Cerpen Oleh : Eni Penalamni*
KEMBALI bertemu dengan Desember untuk kesekian kali, aku membenci bulan ini. Bulan dimana setiap tahunnya usia kubertambah, dan bulan dimana aku harus kehilangan ibu dan ayah. 26 Desember 2004 lalu usiaku masih sepuluh tahun, masih bocah lugu yang tak tau apa itu bencana, tak mengerti maksud dari kehilangan. Senja ini aku ditemani tatapan mega jingga memandang lepas ke lautan yang dulu menjadi penyebab perginya dua orang terkasih untuk selamanya.
Dalam kerinduan yang semakin mendalam, seolah alam menayangkan ulasan-ulasan kisah yang sepuluh tahun sempat kujalani bersama mereka. Langit menjadi layar penayangan segala kisah, ketika ayah mengajarkanku mengaji ketika ibu menyuapiku nasi. Ya Rabbi, sungguh aku rindu. Tanpa kusadari ada tetesan yang membuat pipi kubasah, aku masih belum tersadar dengan jalan hidup ku sekarang, mengapa aku Tuhan? Mengapa aku yang menjalani ini? Pertanyaan yang selalu meronta dalam pemikiran.
Pagi minggu di Desember 12 tahun lalu semua masih berjalan seperti ritme alam yang biasanya, mentari masih terbit dari barat. Hari libur yang menyenangkan, ketika itu ibu dan ayah sedang berada di Banda Aceh karena sedang ada keperluan. Kata kata “berubah” power rangers menghiburku di pagi hari, dengan kepiawaian lima tokoh yang mampu melumpuhkan monster dan musuh-musuhnya. Tiba-tiba ada goncangan dengan suara gemuruh yang membuat semua orang-orang keluar dari rumah, berlari ketakutan. Goncangannya cukup lama, memaksa aku menangis dalam cekam kegelisahan melihat semua yang ada di sekitarku jua menangis dalam tasbih, tahlil dan takbir. Subhanallah, Laa ilaha IlaAllah, Allahuakbar.
Kakak sulungku menggantikan posisi ibu dan ayah yang kini berada jauh dari kota yang dijuluki negeri di atas awan, bertugas menenangkan kami adik-adiknya terlebih aku yang memang belum mengerti apa-apa.
Gempa… gempaa… teriak orang-orang sejak tadi, jadi beginikah yang dimaksudkan dengan gempa yang pernah dipelajari di pelajaran IPA itu. Goncangan alam dalam hitungan detik ini mampu meresahkan penduduk bumi.
Setelah goncangan berakhir, semua tak kembali seperti biasa. Meski semua telah kembali ke rumah masing-masing namun hati masih belum menemukan titik aman. Aku yang masih anak-anak kembali mencari hal yang bisa kulakukan untuk dijadikan permainan. Ketika masuk ke rumah, aku hanya menatap dalam diam, dalam kebingungan. Kakak dan abang menangis di depan televisi, kekuatan gempa 8,9 SR menggoncang bumi Serambi Mekkah dan menyebabkan gelombang Tsunami di ibukota provinsi dan daerah sekitarnya.
“Ayah.. Ibu.. Ayah.. Ibu berkali-kali kakak pingsan, terbangun berteriak dan kembali terjatuh tak sadarkan diri. Ayah.. Ibuu.. Aku mendekat, aku melihat arah televisi aku belum tau apa itu Tsunami.
Air laut menyapu bersih daratan yang dilaluinya, termasuk ibu dan ayah yang sekarang berada di Banda. Ayah? Ibu? Kalian tak lagi ada? Pelukan kakak dan abang menyadarkan ku kini aku tak punya lagi sesiapa selain mereka. Satu persatu kerabat mulai datang ke rumah, sebagian dari mereka menenangkan.
“Insyaallah, ibu dan ayah baik-baik saja di sana”. Aku hanya mengingat apa yang dikatakan salah satu kerabat ini, ibu dan ayah akan baik-baik saja di sana.
Hingga beberapa hari kerabat terus mendatangi kediaman kami, terus memberikan semangat dan ucapan bela sungkawa, sedang aku masih berlari kesana kesini menggiring bola. Tatapan orang berkaca-kaca setiap melihat ku, aku hanya tersenyum. Timbul tanya di hati ku, mengapa semua orang disini bersedih? Beberapa kerabat telah pergi ke Banda untuk memastikan kondisi ibu dan ayah, namun belum ada kepastian ibu dan ayah belum juga ditemukan.
Aku bertanya kepada Kakak, “kenapa ibu dan ayah belum juga pulang?” sedangkan kata Paman ayah dan ibu baik-baik saja.
Apakah mereka belum bisa pulang karena jalan yang masih tertutup karena gelombang Tsunami itu? Bukankah airnya sudah surut kak? Atau karena puing-puing yang masih berserakan? Bukankah telah banyak yang membersihkan sisa-sisa sapuan air laut itu kak? Aku lihat di televisi gajah pun ikut membantu untuk evakuasi? Apa karena ayah ibu tak punya uang untuk ongkos karena dompet di bawa gelombang itu kak? Bukankah mereka bisa bayar ongkos disini kak? Kak? Ayah dan ibu kenapa belum juga pulang? Aku rindu!
“Ibu dan ayah sudah tenang di surga”. Aku belum mengerti maksudmu kak !
Aku coba kembali bertanya kepada abang
“Abang, ayah dan ibu kenapa belum juga pulang?”, bukankah mereka pergi untuk sebentar saja? Lalu kenapa telah selama ini mereka belum juga pulang? Aku ingin menunjukkan raportku, ayah harus tanda tangani raportku. Ayah ibu aku rangking satu.
Jawabannya pun sama membuat ku tak mengerti, “Ayah dan Ibu telah bahagia bersama Allah”
Kupertegas pertanyaan kepada semua
“Ibu dan ayah kemana? Mengapa mereka belum juga pulang?”
“Mereka telah meninggal dunia” jawaban sederhana yang mulaiku mengerti.
Bagai halilintar yang menghantam bumi dicerah hari, kilat yang memisah langit hingga pecahkan tangisanku yang selama ini masih berfikiran ibu dan ayah baik-baik saja. Ini alasan mereka menatapku dalam duka, aku kini tak lagi miliki orang tua. Bocah sekolah dasar yang ingin menunjukkan nilai tinggi dimatematika dan agama kepada kedua orang tua, berharap melihat senyum dan pelukkan ucapan selamat karena menjadi juara di kelas.
Berganti hari, hingga aku sedewasa ini. Kini aku berada di kota yang merenggut nyawa kedua orang tuaku. Menuntut balas pada alam dengan menginjakkan kaki di tempat yang membuat kukehilangan. Kini kufahami kematian memang pintu terbukanya kebadian. Ayah ibu tunggu aku, nanti aku pun kan kesana menyusul kalian di surga sana. Aku pun tak menduga aku telah lewati perjalanan berat ini selama dua belas tahun, perlahan kutemukan jawaban mengapa harus aku yang mendapat skenario ini. Allah yang memilihku, Allah yang kuatkan aku.
Desember selalu mengundang tangis, tangis kehilangan, tangis kerinduan. Yang lebih menyakitkan, hingga hari ini aku belum tau dimana ibu dan ayah di kebumikan. Mungkin berada di salah satu kuburan massal yang sering kukunjungi. Jasad mereka yang tak kutau di mana keberadaannya, namun jiwa mereka tetap ada di dalam diriku. Dan, aku yakini “mereka akan baik-baik saja di sana”, baik-baik dalam penjagaan Pencipta mereka di surga.
Aku terbangun dari dudukku, kupalingkan wajah dari langit yang sejak tadi menayangkan memori-memori lama, kutatap air laut yang tampak tenang, jangan lagi kau marah pada penduduk darat ini laut ! Kehilangan itu begitu sakit.[SY]
Eni Penalamni mahasisiwi semester V, asal Asir-asir atas. Bungsu dari Alm. Enam dan Busyira. Bisa dihubungi lewat, Fb : Eni Penalamni, Ig : eni_penalamni, email : enipenalamni@gmail.com