Eni Penalamni*
PAGI. Mentari terbit dari barat dan cuaca tak begitu hangat. Alhamdulillah dipertemukan lagi pada rajanya hari, semoga berkah hari Jum’at. Pagiku disuguhkan tumpukkan buku, jam 10 nanti ada satu mata kuliah yang akan diujiankan pun pukul empat petang ada mata kuliah yang juga diujiankan. Mau tak mau aku harus lebih giat belajar menghadapi akhir semester genap ini. Udara segar terus kuhirup sepanjang jalan pergi dan pulang dari warung membeli sebungkus makanan. Banyak yang diceritakan sahabatku Ayi terutama hadiah ulang tahun yang diberikan ayahnya dua hari yang lalu. Aku juga begitu merindukan sosok seorang ayah di kampung halaman yang telah menungguku pulang. Terakhir aku peluk dia tiga bulan lalu, saat aku harus pulang dari perantauan untuk mengikuti sebuah perlombaan. Sejak itu aku hanya bisa mendengar suaranya via handphone, tiga hari lalu terakhir aku dengar suaranya memintaku untuk pulang saat megang menyambut bulan suci Ramadhan.
“Tiket untuk pulang sudah ncu pesan sejak lima hari yang lalu yah, ncu pulang megang”, jawabku sambil tawa manja. Pasti ia merindukan bungsunya ini pikirku dalam hati. Suaranya memang terdengar lelah, meyakinkan alasannya menutup bicara karena ingin istirahat. Aku tau selama ini ia kurang sehat, keluar masuk rumah sakitpun aku tau. Namun setiap mendengar nada bicaranya seakan ia baik-baik saja yang meyakinkan aku sakitnya hanya lambung biasa yang sering kumat bila telat makan seperti yang dikatakan ibu. Namun aku sedikit curiga dengan pantangan yang diberikan dokter tak boleh ini tak boleh itu. syafakallah ayah selalu terbawa dalam tiap doa berharap deritanya kan diangkat-Nya.
Amiin !.
“Ayah, kata Rasul sakit itu penggugur dosa yah, perbanyak shalat, tilawah, zikir dan shalawat yah”, kalimat yang sempatku lontarkan kepada guru besarku itu, beberapa bulan yang lalu saat awal-awal ia mengalami gangguan pada kesehatannya.
“Ia ncu, ayah udah berhenti merokok sekarang, nonton TV pun udah jarang” pernyataan yang ingin kudengar berulang-ulang.
“Alhamdulillah, jaga kesehatan ayah”, ingin rasanya segera pulang memeluknya, merawat dan berdebat dengannya. Kesibukkan diperkuliahan yang seolah tiada liburnya memaksa aku mengurungkan niat untuk pulang, teringat berada disini karena siapa dan untuk siapa. Jadwal perkuliahan seperti anak SMA dari Senin hingga Sabtu, bahkan Minggu pun selalu terpakai untuk pengamatan dan rangkaian kegiatan lainnya.
Maaf ayah, mak, belum ada kesempatan untuk pulang. Begitu juga untuk megang dua hari yang akan datang ini, aku masih bimbang pulang atau tidak pulang. Sabtu esok ada mata kuliah yang diujiankan pun hari Senin juga ada mata kuliah yang diujiankan, hanya libur di hari Minggu tepat di hari megang.
Kemarin kutelfon mamak menjelaskan aku tak bisa pulang karena kuyakin pasti hanya akan menjadi perjalanan melelahkan, malam Minggu pulang dan harus kembali ke rantau di hari Minggu malamnya. Terserah kata mamak, bagaimana baiknya. Kuanggap saja kata terserah itu mewakili serangkaian kalimat persetujuannya, kemarin jua ku batalkan tiket untuk pulang. Sebentar lagi libur panjang, hari Kamis perkuliahan akan selesai, kurasa tak lama lagi detik bergulir menuju hari Kamis-Minggu depan untuk liburan hingga dua bulan ke depan.
“Mamak lagi di rumah sakit ncu, ayah lagi kontrol”, tak begitu gelisah karena beberapa hari lalu aku sempat berbicara dengannya. Lekas pulih yah”, pintaku saat itu.
Dua bungkus nasi telah ada dihadapanku dan Ayi setelah cukup jauh kami berjalan kaki membeli nasi yang lauknya telur mata sapi. Baru dua suap nasi handphoneku berdering, sebuah panggilan dari abang iparku. Suaranya bergetar seperti menahan tangis.
“Ncu, pesankan terus tiket pulang pagi ni”
“Kenapa bang?”, tanyaku penasaran.
Hatiku mulai berdetak tak karuan, pikiranku kacau mencoba membayangkan alasan kenapa aku harus mendadak pulang.
“Pulang aja, ya ncu ya !. Pesankan terus tiket mobil yang berangkat pagi ni, ayah sakit”, telfon terputus.
Ya Rahman tolong tenangkan hati ini. Segera kubuka kontak di hp mencari agen transfostasi Banda Aceh-Takengon. Saat ingin menghubungi aku teringat sepupuku juga akan pulang dihari yang sama dengan Pakcik Aman Safarah. Segera kuhubungi akan berangkatsekitar jam delapan pagi. Tunggu aku, kita pulang bersama, kataku. Pikiranku kacau, air mata mengalir dan suara tangispun tak lagi tertahan. Aku mempercepat laju sepeda motor menuju rumah sepupuku. Disepanjang perjalanan berbagai kemungkinan terbayang, kenapa?
Sebelum tiba aku hapus air mata di pipi, malu menjadi lemah dihadapan orang-orang, mestinya aku hanya inginkan kelemahan justru hanya dihadapan Tuhan.
“Dan hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenang, semestakan zikrullah noy”, bathinku memberi penguat dari semrautnya pikiran.
Kuhubungi teman sejurusan mengabarkan bahwa aku harus pulang karena ayah sedang sakit, berharap mereka akan sampaikan pesan pamit pulang kepada dosen-dosen yang bersangkutan.
Mobil bewarna silver itupun melaju meninggalkan Ibukota Provinsi melaju menuju daerah tengah yang dijuluki Kota Dingin, namun sejenak kami singgah di rumah saudara lainnya memastikan jika ada yang dititipkan ke Takengon, karena besok merupakan tujuh harinya almarhum kakek H. Bantasyam Asri.
Paman Aman Renggali sempat bertanya “Kenapa ayah?”, dengan nada seolah ia tau apa yang tengah terjadi.
“Sakit ma”, jawabku seperti yang dikabarkan.
Tepat pukul sembilan pagi kami berangkat, terlambat satu jam dari yang direncankan. Pertanyaan paman Aman Renggali masih coba kupecahkan, lebih sulit dari soal-soal integral. Pertanyaan ini seolah tiada penyelesaian. Pikiranku semakin tak menentu. Ya Rahman ada apa sebenarnya?
Sepanjang perjalanan aku tertidur meski tidak lelap, antara sadar dan tidak sadar. handphone sepupu ku berdering, sebuah panggilan dari ibunya. Aku dengar samar-samar suaranya seperti sebuah kabar duka, aku masih belum terjaga namun aku masih bisa rasakan disekitarku. Namun demikian aku tak begitu yakin dengan apa yang kudengar barusan hingga akhirnya aku benar-benar tertidur lelap.
Belokkan jalan di barisan pegunungan memaksaku terbangun karena kepalaku terbentur dinding mobil. Suasana dalam mobil demikian hening, seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Mobil terus melaju dengan cepatnya seolah ada yang hendak dikejar. Aku masih berasumsi bahwa yang kudengar saat sepupuku menerima telfon tadi hanya ilusi, atau igauan belaka dari kacaunya pikiran saat memasuki alam mimpi.
Kuraih tas Une, sepupuku yang duduk bersebelahan untuk mengambil hpku. Masih dalam posisi belum sadar sepenuhnya, kubuka smartphone dan berpuluh chat masuk melalui media sosial bbm, line, whatsapp dengan kata-kata yang hampir kesemuanya sama.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, turut berduka cita En”, mataku langsung terbuka lebar. Masih belum yakin kubuka profil abanku dan memang benar ayah sudah berpulang.
Aku tak lagi tau harus berbuat apa, menangis pun aku tak lagi berdaya, ingin segera sampai ke rumah untuk memastikan bahwa berita ini tidak benar. Ayah masih sehat, ayah baru saja kontrol ke RSU, manamungkin ayah berpulang demikian cepatnya. Ayah anakmu pulang yah. Ayah !
Tatapanku tak lagi bermakna, semua yang terlintas hanya bayangan sosoknya, laki-laki yang begitu mencintai dan menyayangiku. Langit seakan membantu mengingatnya, seolah ia menayangkan ribuan kisah yang pernah kulalui bersama Sang Komandan itu. Ayah, kau tak lagi ada? Ayah kau tak lagi bernyawa?
Ah, mereka semua pasti bercanda. Kuyakin kau kuat ayah, ayah semua tak benarkan yah?
Perjalanan duka seorang anak rantau di hari yang baik ini benar-benar terjadi, mau tak mau harus mengikhlaskan, dia milik-Nya pasti harus kembali pada-Nya begitupun aku yang nanti juga akan menyusulnya, yah tunggu aku di sana. Menjadi sejarah semua yang kita lewati ayah, laki-laki yang paling menyemangati, yang selalu mendukung, yang selalu mengajari, yang selalu menjadi sahabat berdebat, ayah aku masih belum percaya ayah, kau pasti baik-baik saja.
Berkali-kali kerabat menghubungi menanyakan sudah sampai mana, ba’da ashar ayah akan dikuburkan dan sekarang satu jam sebelum ashar. Aku semakin kacau berharap bisa tiba di sana secepatnya. Pukul setengah empat kulihat telah ada tenda di depan rumah kerabat, begitu banyak yang melayat. Kendraan terparkir begitu padat, dan satu langkah kaki turun dari mobil aku percaya semua tidak bercanda, ayah sudah tiada.
Tak sanggup aku menerima kenyataan ini. Seminggu yang lalu ayah masih ada dan sempat kupeluk cium meminta restu untuk pergi menuntut ilmu. Langkah kakiku diapit Une dan Indah, dunia terasa sedang dalam guncangan gempa yang maha dahsyat, terasa setiap langkah yang terayun akan menghempaskan.
Di tenda itu jasadnya pucat dingin, ayah kau kah itu?, bisikku dalam.
Engkau yang kutinggal masih sehat walafiat. Air yang bercampur kapur barus dialiri di sekujur tubuhnya, mandi untuk yang terakhir kalinya.
Ayah? Kau kah yang ditutup kain panjang ini yah?
“Jangan sampai air matamu terkena jasad ayah”, pesan ustad yang memberhentikan sejenak kifayah memandikan jenazah. Aku peluk tubuhnya, kucium untuk yang terakhir kali. Innalillah, ibu mendekap dan memelukku sambil menangis.
“Tak ada lagi ayahmu ncu”, sebutnya lirih. Aku tak sanggup melihatnya harus kehilangan suaminya. Ya Allah berikan kami kekuatan.
“Mamak yang kuat, kalau mamak ngak kuat bagaimana kami bisa kuat”.
Dalam dekapannya akupun menangis sejadi-jadinya. Bukan aku kuat mak, aku jauh lebih rapuh hanya saja aku tak ingin kau lebih terpuruk karena melihat aku yang tak kuat. Sebisanya kucoba tegar dihadapan mamak, ia satu penyemangat yang masih ada yang harus selalu kujaga sebagaimana yang menjaganya selama ini telah berpulang.
Waktu ashar hampir tiba, jasad ayah telah selesai dimandikan. Aku mengambil air wudhu’ sekaligus melanjutkan tangis lara agar tak terdengar oleh ibu. Kepalaku mulai terasa berat, dalam langkah yang tak kuat dihadapanku terbujur jasadnya telah mengenakan pakaian terakhirnya. Kembali air mataku mengalir, namun tak kutangisi agar tidak tersiksa ia menghadap-Nya.
Fadlu kifayah bagi muslimin-muslimat untuk mensalatkan segera dilaksanakan. Empat takbir untuk ayah, fatihah shalawat dan doa.
Ayah, sejak hari ini tak kulihat lagi wajahmu, tak kudengar lagi suaramu, bagaimana kuhadapi hidup tanpamu?
Ayah, sebentar lagi ramadhan! Ayah, sebentar lagi lebaran, maafkan semua salah anakmu ini, aku yang belum sempat mengutarakan betapa aku mencintaimu. Aku yang belum sempat balas semua jasamu, aku yang masih sering membantahmu. Maafkan aku yang tak mau tau tentang keadaanmu. Maafkan aku yang sering lukai hatimu, maafkan aku yang belum sempat berbakti. Andaiku tau kau menderita sakit separah ini, sudah tentu akan aku tinggalkan rutinitas perkuliahan untuk setia berada di sampingmu ayah.
Semua pembohong, semua membohongiku, mamak membohongiku, kakak membohongiku, abang membohongiku, semua membohongiku. Kenapa tak ada yang mengabariku dua hari ini ayah telah di rawat di ruang ICU? Kenapa? Astagfirullah. Tak tau ingin menyalahkan siapa semua pasti tak luput dari rencana-Nya. Ya Rahman, tolong berikan ketabahan kepada kami yang ditinggalkan.
Kuikuti keranda ayah dari belakang, ia diusung ke tempat peristirahatan terakhirnya di Ume Rukah, pemakaman keluarga dekat dengan almarhum Pakcik ayah H. Bantasyam Asri yang enam hari lebih dulu dimakamkan disana.
Perlahan jasadnya dimasukkan dalam liang lahat, kusaksikan sendiri tanah yang menutupinya hingga benar-benar terimbun. Sebuah pohon jarak ditancapkan di atas makamya, untuk selamanya ia akan berada disana dan takkan pernah kembali.
Ayah, aku masih belum percaya yah. Aku hanya bermimpi kan yah?
Tujuh langkah meninggalkannya sendiri di bawah naungan pepohonan pinus merkusi, kutoleh lagi ke belakang, dan memang benar takkan lagi pernah aku betemu.
Ayah, jika terus kutangisi engkau kan terbeban dan takkan tenang di sana. Kuyakini pasti kau harapkan kerinduanku akan bersenandung dalam bait-bait doa yang kukirim setiap waktu. Menjadi anak amal salehahmu, bukti aku mencintaimu. Insyaallah ayah. Istirahatlah dengan tenang. [SY]
Eni Penalamni. Putri bungsu pasangan Alm. Enam (Brahim) dan Busyira, mahasiswi semester 4 Jurusan Biologi.
*Cerpen di atas diangkat dari kisah nyata penulis saat ia pulang ke Takengon untuk megang dan menyambut bulan Ramadhan 1437 H/ 3 Juni 2016 bersama keluarga, saat penulis dalam perjalanan ia mendapat berita duka bahwa ayahnya telah berpulang kerahmatullah, innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Ketika Eni Penalamni tiba di rumah jenazah ayahnya tengah dimandikan. []