Filsafat Logika dan Mitologi Kebudayaan (Bagian 3)

oleh
Joni MN

“Mensetudi Degradasi Moral Melalui “cultural scripts” Masyarakat Gayo”

(Joni MN)

Pendahuluan

Joni MN
Joni MN

Artikel ilmiah bagian pertama, kedua, dan bagian ketiga (LintasGayo.co) ini merupakan emberio pengembangan filsafat etnopragmatik dan Pendidikan yang merupakan pertemuan ilmu pragmatik, pendidikan dan etno yang dikaji berdasarkan konsef-konsef sosial budaya masyarakat Gayo. Orientasi dari pemikiran dalam artikel ilmiah ini adalah sebagai acuan dasar untuk membangun “Filsafat Mitologi Pendidikan” yang berlandaskan konsef akhlak yang memanusiakan manusia.

Krisis akhlak telah melanda kita hampir di keseluruhan bidang kehidupan, hal ini terjadi akibat tidak terkontrolnya penggunaan alat teknologi yang semakin canggih dan sudah hilangnya kontrol diri ketika memungsikannya. Dari layar televisi maupun berita di koran kita dapat mengamati bahwa tindakan manusia di zaman modern ini lebih keji dibandingkan dengan prilaku jahiliyah di zaman Rasul. Kejahiliyahannya dapat dilihat atas prilaku-prilaku yang ditlakukan manusia saat ini, seperti; pamer tubuh, menggambar tubuh dengan lukisan-lukisan (merusak diri), anak membunuh orang tua kandungnya, bapak mengauli anak kandungnya, tauran dimana-mana, menghujat dengan mengeluarkan kata-kata sarkatis dan prilaku tabu (kotor) sepertinya sudah biasa, hancurnya rasa saling menghargai dan menghormati, dan lain-lain. Krisis akhlak dan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara juga saat ini sudah berada pada titik kritis atau pada level stadium 4.

Kemajuan teknologi dan kekayaan materi ternyata bukanlah jaminan bagi manusia untuk meraih kebahagiaan hidup dan bukan sesuatu yang menjamin baiknya akhlak seseorang tersebut. Kerusakan moral ini tidak hanya mengancam kehidupan dan ketenangan orang lain saja, tetapi juga besar kemungkinan pertama kali ia merusak dan menyakiti dirinya-sendiri.

Jika kita mengamati secara cermat dan menyimak peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputaran kita dan yang ditayangkan di media-media elktronik (TV dan Internet), yakni pemicu pertama atau “the main trigger” perusakan moral dan akhlak ini adalah atas dasar kencendrungan kepada materialisme dan runtuhnya keyakinan, seperti; (1) di saat manusia lebih percaya kepada sesuatu yang tersurat (kebendaan) daripada memahami yang tersirat (nilai di balik benda), (2) di saat manusia lebih mau  mendengarkan teori manusia daripada membaca hikmah (dalam kitab suci), (3) di saat manusia lebih mengedepankan ego dan kebanggaan pada dirinya daripada kerendahan hati kepada Yang Menciptanya, (4) di saat manusia lebih merasa sudah tahu banyak dan merasa benar daripada lebih merasa harus banyak belajar dan mengkaji diri, dan (5) di saat manusia sudah menggantikan posisi Iman kepada ‘Allah’ dengan ‘Iman kepada uang, jabatan dan harta benda’ inilah trigger utama penyebab digradasi moral dan akhlak. Hal ini meruapakan salah satu dampak dari paham pemikiran “mengabstrakan yang konkrit (riil)”, yakni filsafat barat, bukan “mengkonkritkan yang abstrak”.

Ketika manusia sudah mengutamakan ke lima unsur di atas dan menjadikan hasil pemikiran seseorang menjadi sebagai suatu keyakinan yang transendens (absolute), maka dengan seketika manusia tersebut akan bergelimang dalam perasaan ketidakpastian, kegelisahan, kegundahan, frustasi, kesepian, kegagalan, terhina, terpuruk, kehampaan, sesuatu terasa hilang, dan segala fenomena kehidupan manusia yang di zaman modern ini semakin mencul ke permukaan bahkan jelas terlihat. Sesuatu yang hilang dalam kehidupan umat manusia masa kini ialah kearifan dan keyakinan terhadap sang Pencipta. Hilangnya kearifan dan keyakinan terhadap sang Pencipta inilah yang menyebabkan manusia merasa sok mampu melakukan segala sesuatu. Mereka merasa tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Mereka hanya memikirkan cara untuk memenuhi dan mewujudkan keinginan, kehendak dan impiannya. Mereka selalu berharap orang lain melakukan apa yang dikehendakinya. Tetapi, mereka tidak pernah berpikir akan kemampuan dan berkehendak untuk menghargai serta menghormati hak orang lain.

Wacana Kebudayaan Gayo (Gayonese Cultural Scripts)

Cultural Scripts (wacana kebudayaan) yang merupakan suatu aturan, petunjuk, atau hukum suatu komunitas masyarakat dalam menjalani pemenuhan kebutuhan kehidupan mereka. Wacana ini juga merupakan martabat dari anggota masyarakat tersebut. Pada dasarnya manusia sudah memiliki martabat dan modal dasar pengetahuan untuk dapat dikembangkan (Joni MN, 21/ 11/2016: Lintasgayo.co, “Suatu Kajian Filsafat dan Pendidikan”-Bagian Satu) manusia selalu berada di dalam ketentuan-ketentuan yang transendens, tidak semena-mena. Prinsip pengembangan keilmuan dalam ranah pengembangan diri manusia umumnya harus berdasarkan keyakinan-keyakinan yang sudah tertanam di dalam diri anggota masyarakatnya melalui konsef  yang bernilai absolut.

Pendidikan diciptakan adalah sebagai alat perubah peradaban jahiliyah menuju ke arah peradaban yang bermoral dan beretika, agar tidak saling memakan sesama (bak serigala) dan merusak diri atau sesame mahluk Tuhan. Pada masyarakat suku Gayo pengembangan diri tersebut berpijak pada sistem utama nilai budaya mereka, yakni “mukemel” (harga diri) yang melahirkan suatu prinsip yang bersifat kompetitif “bersikekemelen” (masing-masing manusianya memiliki hak untuk berkembang dan mengembangkan diri dengan cara yang positif) yang ditunjang oleh prinsip “akal kin pangkal kekire kin belenye” atau ‘akal sebagai modal dasar yang merupakan pangkal) dan pikiran digunakan sebagai belanja (pengembangan diri) yang harus difungsikan sebagai alat dalam menjalani dan memenuhi kebutuhan hidup.

Perinsip-perinsip yang ada di dalam diri manusia tidak berkembang dengan independen, tetapi perealisasiannya selalu dipandu oleh aturan-aturan atau petunjuk-petunjuk yang berlandaskan konsef agama (Islam), yakni semuanya kembali kepada kitabullah (Kitab Allah/ Al-qur’an). Nilai-nilai yang dijadikan sebagai perinsip mereka (masyarakat Gayo), yakni selalu mempertimbangkan perasaan dan tidak lepas dari ruang lingkup akhlak atau etika berprilaku. Konsef-konsef tersebut bernilai spiritual, yakni lebih mengutamakan perasaan dan sesuatu yang tidak tampak untuk membangun konsef-konsef kebaikan bersama dalam rangka meraih keharmonisan, kedamaian, kenyamanan, dan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai eksoterisme dari nilai-nilai tertib.

Mitologi dan Filsafat Logika

Mitologi

Anselmus(1033-1109), ia lebih mengutamakan iman daripada akal. Ia mengatakan bahwa wahyu harus diterima lebih dulu sebelum kita mulai berpikir. Dalam membuktikan adanya Tuhan, Anselmus menjelaskan lebih dulu bahwa semua konsep adalah relatif.  Mitos yang dalam arti asli sebagai kiasan dari zaman terdahulu merupakan cerita yang asal usulnya sudah dilupakan, namun ternyata pada zaman sekarang mitos dianggap sebagai suatu cerita yang dianggap benar. Manusia memerlukan sekali kehadiran alam sehingga terjadi hubungan yang erat antara manusia dan alam.

Istilah Mitologi telah dipakai sejak abad 15, dan berati “ilmu yang menjelaskan tentang hal-hal yang gaib”. Namun, di masa sekarang difenisi ini sudah mengalami penyempitan makna, yakni, mitologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) adalah ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus di suatu kebudayaan. Padahal mitologi merupakan dasar  pokok utama filsafat, tidak akan ada filsafat tampa sumbangsih mite.

Filsafat Logika

Sekitar abad ke-6 S.M. sudah mulai berkembang suatu pendekatan yang sama sekali berbeda. Sejak saat itu manusia mulai mencari jawaban-jawaban yang rasional tentang masalah-masalah yang diajukan oleh alam semesta. Logika berasal dari Logos (akal budi, rasio) menggantikan mitos (mythos), dengan cara inilah filsafat dilahirkan. Bisa dikatakan bahwa kata “logos: mempunyai arti yang lebih luas dibandingkan kata :rasio”. Logos berarti baik kata (tuturan, bahasa) maupun juga rasio.

Para filosof-filosof terdahulu pada dasarnya tidak pernah membatasi diri mereka atas mite-mite yang telah diturunkan dalam tradisi, seperti pada Hesiodos (750 S.M.), mereka sudah mulai berpikir sendiri yang berdasarkan imajinasi. Di belakang kejadian-kejadian yang dapat diamati oleh umum, mereka mencari suatu keterangan yang memungkinkan untuk dapat mengerti tentang kejadian-kejadian itu sendiri, tidak seperti para pemikir-pemikir saat ini, yang membuat dekotomi-dekotomi keilmuan atas dasar keegoan mereka masing-masing walaupun hal tersebut tidak relevan.

Filsafat logika tidak dapat seutuhnya menjawab tentang siapa dan untuk apakah manusia tersebut. tetapi pengetahuan tentang mite (mitologi), yakni melingkupi penjelasan tentang konsep diri manusia yang akan menjawab dengan jelas identitas manusia untuk mencari (siapa) makhluk atau mansuia yang mempunyai potensi pengetahuan (apa), karena potensi manusia terdiri dari potensi pisik, mental emosional dan spiritual tidak seluruhnya dapat dilogikakan.

Logika tidak mempelajari cara berpikir dari semua ragamnya, tetapi pemikiran dalam bentuk yang paling sehat dan praktis. Logika menyelidiki, menyaring dan menilai pemikiran dengan cara serius dan terpelajar serta bertujuan mendapatkan kebenaran, terlepas dari segala kepentingan dan keinginan perorangan. Logika merumuskan serta menerapkan hukum-hukum dan patokan-patokan yang harus ditaati agar manusia dapat berpikir benar, efisien dan teratur.

Banyak permasalahan dihadapan kepada kita yang dapat kita cari solusinya dengan cara menggunakan logika. Tetapi tidak semua masalah dapat kita selesaikan dengan menggunakan logika. Apaka sah jika semua permasalahan dalam hidup ini kita selesaikan dengan menggunakan logika?

Pembahasan dan Solusi

Pembahasan

Saat ini paham mite sudah terlupakan atau memang sudah sengaja dikaburkan oleh pemikir-pemikir yang bergaya logis/ positivisme. Alhasil, manusia saat ini lebih cendrung meyakini kebendaan daripada abstraksi dari ajaran yang bersifat transcendental itu sendiri. Masyarakat Gayo berkeyakinan kepada nilai dan norma-norma yang bersifat abstrak yang erat kaitannya dengan transendens. Hal ini dibuktikan melalui salah satu prinsip kebudayaan yang mereka realisasikan yang bersifat “absolute”, yakni “percaya kepada Allah SWT”. Inilah yang menjadi landasan berpijak orang Gayo dan kemudian diturunkan menjadi konsef nilai dasar kebudayaan mereka, yakni “agama orum edet lagu zet orum sipet” atau ‘agama dengan adat tidak dapat saling dipisahkan, kedekatannya seperti zat dengan sifat, yaitu; tidak ada zat yang tidak memiliki sifat dan tidak ada sifat yang tidak memiliki zat. maksudnya, setiap perilaku dan pengembangan ilmu pengetahuan tidak dapat lari dari  nilai dan norma-norma  yang ada dalam konsef tersebut.

Pada zaman jahiliyah ilmu pengetahuan masih belum semaju ilmu pengetahuan saat ini. Kemajuan ilmu pengetahuan seharusnya menambah majunya cara berpikir dan keberadaban manusianya. Misal, pada proses pengolahan bahan baku alam sebagai bahan pakaian dan wajar jika orang pada zaman itu masih berpkaian minim dan primitive. Seharusnya semakin maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi cara berpakaian manusianya juga sudah semakin beradab dan semakin “tertip”, yakni teratur, rapi, tertata dengan baik dan tahu aturan. Menghargai diri sendiri dan orang lain sudah seharusnya tumbuh dan berkembang dengan semakin membaik guna tercapainya kedamaian, kenyamanan, keharmonisasian, dan kesopan-santunan.

Prinsip “mukemel” (harga diri) dapat menghindari dan sebagai tindakan untuk saling menjaga “maru’ah” sesama manusia, dengan cara menanamkan prinsip malu, yakni malu jika tidak berlaku tidak baik. Prinsip ini mendidik manusia agar dapat berprilaku baik. Jika perbuatan yang melanggar aturan adalah sudah selayaknya untuk dijauhi atau tidak dikerjakan, karena pada dasarnya hal tersebut sudah jelas-jelas dilarang oleh agama. Wacana-wacana kebudayaan ini merupakan wacana lisan kebudayaan Gayo yang merupakan dasar ideologi masyarakat Gayo yang dapat direalisasikan menjadi prinsip kesopan-santunan, kerja sama dalam menjalani kehidupan dan juga dapat menjadi tolok ukur pengembangan pendidikan berkarakter di Indonesia.   

Solusi

Wacana kebudayaan masyarakat Gayo yang melingkupi nilai “mukemel”, “tertip”, dan “akal kin pangkal kekire kin belenye” merupakan tonggak penggerak utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan keberadaban mahluk manusianya untuk dapat mencapai kehidupan yang lebih hasmonis dan damai. Nilai-nilai ini merupakan abstraksi dari norma agama (Islam) yang menganjurkan manusianya untuk saling harga menghargai, hormat-menghormati, saling bekerja sama dan hidup harus memiliki perinsip. Konsef yang berwujud wacana (cultural scripts) ini dapat dijadikan sebagai modal utama pencapaian nilai-nilai berkehidupan yang kemudian bermuara kepada ‘memanusiakan manusia’ yang berkembang atas dasar keimanan dan kepercayaan manusianya.

Penerapan dan pengembangan nilai-nilai ini lebih kepada nilai spiritual (menekankan kecerdasan spritualitas) manusianya dan para peserta didik. Perinsip ini merupakan standar kompetensi dari perwujudan akhlak manusia. Pandangan pendidikan menurut konsef budaya Gayo lebih mengutamakan kecerdasan spritualitas manusianya atau peserta didik dibanding kecerdasan kognitif, namun demikian kecerdasan kogntif tidak boleh ditinggalkan. Manusia baru dapat menjadi manusia seutuhnya ketika  mereka mampu mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dan harga diri orang lain untuk membangun harga diri sendiri.

Kesimpulan

Fungsi mite dalam kehidupan sosial budaya masyarakat adalah: (1) untuk mengembangkan simbol-simbol yang penuh makna serta menjelaskan fenomena lingkungan yang mereka hadapi, (2) sebagai pegangan bagi masyarakat penggunaya untuk tujuan membina kesetiakawanan sosial di antara para anggota masyarakat agar mereka dapat saling membedakan antara komunitas yang satu dan yang lain  dan, (3) sebagai sarana pendidikan yang paling efektif terutama untuk mengukuhkan dan menanamkan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan keyakinan tertentu. Pada umumnya mite-mite dikembangkan untuk menanamkan dan mengukuhkan nilai-nilai budaya, pemikiran maupun pengetahuan tertentu, yang berfungsi untuk merangsang perkembangan kreativitas dan inovasi dalam berpikir.

Mite bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja tanpa penjelasan apa-apa. Segala sesuatu yang gaib dan yang ada di balik tradisi lisan dan legenda di bagian belahan bumi mana pun di dunia ini pasti mempunyai sebuah nilai yang disusupkan di baliknya.Sejak zaman dahulu manusia telah berusaha menjelaskan konsep diri mereka sebagai manusia dan hubungan mereka dengan alamnya lewat ilmu berpikir sederhana bernama mite. Hal-hal inilah yang melahirkan peradaban-peradaban yang diadopsi oleh kelompok-kelompok masyarakatnya. Konsef-konsef tersebut di atas sangat efektif dan efisien direalisasikan dalam interaksi dengan sesama dan sebagai landasan dasar berpijak pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam dunia pendidikan, karena pengembangan keilmuan berdasarkan mite ini berdasarkan “absolutely absolute” tidak melalui konsef “relatively absolute”. Konsef pengembangan ilmu pengetahuan berdasarkan “absolutely absolute” ini menanamkan prinsip yang kuat pada diri peserta didik, tidak mudah terpengaruh oleh paham-paham baru sebelum paham tersebut diselidiki oleh mereka secara cermat.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.