berteduh dikala panas dan bahkan menjadi pohon berdiskusinya para mahasiswa. Ketika saya melewatinya, pohon tersebut selalu mengingatkan saya dengan mereka-meraka yang dahulu. Terlebih kepada sahabat saya yang dibanggakan ini. Tak banyak harapan yang harus saya katakan sahabatku. Semoga kita semua sukses. Saya berharap. Persahabatan ini, hidup dan terjalin hingga ruh meninggalkan jiwa kita. Dan bahkan merangkap bersama, didalam surga-Nya. Semoga.. Amin.

“Good Luck suderengku Rizka Mutuah Miko. Semoga kao sehat selalu ione. Ibadah gelah rajin. Kayu ni, tene kin kite bebewene i masa si silem. Masa munempuh kuliah ku Banda Aceh orom-orom. Oya gere penah kulupenen sudere”.

*Penulis Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.