Wa Geu Pap (Bag 1)

oleh

[Cerpen]

Wa Geu Pap
(Ini Kenyataan yang Pahit dan Kepahitan Yang Nyata)
Karya: Teuku Afifuddin
Bag. 1

 

Ilustrasi-Cerpen“Wa geu pap! Aku semakin muak dengan pelayan negeri ini, mereka bicara tentang marwah dan martabat bangsa. Mereka mengagungkan seni budaya leluhur, sambil menepuk dada berhikayat. Bangsa kami adalah bangsa beradab! Fuih!”

Aku terus berjalan hingga terhenti di sudut kiri pentas. Ujung telunjuk kuusapkan ke lantai, dengan penuh marah aku menatap ujung jari yang biasa kugunakan untuk menunjuk arah bloking para aktor dan keluarlah kata-kata yang haram bagi sebahagian orang.

“Taik kucing, sepertinya gedung ini telah lama terabaikan, huk huk huk.”

Debu ruangan ini membuatku terbatuk dan dengan terpaksa aku menghentikan untuk sementara ucapan kekesalan. Aku  menjauh dan mencari sedikit udara segar yang mungkin saja masih tersisa disekitar pentas ini. Ternyata keberuntungan masih berlaku di atas pentas ini. Seperti tahun-tahun lalu, di atas pentas banyak aktor yang diberkahi keberuntungan. Sehingga banyak penonton tak menyadari kalau aktor itu sedang mendapat keberuntungan. ya, keberuntungan itu bernama inprovisasi.

Tiba-tiba kakiku berhenti di belakang pentas, dimana dulunya tempat berkumpul para aktor menunggu giliran untuk masuk ke arena pertunjukan. Dari atas tampak cahaya yang memotong tegas dan jatuh di lantai. Dari lubang atap tersebut aku mendapatkan sedikit udara segar. Dalam hati aku bergumam

“Ini seperti anugerah bagiku. Andai saja tak ada atap yang bocor, sepertinya aku akan pingsan dengan debu yang menyerang  pernapasanku.”

 Sejak aku menginjakan kaki di tanoh indatu ini, pikiranku terus tertuju kemari, kepada supir taksi aku meminta untuk langsung di antar kemari.

“Pak tolong antarkan saya ke Taman-taman” pintaku

“Baik mas” jawab supir taksi dengan logat nanggroe yang kental sambil memacu mobilnya. Wah mengapa aku dipanggil mas. Aku jadi heran, dalam hati aku bertanya.

“Sejak kapan panggilan mas berlaku disini?

Meminta untuk diantar ke Taman-taman bukanlah tanpa alasan. Disini aku berharap dapat menemukan jadwal pertunjukan yang dapat ku tonton dan kemudian mencatatnya. Catatan itu aku butuhkan nanti sebagai pengingat agar aku tak melewatkan kesempatan sekecilpun untuk menonton pertunjukan di sini. Maklum, sekian tahun aku di ranah urang. Rinduku begitu menggebu, pada gedung yang dulu pernah menguji nyali untuk berhadapan didepan banyak orang. Ternyata kini banyak yang telah berubah. Saat diluar tadi aku begitu tertekun dibuatnya. Gedung ini telah dikelilingi pagar kokoh, dengan tulisan di sebuah batu besar “Cagar Budaya”.

Aku tak dapat merasakan Aceh ketika kakiku diseberang, kucoba berimajinasi, namun pupus. Padahal sudah bergelas-gelas kopi aku habiskan, dari yang manis hingga pahit atau mungkin halusinasiku belum cukup kuat seperti mereka? Mampu menulis dan berbicara tentang Aceh dari negeri urban. Namun saat tubuhku berpeluh dengan debu ruang pengap ini, aku dapat betul merasakan kepahitan masalalu dan masalalu yang pahit. Seperti ruang yang angker, terngiang di telingaku para aktor yang sedang memainkan perannya atau sedang latihan.

“Disini, hati nurani telah hilang, akal sehat telah mati. Cinta telah terkubur. Lalu, aku saksikan sejarah terluka. Peradaban terkoyak-koyak, oleh cakar kezaliman. Wahai, aku saksikan keruntuhan matahari. Disini tak ada lagi siapa-siapa, tak ada lagi apa-apa. Hitam, hitam. Gelap, gelap”. Tanpa sadar mulutku mengucapkan kalimat itu.

Kalimat dari penggalan naskah karya almarhum guruku yang telah berdamai bersama tsunami. Kalimat itu sangat menyesakkan dadaku, melebihi daripada hantaman debu gedung ini yang bergerilya menusuk lubang hidungku dan berpacu kencang hingga rongga-rongga dadaku. Bagaimana tidak, di gedung ini dulu banyak lahir pertunjukan-pertunjukan dahsyat. Bahkan aku pernah merasakan hangatnya pelukan pentas persenium ini.  Walaupun saat itu gedung ini masih banyak kekurangan, tidak seperti sekarang, sudah megah. Semua perlengkapan pertunjukan sudah terpasang dalam Rencana Anggaran Belanja dan tertata rapi melalui bualan para penerima anggaran.

Aku masih ingat, di atas pentas bertebaran cahaya dari lampu yang berwarna. Ya, aku masih bisa merasakan panasnya lampu itu. Cahaya merah dari sebelah kanan memotong tajam sebelah wajahku dan mendarat indah di lantai pentas ini.

“Lihat, coba anda lihat, begitu indah cahaya biru yang damai  bertemaram didepanku. Oh, aku merasa seperti berada dipersimpangan dari kepedihan menuju kedamaian. Memang saat-saat berjaya pertunjukan di gedung ini, kondisi masyarakat disini dalam keadaan ketakutan, seperti cahaya merah yang memotong tajam diwajahku”. Dengan marah aku berteriak seakan dihadapanku ada ratusan penonton yang sedang menyaksikan aku melepas rindu.

Sepertinya, semakin lama cahaya dari atap yang bocor membakar tubuhku, sama seperti saat pertama kali aku mengenal lingkungan taman-taman. Disini, orang-orang bercerita tentang kebudayaan, tentang peradaban dan kesenian yang punah. Mulai dari bawah pohon keupula sampai gedung-gedung beratap anggaran rakyat. Dibawah keupula orang-orang bicara tentang tidak pedulinya penerima anggaran kesenian dan kebudayaan, sampai konsep mempertahankan dan membangun seni budaya. Namun hingga berwaktu-waktu mereka tidak juga bergerak. Di gedung-gedung beratap anggaranpun tak mau kalah, berbagai konsep kegiatan mereka kumpulkan, mulai proposal sampai berbagai stempel lembaga kesenian dan kebudayaan mereka miliki. Semua demi tujuan mulia, menghabiskan anggaran. (Bersambung)

Catatan :
Wa Geu Pap (Bahasa Aceh)               : Ungkapan kekesalan
tanoh indatu (Bahasa Aceh)                : Tanah nenek monyang
pohon keupula (Bahasa Aceh)           : Pohon Tanjung
ranah urang (Bahasa Minang)           : Tanah Orang
peukan (Bahasa Aceh)                        : Pasar

Teuku Afifuddin dikenal dengan Teuku Afeed. Lahir di langsa, 16 Juni 1982. Suami dari Juriawati, SH dan Ayah Cut Azalea Syadza. Pemilik KTP dengan pekerjaan Seniman. Editor Film Dokumenter diantaranya The tsunami song, silent after war, musik tanpa bunyi dan beberapa FTV. Film Dokumenter Karya editingnya “The Tsunami Song” menerima penghargaan terbaik Festival Film Dokumenter-Jogja 2005. Film dokumenter pendek pertamanya “Pujangga Tanpa Pikir (Adnan PM TOH)” menjadi film terbaik II Pekan Seni Mahasiswa-Lampung 2004. Mulai menulis Puisi sejak menjadi mahasiswa FKIP Sendratasik jurusan musik Unsyiah 2000. Puisi yang di tulisnya ditempelkan di dinding kampus. Semasa kuliah di Unsyiah Aktif di UKM Teater NOL dan Teater MATA. Pemeran Khep pada naskah “JEEH!” Karya Almarhum Maskirbi.

Pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Kesenian Aceh pada tahun 2007. Pada tahun yang sama mendesign 10 sampul buku karya sastra terbitan Aliansi Sastrawan Aceh. TIM Pendiri Institut Seni dan Budaya Indonesia Termuda ini adalah pencinta tradisi, mampu menabuh rapa’i, dan lihai menepuk bantal didong. Mahasiswa Prodi Pengkajian Seni Pascasarjana ISI Padangpanjang. Selain itu kini menekuni pekerjaan sebagai Dramaturg Teater. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana Pengkajian Teater Institut Seni Indonesia Padangpanjang. [SY]

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.