TAMPAKNYA “Didong” kali ini penting dicatat. Bukan untuk sejarah. Cukup sebagai renungan bersama tentang seni dan politik kekuasaan. Saya melihat balutan khas “Didong” sangat efektif, menusuk dan mengangkat emosional Gayo sebenarnya.
tanpa politik juga hambar, apalagi politik tanpa seni, itu wujud aneh lagi, yakni darah dan airmata, sangat tidak menguntungkan.
Perhelatan Didong semalam suntuk yang digelar Ikatan Musara Gayo di Museum Prajurit, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Sabtu 6 Agustus 2016, sangat menyedot perhatian masyarakat Gayo perantauan. Tidak tanggung-tanggung memang, bungkusan “halalbilhalal” masyarakat Gayo 4 Kabupaten di perantauan (Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara) berhasil mendatangkan sekitar 2 ribuan massa. Jumlah ini masih dianggap kurang, karena ada puluhan ribu kepala Keluarga masyarakat Gayo di Jabitabede yang tidak hadir.
Bagi saya ini positif, sebab silaturahmi akbar sesungguhnya masyarakat Gayo adalah “Didong Aseli”, dan itu dijalankan. Saya jamin, yang paling “menang” adalah kandidat gubernur Aceh dr Zaini Abdullah yang sekarang masih menjabat Gubernur dan calon wakil Gubernur Aceh Ir H Nasruddin, MM yang masih menjabat Bupati Aceh Tengah pula.
Poin paling menguntungkan calon Gubernur dan wakil Gubernur dari jalur independen tersebut, ketika diperkenalkan secara luas, dan bagi Nasruddin yang merupakan putra “Gayo” sudah membuktikan kepada Zaini apabila dirinya sangat didukung masyarakat Gayo.
Tentu, dana acara tersebut tidak perlu diperdebatkan, karena saya sangat yakin bersumber besar dari kandidat, walau sebenarnya Didong yang menampilkan seniman dari Aceh Tengah dan Bener Meriah merupakan agenda rutin masyarakat Gayo di Jakarta, sebab “Didong” merupakan alasan “silaturahmi” paling diminati.
Memang “Gayo” bukan mayoritas pemilih di Aceh, Jumlah pemilih se=aceh sekitar 16% saja, namun harus dipahami “logika” politik di Aceh sesungguhnya saat ini berada di wilayah Gayo, kecil namun “menguasai”. Itu tampak bagaimana wilayah tengah yang sukses mengantarkan putra terbaiknya ke DPR-RI hingga 45% dari jumlah kursi yang tersedia. Ini membuktikan politik di Gayo sangat realistis.
Kini emosional itu sangat dimainkan Bapak Nasruddin, menuntun Gayo memilih “Azan” yang notabene dirinya adalah Gayo.
Tidak ada yang salah, “Didong politik” memang sudah dikenal sejak lama. Kekuatannya berada di Syair, karena Didong bertarung dengan intektual rangkaian kata. Bahkan dalam setiap pertunjukannya, selalu diselip dengan kepentingan, Namun itu tidak lantas menjadikan Didong salah, sebab begitulah salah satu cara kesenian terjadi.
Jadi sangat jelas “Didong” dan “Politik Kekuasaan” penting dijaga supaya kelestariannya turut berjalan. Bila dulu seniman Didong hanya menjadikan Didong Jalu sebagai hobbi, tapi sekarang sebenarnya dapat menjadi komoditi pendapatan baru, tinggal mengemasnya saja.
Dan fahami saja, kalau Didong hanya dapat dijaga oleh seniman itu sendiri, dan jangan berlebihan menjadikan Didong sebagai komoditi politik, namun beri batasan supaya naturalitas Didong tetap berjalan, Soal kepentingan politik, seniman harus dapat mensinergikannya, dan bukan lantas menjilat, sebab Didong harus dijalankan, kendati harus membungkus politik didalamnya.[]
Penulis Adalah Redaktur Pelaksana LintasGayo.co