Goresan Darwati A Gani Mengenang Gempa dan Tsunami 12 Tahun Lalu

oleh
Foto Darwati A Gani dan anak-anak tahun 2010

SAAT itu kami hidup di situasi yang tidak normal, suami saya Irwandi Yusuf menjadi tahanan politik. Setiap pagi menjadi kebiasaan saya adalah memasak dan mengantarkan nasi goreng halia ke LP Keudah sekaligus mengantarkan koran Harian Serambi Indonesia. Kami makan bersama setiap pagi dengan duduk saling berhadapan tapi dipisahkan oleh jeruji besi. Tidak ada keluh, kami menganggap itulah kehidupan yang harus kami jalani saat itu.

Pagi itu di Lingke, saat baru saja selesai menyiapkan makanan, tiba2 gempa yang begitu dahsyat datang. Saya, anak-anak yang masih kecil serta 2 asisten yang membantu saya sehari-hari berlari keluar dan duduk dan saling berangkulan di atas tanah, semua ketakutan, menangis, berdoa kepada Allah.

Setelah gempa reda, suami saya menelpon, menyampaikan hari ini tidak usah datang ke LP, di rumah saja bersama anak, itu percakapan terakhir di telpon karena terputus dengan tiba-tiba. Tidak lama setellah itu gempa susulan datang lagi dan tidak lama setelah itu orang-orang berteriak air laut naik dan berlarian.

Kami diajak oleh tetangga menumpang kenderaan mereka untuk pergi juga, saat mobil melaju kami bisa melihat air yg begitu dahsyat datang bisa menghancurkan apapun, melihat rumah atau benda apapun terbawa mengikuti arus air. Tiba-tiba mobil yg kami tumpangi harus berhenti karena kemacetan yang luar biasa, lalu kami semua turun berlarian, saat itu saya dan asisten memegang satu anak per-orang, lalu kami berlarian dan terpisah di kerumunan orang.

Tiba-tiba saya dan anak saya Putroe Sambinoe Meutuah, merasakan air bah itu menghatam kami, merasakan timbul tenggelam dan terbawa arus masuk ke garasi rumah orang. Mendengar suara blup-blup air yang masuk ke telinga kami, jd terpikir seperti inilah yg dialami oleh orang2 yang tenggelam. Dalam kepanikan saya selalu berdoa agar bisa tenang, terus memegang tangan anak saya. Dan tiba-tiba kami mengapung kembali, lalu kami berpegangan di kayu-kayu atap garasi rumah tersebut. Kami bergantungan, anak saya yang masih kecil, saat itu berumur 7 tahun menggigil kedinginan, akhirnya dia tidak sanggup lagi, saya peluk dia dengan satu tangan, sambil terus meminta pertolongan, lalu saya juga hampir kehabisan tenaga dan menyilangkan kaki ke kayu-kayu diatas, bergantungan kaki diatas kepala dibawah sambil terus memeluk anak. Alhamdulillah tiba-tiba bantuan datang disaat yang tepat, ada yang membuka atap seng dari atas dan menarik kami ke atas sehingga bisa duduk di atas atap.

Beberapa saat duduk disitu, saya melihat anak saya yang masih bayi yang digendong oleh yang menjaganya diatap yg lain, kira-kira 3 rumah berselang dari tempat kami, lalu kami merangkak pelan-pelan dari atap rumah yang satu ke rumah yang lainnya agar bisa ketempat anak saya yang bayi itu. Kalau sekarang disuruh seperti itu tentu saya tidak bisa melakukannya.

Akhirnya tiba juga ke tempat bayi saya tersebut, lalu menggendongnya, dia menangis kehausan, terpikir bagaimana mau menyusuinya, badannya kotor dan berlumpur, tapi tiba-tiba mukjizat datang, air mineral terbawa air pas didepan saya dalam kondisi masih tersegel. Lalu saya mengambilnya dan membersihkan bagian tubuh saya dan bisa menyusuinya.

Selama beberapa jam kami masih bertahan diatas atap, saat air mulai surut, kami pun turun perlahan, saya dengan kedua anak, sementara anak yang satu lagi tidak kami ketahui dimana, dalam hati masih selamatkah anak saya?

Kami turun, mencari-cari tapi tidak ketemu juga, malah tanpa diduga-duga dalam waktu yang tidak begitu lama saya bertemu dengan suami saya, kami menangis berangkulan yang lama sekali, saya sampaikan anak kita Rania tidak ada, tidak tahu selamat atau tidak.

Kami terus mencari-cari, tapi tanpa diduga juga, dia dan yang menjaganya pulang dari arah yang berlawanan dengan kami, dengan kondisi yang bersih tanpa kena air sedikitpun, ternyata saat terpisah dia dibawa lari dan dinaiikan oleh orang dengan mobil pick-up ke arah Gampong Pineung.
Alhamdulillah puji syukur kepada Allah, Allah begitu menyayangi kami. Beberapa hari kami tinggal di Banda Aceh, lalu keluarga dari Bireuen menjemput kami, suami yang tahanan tentu tidak boleh berlama-lama di Banda Aceh, berangkat ke Medan, Malaysia via Batam dan akhinya tinggal di luar negeri Malaysia dan bolak balik ke Swedia. Sampai alkhirnya perundingan perdamaian dan penandatangan MoU Helsinky.

Beberapa waktu setelah itu suami saya terpilih sebagai pemimpin (Gubernur) Aceh, siapa yang bisa memprediksi rahasia Allah ini? Selalu ada hikmah disetiap cobaan yang Allah beri.

Cerita ini saya tulis saat ini dalam perjalanan silaturrahmi saya ke Bireuen, mengalir begitu saja, dimaklumi saja kalau ada bahasa yang tidak pas, karena saya bukannlah seorang penulis. Itu sebagian kecil perjalanan kehidupan saya yang penuh warna, pengalaman inilah yang membuat saya semakin kuat dalam menghadapi berbagai persoalan dalam hidup ini. Mudah-mudahan Allah selalu memberikan jalan terbaik bagi kami di masa hadapan. Amin

Banda Aceh, 26 Desember 2016.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.