LTA77-PD Genap Mupakat; Max Havelaar di Gayo

oleh
Kondisi berantakan di komplek PD. Genap Mufakat

Catatan : Mustawalad*

Semakin lama orang Belanda berurusan dengan orang Jawa, maka di sini semakin makmur dan di sana semakin miskin. Itu adalah kehendak Tuhan yang mengharuskan!

MustawaladKALIMAT itu diucapkan Batavus Droogstoppel dari perusahaan Last&Co, makelar kopi yang beralamat di Jalan Lauriergracht Nomor 37 Amsterdam, Belanda.

Batavus Droogstoppel adalah tokoh fiksi dalam novel  Max Havelaar, of de koffijveilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (Max Havelaar atau Pelelangan Kopi oleh Maskapai Belanda) karya Multatuli.

Droogstoppel memiliki motto, “Profesiku adalah hidupku.”

Novel tadi diterbitkan pertama sekali pada 1860. Multatuli  adalah nama pena Eduard Douwes Dekker.

Di sampul belakang  Max Havelaar versi bahasa Indonesia yang saya miliki, tertulis riwayat singkat Multatuli.

“Dia adalah anggota dewan pengawasan keuangan Pemerintah Belanda yang pertama kali ditempatkan di wilayah Batavia (Hindia-Belanda) pada 1840. Tahun 1842 ia meminta untuk dipindahkan ke Sumatera Barat. Di tahun yang sama pula, di dipindahkan ke Natal, Sumatera Utara, untuk bertugas sebagai kontelir. Baru setelah itu dia ditugaskan di wilayah Lebak, Banten. Selama bertugas sebagai perpanjangan tangan pemerintahan Belanda, Douwes Dekker justru menolak tegas modal pemerintahan Belanda. Ketidakadilan, perampasan,  serta penjajahan merupakan titik awal dari kritik penolakannya. Seorang Douwess Dekker jauh lebih memalingkan perhatiannya kepada fenomena kelaparan, penderitaan, serta ketertindasan yang dialami rakyat pribumi di Hindia-Belanda, terutama di wilayah yang pernah menjadi tempatnya bertugas.”

Semasa menjabat asisten residen Lebak, Dekker menyaksikan langsung praktik eksploitasi kolonial Belanda dan kaki tangannya yang  memaksa rakyat bekerja di kebun tanpa dibayar. Dia menyaksikan penerapan pajak tanah dan hasil panen yang tinggi serta perampasan harta milik petani. Dekker melawan praktik penjajahan melalui tulisannya.

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terkemuka Indonesia, menyebut Max Havelaar sebagai buku yang menghancurkan kolonialisme.

Kini nama Max Havelaar makin popular,  bukan  hanya sebagai novel tetapi merek dagang kopi yang berbasis di Belanda. Nama Max Havelaar  ini juga kemudian menjadi  nama untuk gerakan Fair Trade atau perdagangan yang adil.

Kisah Max Havelaar sebagai gerakan dan merek kopi dimulai di Negeri  Belanda, sebagaimana pernah ditulis majalah berita mingguan Tempo.

Kopi merek Havelaar bermula pada peristiwa di tahun 1986. Nico Roozen, Direktur Solidaridad—sebuah lembaga nonpemerintah untuk kerja sama pembangunan yang berbasis di Utrecht, Belanda—menerima telepon dari seorang petani kopi Meksiko. “Terima kasih atas donasi Anda,” kata si petani nun jauh di Amerika Latin itu. “Namun kami lebih suka dibantu mendapatkan harga yang adil untuk kopi kami.”

Percakapan itu membekas di benak Nico dan memberinya inspirasi untuk membuat merek kopi khusus. Dia lantas bekerja sama dengan pendeta Belanda yang juga aktif di koperasi petani di Meksiko, Frans van der Hoff, untuk mencipta label produk Fairtrade yang pertama di dunia.

Nama Max Havelaar dipilih karena dinilai tepat sebagai simbol perjuangan Solidaridad untuk memperoleh keadilan bagi petani kopi di Meksiko, sama percis dengan tindakan Multatuli saat memperjuangkan nasib petani kopi di Lebak pada 1856. Merek kopi Max Havelaar diluncurkan secara resmi pada 15 November 1988 di Amsterdam.

Pada akhir 1980-an dan awal 1990an, Max Havelaar sebagai gerakan Fair Trade untuk perdagangan yang adil kemudian menyebar ke berbagai negara walaupun dengan nama yang berbeda-beda, seperti Max Havelaar (di Belgia, Swiss, Denmark, Norwegia dan Prancis), Transfair (di Jerman, Austria, Luxemburg, Italia, Amerika Serikat, Kanada dan Jepang), Fairtrade di Inggris dan Irlandia, Rättvisemärkt di Swedia, dan Reilu Kauppa di Finlandia.

Sebuah lembaga nirlaba yang bernama Fairtrade Labelling Organizations International (FLO)  kelak didirikan pada 1997 di Bonn, Jerman, untuk menyatukan berbagai organisasi yang bergerak dalam Fair Trade dalam satu payung. Sejak 1998, Lembaga FLO ini memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikat yang berlabel Fairtrade.

Gerakan ini juga menyebar ke Indonesia, walau sebatas sebagai penerima sertifikat Fairtrade. Sejarahnya dimulai di Gayo.

Anthony Marsh, yang mengaku sebagai seorang ahli soal riwayat pengembangan kopi Aceh, mengungkapkan hal ini dalam bukunya, A Review of The Aceh Coffee Industry. Dia menyebutkan bahwa kopi Arabika pertama kali ditanam di Gayo pada 1924  setelah pembangunan jalan yang menghubungkan Bireuen dengan Takengon selesai dibangun 11 tahun sebelumnya. Pada awalnya perkembangan kopi ini lambat karena tingginya biaya transportasi dan keadaan ekonomi yang memburuk  pada 1930. Walaupun begitu penanaman tetap dilanjutkan dan area kopi semakin luas. Setelah itu, ada beberapa proyek yang dimaksudkan untuk pengembangan kopi Gayo. Seperti  International Development Assistance Project (IDAP) yang hanya memusatkan kerjanya di Aceh Tengah dan mulai berjalan pada 1978. Projek ini kemudian berlanjut ke proyek selanjutnya di bawah pengawasan Belanda yang dikenal dengan nama Central Aceh North Aceh Rural Development (CANARD) di tahun 1983. Setelah itu berturut-turut ada PPW (Proyek Pengembangan Wilayah),  LTA 77 (Loan Technical Assistance 77), dan Small Holder Coffee Project  (Proyek Pengembangan Kopi Skala Kecil).

Gayo adalah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi di Aceh. Daerah ini cocok untuk perkebunan kopi.  Daerah yang dihuni suku bangsa Gayo meliputi kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara.

Salahsatu bangunan PD. Genap Mufakat
Salahsatu bangunan PD. Genap Mufakat, foto diambil Rabu 2 Nopember 2016. (LG.co_Khalis)

Pada 1983 Project LTA 77 diresmikan. Proyek ini  mempunyai pabrik dan fasilitas pengolahan biji kopi yang luasnya sekitar 8,3 hektar dan terletak di desa Pondok Gajah, kecamatan Bandar, kabupaten Aceh Tengah (setelah pemekaran masuk wilayah kabupaten Bener Meriah).

Saya masih belajar di kelas tiga sekolah dasar waktu itu.  Guru-guru dan para murid diminta datang untuk menyaksikan peresmian proyek tersebut. Hal yang paling saya ingat adalah ketika  duta besar Belanda untuk Indonesia yang menjabat pada saat itu, saya tidak tahu namanya, membaca teks pidato dalam bahasa Indonesia dengan terbata-bata dan sampai pada kata-kata, “Pada masa perang Aceh dengan Belanda, banyak tentara Belanda yang mati di sini.”  Para undangan yang hadir langsung tertawa lebar dan bertepuk tangan, saya juga tertawa dan bertepuk tangan, senang atas pengakuan itu.

Setelah pabrik beroperasi, terjadi perubahan dalam pola penjualan kopi di Gayo.  Dulu petani akan mengolah dulu kopinya menjadi gabah lalu dijual ke agen pengumpul yang bertingkat-tingkat itu. Kini para petani  menjual langsung hasil panen ke kolektor yang ditunjuk perusahaan. Harga kopi  pun semakin bagus.

Bagian Komplek PD. Genap Mufakat, Rabu 2 Nopember 2016
Bagian Komplek PD. Genap Mufakat, Rabu 2 Nopember 2016

Sayangnya, proyek ini dihentikan secara tiba-tiba pada 1992. Tidak jelas penyebabnya. Tapi banyak yang menghubungkannya dengan kemarahan presiden Soeharto terhadap kritik Belanda dan kemudian dia mengeluarkan kebijakan untuk memutuskan semua program hutang yang berhubungan dengan pemerintah Belanda saat itu.

Bagi saya, salah satu titik penting dalam pengembangan kopi di Gayo adalah dengan adanya proyek LTA 77 tadi.

Setelah kerjasama dengan pemerintah Belanda putus, proyek ini kemudian diambil alih pengelolaannya oleh Perusahaan Daerah Genap Mufakat (PDGM), dengan komposisi pembagian saham 50 persen untuk pemerintah provinsi Aceh, 20 persen untuk kabupaten Aceh Tengah dan 20 persen untuk Koperasi Entan Pase, yang beranggotakan 667 petani dan memasok biji kopi mereka ke PDGM.

Kelak PDGM dianggap membebani keuangan daerah Aceh. Akibat pengelolaan yang salah, perusahaan ini tidak pernah meraih untung dan akhirnya, gulung tikar.

Setelah itu muncul koperasi bernama Persatuan Petani Kopi Gayo Organik (PPKGO) dengan jumlah anggota sebanyak 1.900 petani, yang 20 persen di antaranya perempuan.

Aset terbengkalai PD. Genap Mufakat
Aset terbengkalai PD. Genap Mufakat

Pembentukan PPKGO difasilitasi satu organisasi yang berbasis di Vermont, Amerika Serikat. Fores Trade  nama organisasi tersebut, sebuah lembaga yang bekerja di bidang isu-isu lingkungan, terutama pertanian berkelanjutan dan konservasi alam.

Melalui dukungan Fores Trade inilah di bulan Maret 2000, PPKGO mendapat sertifikat dari FLO dengan nomor 887 (FLO ID 887). PPKGO mencatatkan dirinya sebagai koperasi pertama di Indonesia  yang mendapatkan label produk bersertifikat Fairtrade.

Sejak saat itu ada dua kekuatan yang bermain dalam bisnis kopi di Gayo, pertama PDGM dengan produk organiknya dan PPKGO dengan produk organik dan Fairtrade. Melihat keberhasilan PPKGO, muncul beberapa koperasi yang ingin mendapatkan sertifikat organik dan Fairtrade.

Lagi-lagi, kemajuan PPKGO tidak berlangsung lama. Pada 2008 organisasi ini tidak lagi aktif dan sertifikat Fairtradenya dicabut. Sekali lagi, pengelolaan yang salah jadi sumber bangkrutnya.

Padahal, dengan label Fairtrade petani kopi dapat menetapkan harga minimum yang tidak terpengaruh terhadap naik atau turunnya harga di pasaran, Selain itu pangsa pasar untuk produk yang memiliki label Fairtrade makin luas di Eropa dan Amerika serta negara Asia seperti Jepang dan Korea Selatan.

Pada 30 September 2010 lalu, saya bertemu dengan Shri Ashram, manager pengembangan usaha dari Transfair USA, di Takengon, Aceh Tengah. Ashram menyatakan bahwa Transfair USA telah berganti nama menjadi Fairtrade USA.

“Pasar untuk produk yang berlabel Fairtrade semakin meluas dan muncul kesadaran di masyarakat Amerika untuk membeli produk ini.  Produk utama dan terbesar Fairtrade di Amerika adalah kopi,”  ujar lelaki keturunan India, yang berkewarganegaraan Kanada ini.

Oh, ya, ada perbedaan penulisan untuk “Fair Trade” sebagai sebuah gerakan perdagangan yang adil dan “Fairtrade” sebagai sebuah label dari produk yang telah memenuhi kriteria dan standar dari lembaga pemberi sertifikat.

Dalam sistem perdagangan berlabel Fairtrade yang sekarang dijalankan di sentra produksi kopi di Bener Meriah dan Aceh Tengah, ada tahapan tertentu sampai kopi bisa diekspor.

Tahap pertama tentu saja, petani memanen kopi yang telah matang, yang sering disebut dengan gelondong merah, lalu dia menjual gelondong ini kepada pengumpul atau kolektor; kolektor kemudian membawa kopi ini ke koperasi untuk diproses.

Proses dari mulai panen hingga kopi dibawa ke Medan bisa berlangsung sekitar tujuh sampai 10 hari. Di gudang eksportir di Medan biasanya butuh 14 hari lagi untuk menyiapkan kopi hingga bisa dibawa ke kapal kargo di pelabuhan Belawan.

Mekanisme penjualan seperti ini membuat rantai perdagangan lebih singkat. Dulu petani akan menjual kopi kepada pengumpul kecil, pengumpul sedang, dan pengumpul besar. Harga kopi pun jadi rendah karena banyaknya rantai dagang yang harus dilewati.

Dalam  standar yang ditetapkan Fairtrade, kolektor harus dipilih oleh kelompok petani secara demokratis dan kolektor ini harus memiliki kontrak kerja dengan koperasi.

Dataran tinggi Gayo merupakan pusat penghasil kopi Arabika  yang luas lahan perkebunan kopinya mencapai 96.877 hektar, diyakini yang terluas di Asia Tenggara.

Semak belukar selimuti komplek PD. Genap Mufakat
Semak belukar selimuti komplek PD. Genap Mufakat

Sejak di perkenalkannya pola perdagangan Fair Trade di tahun 2000 lalu,  dari situs internal www.flo-cert.net tercatat bahwa di Indonesia sudah ada 27 koperasi yang pernah mengajukan lamaran untuk mendapatkan sertifikat Fairtrade. Jenis produk yang diajukan selain kopi, ada kakao, gula dan jambu mete.

Sebanyak 22 koperasi mengajukan lisensi untuk kopi, tiga untuk kakao, satu untuk jambu mere, dan satu untuk gula. Koperasi-koperasi ini berlokasi di Aceh dan Sulawesi.

Ada 12 koperasi kopi di daratan tinggi Gayo yang masih memegang sertifikat dan berbisnis dengan sistem Fairtrade.

FLO juga mempunyai mekanisme untuk mengawasi penerapan standar dan kriterianya. Mereka akan mengirim auditor yang berasal dari FLO-CERT setiap tahun. FLO-CERT adalah perusahaan pemberi sertifikat mandiri yang dimiliki FLO.

Meski sistem ini telah disepakati, tapi kecurangan masih dilakukan pihak eksportir. Misalnya, mereka membeli kopi yang bukan dari koperasi bersertifikat Fairtrade dan melaporkan bahwa kopi itu dibeli dari mereka yang bersertifikat tersebut.

Salah satu hal yang ditekankan dalam Fairtrade adalah penelusuran asal-usul produk yang dihasilkan, seperti dari mana sumber kopi, siapa nama petaninya, berapa jumlah yang dijual, siapa pembelinya, siapa eksportirnya, kapan dikirim, kapan diproses. Semua harus tercatat.

Untuk memuluskan bisnis kotor mereka,  biasanya eksportir bekerjasama dengan koperasi yang juga nakal, tentunya dengan cara membagi keuntungan.  Koperasi yang memiliki akses langsung ke petani bertugas untuk menyiapkan semua pencatatan dari mulai pembelian, pengumpulan, proses, dan tanggal pengiriman. Sehingga ketika audit dilakukan, hal ini tidak terlacak.

Pola lain kecurangan yang dilakukan eksportir adalah tidak membayarkan harga  sosial premium yang menjadi hak petani.

Dana premium ini harus dikelola secara terpisah dari dana bisnis. Sudah menjadi keharusan bahwa koperasi memiliki komite premium yang dipilih dari dan oleh petani secara demokratis dan komite ini memiliki kewenangan  untuk menentukan peruntukan premium.

Besarnya sosial premium untuk produk kopi sudah ditetapkan yaitu sebesar US$ 0,22 per kilogram dan ini  merupakan nilai tambah dari harga kopi yang akan dijual serta dinegosiasikan ketika akan melakukan kontrak penjualan kopi.

Dana yang menggiurkan inilah yang sering jadi masalah eksportir maupun koperasi, seperti yang dialami oleh Koperasi Tunas Indah. Kasusnya pernah diberitakan di media nasional dan lokal Aceh.

Syafrin Rusli menuturkan sebab-musabab kekisruhan di Tunas Indah ini kepada saya, ketika menemuinya di Kebayakan, Takengon.

“Masak kita mau dijajah lagi oleh Belanda setelah dulu dijajah,” tuturnya, membuka pembicaraan. Mata Syafrin terlihat membesar ketika mengungkapkan kalimat tersebut. Syafrin menjabat sebagai general manager Koperasi Tunas Indah.

Menurut Syafrin, sejak PDGM tidak lagi melakukan kegiatan secara normal, manajemen PDGM kemudian mencari mitra kerja yang baru, yaitu Holland Coffee Group dalam bentuk kerjasama operasi (joint operation).  Holland Coffee Group menganggap kegiatan kerjasama ini berhasil, sehingga hubungan mereka ditingkatkan menjadi joint venture (perusahaan patungan). Untuk itu, Holland Coffee Group membentuk anak perusahaan, yakni Indonesian Specialty Coffee BV (ISC BV) yang berkedudukan di Belanda. Hasil joint venture antara PDGM dan ISC BV melahirkan anak perusahaan, yakni PT. Genap Mupakat Gayo Specialty Coffee (PT. GMGSC)  yang didirikan pada 15 Oktober 1999, dengan komposisi pemegang dan jumlah sahamnya adalah 70 % ISC BV dan 30 % PDGM.

Kondisi berantakan di komplek PD. Genap Mufakat
Kondisi berantakan di komplek PD. Genap Mufakat

Untuk pemasok kopi ke PT. GMGSC dibentuklah sebuah koperasi yang bernama Koperasi Tunas Indah. Koperasi ini semula memiliki anggota dari peralihan anggota Koperasi Entan Pase sebanyak 667 petani.

Koperasi Tunas Indah pun terus berkembang, sehingga anggotanya bertambah jadi 3.959 petani. Dan menjadi salah satu koperasi kopi Arabika terbesar di Gayo. Koperasi ini mengantongi sertifikat Fairtrade sejak 2005.

Syafrin dulu bekerja di sebuah bank milik pemerintah. Setelah tidak bekerja lagi di bank,  dia kemudian bergabung dengan Tunas Indah.

Dia mulai melakukan pembenahan di koperasi tersebut. Sebagai seorang yang yang pernah berhubungan dengan pelaporan dan paham penelusuran tentang keuangan, Syafrin menemukan keganjilan. Ada ketidaksesuaian penghitungan premium yang dilakukan dan dibayarkan  oleh PT. GMGSC dengan penghitungan dan yang diterima  Koperasi Tunas Indah.

Koperasi Tunas Indah kemudian menyatakan bahwa PT. GMGSC sebagai eksportir telah melakukan kecurangan dan belum membayar sosial premium untuk  kopi petani anggota koperasi sesuai standard Fairtrade untuk penjualan tahun 2005-2007 dan kuartal I-III tahun 2008.

Syafrin menghitung premium yang belum dibayar perusahaan itu. Jumlahnya, Rp 20,3 miliar! Itu belum termasuk bunga.

Sekarang saya mengerti kenapa Syafrin mengatakan Gayo masih dijajah. Pengusaha Belanda itu mencoba untuk mencari cara agar tidak membayar hak atau jerih payah petani, seperti tindakan pemerintah kolonial Belanda yang tertulis di novel Max Havelaar.

Pada 1 Januari 2009, Syafrin mengirim surat kepada manajemen PT. GMGSC yang menyatakan bahwa Tunas Indah memutuskan hubungan kerjasama dengan PT. GMGSC.

Selain putusnya hubungan kerja kedua mitra, FLO-Cert sebagai lembaga pemberi sertifikat Fairtrade kemudian membekukan sementara  (suspend) sertifikat yang dimiliki Koperasi Tunas Indah dan PT. GMGSC. Pemerintah kabupaten Bener Meriah bereaksi dengan  menunda pemberian izin Hak Operasional  dan Surat Izin Tempat Usaha (HO dan SITU) kepada PT. GMGSC.

Kini Koperasi Tunas Indah telah  mendapatkan kembali sertifikat Fairtradenya. Mereka berbisnis dengan eksportir lokal di Medan, CV. Arvis Sanada.

Banyak lagi sebetulnya kecurangan dan kerugian yang diderita petani, selain hal semacam tadi.

Ahmad Humam Hamid, dosen Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, mengatakan, “Perdamaian Aceh akan berkelanjutan, kalau semua elemen seperti pemerintah, pengusaha, lembaga keuangan dan  masyarakat bekerja untuk meningkatkan taraf hidup melalui peningkatan perekonomian masyarakat.”

Tapi petani Gayo tidak selalu mengandalkan pemerintah.

“Kalau pemerintah tidak mau membantu kami, kami akan tetap berjalan, toh selama inipun kami bekerja tanpa ada bantuan apapun dari pemerintah,” kata Djumhur.

Djumhur adalah konsultan lingkungan untuk Koperasi Permata Gayo yang beralamat di  Simpang Utama, kecamatan Bandar, Bener Meriah. Dia mengucapkan hal itu dalam satu konferensi Fairtrade Indonesia.

Di bulan ini petani di Gayo  mulai memanen kopi mereka. Di kebun-kebun terlihat  petani memetik buah kopi.

Cuaca sejuk serta kehangatan dan aroma khas kopi Gayo merupakan pasangan yang sesuai. Semoga nasib petani tidak sehitam warna kopi yang kita nikmati setiap hari.[] (sumber: acehfeature.org)

*) Mustawalad, pernah sebagai kontributor Aceh Feature  di Takengon, Aceh Tengah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.