Oleh: Lafizan*
Mendialektikakan kata cinta tidaklah semudah lidah berucap bak burung beo yang pandai meniru, melainkan melibatkan hati dan perasaan.”

Berawal dari kata cinta, cinta adalah hasil karya fenomenal yang muncul dari perasaan yang akan terintegrasi menjadi karsa berwujud karya dan cinta sering dikaitkan dengan hati.
Cinta tanpa hati bagaikan bintang tanpa cahaya dan hati tak dapat dipisahkan melainkan harus disatu-padukan antara keduanya. Setiap manusia diberikan rasa cinta sebagai fitrah dalam hidupnya sehingga dengan cinta itu manusia dapat bersaudara, berbagi, bertoleransi dan berkasih-sayang antar sesama. Cinta yang ada pada diri manusia adalah cinta yang benar-benar cinta bukan cinta rekayasa dan bukan pula cinta nafsu belaka.
Kehadiran cinta di dalam hati manusia merupakan suatu anugerah teragung dari penciptanya, dengan cinta manusia mampu merubah dirinya sendiri, mampu bersyukur dan mampu berkorbaban diatas segalanya.
Cinta adalah fitrah yang diberikan kepada manusia, lalu kenapa harus ada cinta itu ?. Ke-eksistensian cinta pada manusia tidak terlepas daripada pemilik cinta itu sendiri, cinta sebenar-benar cinta harus terkontrol oleh-Nya.
Manusia menganggap bahwa cinta itu hanya hadir disaat remaja saja setelah itu hilang rasa cinta dalam diri manusia. Ini merupakan suatu kekeliruan dalam berpikir bahwa sesungguhnya cinta itu akan terus bersemayam dalam diri manusia sampai menemui Tuhan-Nya, karena cinta dapat menyatukan manusia dengan manusia dan manusia dengan sang Khaliq.
Realitas yang ada pada saat ini bahwa cinta tumbuh dalam diri manusia tidak lagi berlandaskan pada kebaikan melainkan pada kehancuran. Hal ini terlihat dari sebagian kita mencintai sesuatu hanya berdasarkan harta, pangkat, kekuasaan, kecantikan, penampilan dan nafsu namun manusia cenderung melupakan hal yang paling urgen yaitu cinta berlandaskan pada moral dan budi pekerti yang semuanya bermuara kepada Tuhan itulah yang disebut dengan cinta hakiki, cinta yang bersatu dengan cinta-Nya.
Para filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles beranjak dari rasa pengetahuan yang teramat besar, mereka haus dengan ilmu pengetahuan dan rasa penasaran, dengan itu semua membuat mereka ingin berkhidamat dengan pengetahuan atas dasar kecintaanya terhadap ilmu pengetahuan dan sesuatu yang tak berwujud. Selain mereka ada pula filosof Muslim seperti Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali mereka juga tidak kalah penting dengan filosof filosof Yunani, mereka juga haus akan keberadaan ilmu pengetahuan sehingga mereka mencarinya dengan bermacam cara walaupun membutuhkan waktu yang lama sehingga mereka menulis dan menghasilkan karya, itu semua berlandaskan cinta dan ada kehakikatan cinta dalam dirinya.
Dalam hal ini cinta yang tumbuh dalam diri manusia harus berlandaskan ilmu dan perasaan, kedua hal ini dikemas dalam satu kemasan yaitu di dalam hati sebagai harta untuk berjumpa dengan-Nya. Buktikan rasa cinta yang tumbuh ini adalah milik-Nya dan ikrarkan dalam hati akan selalu menjaganya karena Allah semata. Mau tidak mau kita harus menerima kehadiran cinta dalam hati, oleh karena itu cinta dalam perspektif filsafat tidak tumbuh melainkan dengan keesaan-Nya.
Kata Imam Al- Ghazali seluruh yang ada di muka bumi ini tidak terlepas dari perhatian Allah yang maha menyaksikan ( Asy Syahid) namun kerena ada kehendak manusia yang dibiarkan oleh Allah maka diperlukan manusia sebagai pengubahnya.[]
*Penulis: Alumni dan Pengajar di Pondok Pesantren Terpadu Nurul Islam Belang Rakal, Bener Meriah.