Oleh: Ali Abubakar Aman Nabila
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta) (QS. Al-Ma`arij: 19-25)
DALAM sebuah tugas dinas di Aceh Tengah dan Bener Meriah, penulis ditemani oleh seorang dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh yang berasal dari Makassar; namanya Mursyid Djawas. Ketika melewati sebuah jalan yang penuh dengan hamparan kebun kopi di Bener Meriah, dosen bergelar Doktor ini berkomentar: Bagaimana mungkin data statistik kependudukan menyatakan bahwa sebagian besar penduduk Bener Meriah hidup di bawah garis kemiskinan? Mestinya data tersebut dipertanyakan, katanya bersemangat. Saya hanya menjawab, “tidak semua petani kopi menghasilkan kopi yang dapat menopang hidupnya. Banyak faktor yang menyebabkan hasil panen kopi tidak maksimal: musim yang tidak menentu, penyakit, struktur tanah, iklim, dan perlakuan. Untuk perlakuan misalnya, ada petani yang menanam kopi tetapi memperlakukannya seperti pisang. Setelah menanam, ia tinggal menunggu berbuah.” jawaban itu membuatnya mengangguk, sekaligus memunculkan pernyataan baru: “Kalau begitu, bukan masalah kebun kopinya kurang luas, tetapi karakter petaninya….” katanya mantap. Saya hanya menyatakan “mungkin” karena memang hal itu sangat memengaruhi hasil panen.
Tulisan ini tidak hendak mengupas pengetahuan, karakter, dan praktik masyarakat Gayo dalam bertani kopi. Penulis hanya ingin menunjukkan ungkapan kemiskinan dalam masyarakat Gayo, bukan penyebab miskinnya. Bagaimana Urang Gayo menggambarkan hidup dalam kemiskinan? Ini dapat ditelusuri dari beberapa peri mestike, misalnya Berpangkal ku tapak ni pumu, berbelenye ku punce ni upuh. Sulit sekali menerjemahkan kalimat ini ke dalam bahasa Indonesia, karena maknanya kemungkinan agar bergeser. Tetapi, secara harfiah berarti “bermodal telapak tangan, berbelanja ke ujung kain”. Makna umum yang didapat adalah keadaan kehidupan yang sangat miskin: tidak memiliki apapun untuk dijadikan sebagai penopang hidup. Ia hanya memiliki badan dan pakaian yang ada di tubuhnya yang ia jadikan modal untuk melanjutkan kehidupan.
Peribahasa lain yang dekat maknanya adalah bau ni gule kin pelulus mangan, detèng ni ringit kin penjelas ni utang (aroma lauk untuk selera makan, bunyi detingan uang untuk membayar utang). Tampak ini memang tidak “separah” kalimat pertama di atas. Pada kalimat kedua ini masih tergambar adanya modal untuk hidup tetapi belum ada di tangan. Pepatah ini juga dapat bermakna perasaan yang teramat kecewa karena tidak mendapatkan apa yang dicari atau yang dijanjikan tidak dipenuhi. Seolah-olah tidak ada lagi yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan persoalan hidup. Jika peri mestike ini dihubungkan dengan yang lain akan lengkapkan gambaran keputusasaan itu yaitu: i sèrèn ku kayu, kayupe murebah, I sèrèn ku atu, atupe mupecah (bersandar pada kayu, kayu rebah; bersandar pada batu, batu pecah). Artinya, tidak ada lagi yang dapat dijadikan sebagai sesèrènen (sandaran) atau tungkelen (tonggak) untuk menghadapi problematika hidup.
Dari sudut pandang agama, kalimat-kalimat di atas menggambarkan karakter manusia yang suka berkeluh kesah dan tidak memiliki keyakinan bahwa Allah Maha Kaya dan senantiasa bersedia menjadi sesèrènen atau tungkelen hidup. Keyakinan yang lemah ini bisa jatuh pada kekafiran. Seorang beriman harus memiliki keyakinan bahwa Allah Kaya Berolah, tinggal bagaimana manusia menerjemahkan keyakinan tersebut dalam kehidupannya. Ada manusia yang yakin bahwa Allah itu kaya, lalu ia menunggu Allah memberikannya untuk dia tanpa berusaha secara maksimal. Itu sikap yang salah. Yang benar adalah ketika kita yakin bahwa Allah itu Maha Kaya, lalu kita mencari kekayaan yang telah disebar Allah di muka bumi ini untuk dimiliki siapa saja yang mau berusaha. Sikap ini digambarkan dengan cantik dalam peri mestike yang lain: itumpun ku karang, itenelen ku gue (sandarkanlah pada batu karang, berteduhlah pada gua). Artinya semangat hidup harus tinggi, kesabaran harus senatiasa teruji.
Pepatah terakhir ini tentu sangat bertolak belakang maknanya dengan dua yang pertama. Namun demikian, penulis yakin, ungkapan-ungkapan di atas adalah kalimat-kalimat para penyair yang mengolah kata untuk keperluan sastra Gayo, bukan menggambarkan kenyataan sesungguhnya. Paling tidak, peri mestike di atas hanya berlaku untuk sebagian kecil masyarakat Dataran Tinggi Gayo.
Sesungguhnya kemiskinan itu dekat sekali dengan kekufuran (hadis Nabi)
Ali Abubakar Aman Nabila adalah Dosen Filsafat Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, tinggal di Aceh Besar, email: aliamannabila.71[at]gmail.com