(Refleksi Hari Guru Nasional)
Oleh Johansyah*
SALAH satu ‘keistimewaan’ pendidikan Indonesia adalah seringnya bongkar-pasang kurikulum. Belum mapan dan terujinya satu model kurikulum, lalu diganti dengan model kurikulum lain. Pertanyaannya seberapa besar pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas pendidikan, khususnya pembentukan karakter peserta didik? Bandingkan saja Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan Kurikulum 2013 (K13). Pasca pemberlakuan K13, apakah perubahan yang signifikan menurut amatan kita? Saya melihat perubahannya hanya bersifat administratif saja.
Manakala pendidikan nasional dilanda dengan berbagai persoalan, hal pertama yang patut ditelaah adalah guru, bukan kurikulum. Kurikulum tidak lebih dari barang mati yang dikendalikan guru. Sementara guru menjadi kunci penentu kesuksesan pendidikan. Kurikulum juga tidak luput dari upaya revisi, tapi bukan merupakan komponen penentu perubahan pendidikan. Jadi jelas bahwa pemerintah semestinya lebih mengutamakan pembenahan kualitas guru dari pada merevisi dan mengganti kurikulum.
Belakangan kelihatannya langkah pemerintah terus diarahkan kepada perbaikan yang lebih berorientasi pada guru. Sertifikasi merupakan salah satu bukti bahwa adanya keinginan untuk meningkatkan kualitas guru. Meski demikian, menurut saya program sertifikasi masih membutuhkan banyak pembenahan sebab program ini belum banyak memberi pengaruh terhadap kualitias pendidikan secara signifikan. Bahkan berdasarkan beberapa penelitian tidak banyak perbedaan kualitas antara guru yang sertifikasi dengan guru yang belum disertifikasi. Berarti banyak yang belum sesuai dan perlu pembenahan mengenai regulasi guru sertifikasi. Ingat juga, hal yang perlu dihindari adalah kesan formalitas, administratif, dan tidak menyentuh substansi.
Kalau ada pertanyaan, mana yang paling utama antara materi dan metode, dan antara metode dengan guru? Ternyata gurulah yang menjadi jiwa atau ruh pendidikan itu sendiri. Konsep inilah yang secara konsisten ditanamkan oleh pimpinan pesantren Gontor dulu KH Zarkasyi dan juga KH Hasan Abdullah Sahal. Konsepnya yaitu at-thariqah ahammu mina-l-maddah, wa al-mudarris ahammu min at-thariqah, wa ruhu al-mudarris ahammu min al-mudarris nafsihi (metode lebih penting dari materi, guru lebih penting dari metode, dan ruh guru lebih penting dari guru itu sendiri). Intinya, dalam proses pendidikan guru yang jadi penentunya.
Beberapa pekan lalu ada sebuah kajian yang diadakan oleh Microsoft terkait semakin dominannya peran teknologi dalam pembelajaran. Bahkan banyak yang berasumsi bahwa peran guru akan tergantikan. Ya, untuk urusan pengayaan otak boleh jadi. Bahkan bisa saja guru ketinggalan informasi dan peserta didiknya lebih mengerti karena gurunya tersebut gaptek (gagap teknologi). Lalu bagaimana dengan ranah afektif terkait dengan pembentukan karakter anak didik? Saya yakin teknologi tidak akan mampu menggantikan peran yang satu ini.
Dalam bukunya Fiqh al-Tarbiyyati al-Abna’, Musthafa al Arawy, menyatakan bahwa perilaku baik guru sangat berpengaruh bagi perkembangan peserta didik menjadi baik di dunia maupun akhirat. Sesuatu yang konyol bagi guru jika dia menyuruh peserta didiknya berbuat maksiat, sementara dia melakukannya. Sungguh pula tercela manakala guru meminta peserta didiknya agar tidak berdusta, sementara dia sendiri berdusta. Demikian halnya, dianggap suatu sikap yang konyol ketika guru melarang peserta didiknya merokok, sementara dia sendiri merokok. Begitu seterusnya.
Tanpa guru yang profesional dan berakhlak mulia, sebagus apa pun kurikulum tidak akan mungkin dapat diimplementasikan dengan baik jika tidak didukung oleh sumber daya manusia (SDM) guru yang profesional dan berakhlak baik. Maka tidak mengherankan jika dalam konsep dan pengembangan karakter peserta didik, faktor guru menjadi perhatian serius.
Hanya guru cerdas dan berakhlak yang mampu melahirkan peserta didik yang cerdas dan berakhlak pula. Sehebat apapun desain kurikulum dan perkembangan teknologi pendidikan, maka akan tidak bermakna jika guru yang melaksanakan proses pembelajaran tersebut tidak memiliki kapasitas dan integritas pendidikan.
Modeling
Guru adalah contoh ril bagi peserta didik dalam berperilaku. Perkataan, sikap, dan perbuatan seorang guru akan menjadi ‘materi’ pokok anak didik dan sangat mudah mereka serap. Bahkan karakter gurulah yang paling cepat dihafal dan dipahami oleh anak didik. Setiap karakter guru akan melekat dalam jiwa anak didik; guru cerewet, guru santun, guru disiplin, guru killer, guru ramah, guru tegas, dan sebagianya. Misalnya peserta didik kita ditanya, siapa guru matematika kamu? Seandainya dia belum hafal nama gurunya, maka dia akan menunjukkan karakter guru tersebut, ‘ooo ibu atau bapak yang murah senyum itu ya’, ‘ooo yang killer itu ya’? Dan sebagainya. Makanya guru harus perhitungkan setiap perilakunya di hadapan peserta didiknya.
Teori belajar sosial yang salah satu tokohnya adalah Albert Bandura, memandang bahwa sebagian besar yang dipelajari manusia terjadi melalui imitation (peniruan) dan modeling (penyajian contoh perilaku). Dalam hal ini, seorang peserta didik belajar mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian cara orang atau sekelompok orang mereaksi atau merespons sebuah stimulus tertentu. Peserta didik juga dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan dari perilaku contoh dari orang lain, misalnya guru atau orangtuanya.
Ada salah satu ungkapan pribahasa, yaitu “buah tidak jatuh jauh dari pohonnya”. Makna pribahasa ini adalah bahwa karakter anak tidak jauh berbeda dengan karakter orangtuanya atau orang yang kerap bersamanya. Ungkapan ini memang tidak dapat digeneralisasikan, namun pada beberapa kasus hal ini memang ada di sekitar kita. Watak atau sifat anak sama dengan sifat ayah atau ibunya. Di sekolah juga demikian, ada keyakinan yang kuat bahwa karakter guru sangat mempengaruhi perkembangan karakter peserta didiknya. Makanya ada juga pribahasa lain, yaitu “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Bahwa setiap perilaku guru akan menjadi “materi” dan nilai yang cepat atau lambat akan diserap oleh peserta didiknya.
Kesimpulannya bahwa peran guru sangat strategis, terutama dalam pembentukan karakter. Maka sebenarnya kita tidak dapat sepenuhnya merujuk kepada teori pendidikan humanistik yang bercirikan student centered (berpusat pada peserta didik), baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Teori ini harus direkonstruksi, terutama terkait dengan pembentukan karakter. Bahwa dalam pembentukan karakter, sekolah tidak sepenuhnya memusatkannya kepada peserta didik, tapi juga teacher centered (berpusat kepada guru, yakni keteladanan). Harapan kita ke depan, semoga pemerintah lebih mengutamakan pembenahan kualitas guru dari pada mengganti kurikulum karena pendidikan karakter pada dasarnya kembali kepada karakter guru itu sendiri. Selamat hari guru 2016, semoga terus berkontribusi untuk kemajuan pendidikan negeri ini. Jayalah guru. Semoga!
*Johansyah adalah Pemerhati Pendidikan, tinggal di Bener Meriah. Email: johan.arka[at]yahoo.co.id.