Garipo ‘AR Moese’ 1960-an; dari Alimuddin hingga Koes Hendratmo

oleh

Oleh : Syamsuddin Said*

ERA tahun 1960-an  merupakan awal kebangkitan lagu-lagu Nasional dan tembang-tembang daerah, menyentak blantika musik tanah air, dengan nada-nada riang, kocak dan sentimentil maupun yang berirama sendu serta humanis.

Sebelumnya telinga ini hanya dijejali lagu-lagu Melayu yang dibawakan P. Ramlee penyanyi kondang berdarah Aceh. Saloma dan lain-lain dipancarkan lewat radio Malaya (sekarang Malaysia).

Lagu-lagu daerah yang cukup populer masa itu antara lain Ayam Den Lapeh dibawakan oleh Nurseha dengan iringan orkes Gumarang dari Sumatera Barat.

Sedangkan dari Aceh khususnya Gayo kala itu adalah lagu Garip ciptaan A.R. Moese dari dataran tinggi Gayo Aceh Tengah yang berkisah tentang kehidupan anak yatim piatu, dalam bahasa Gayo disebut juga Anak Merek.

Untuk meresapi makna yang lebih dalam, berikut ini diturunkan lirik atau bait-bait syair lagu Garip selengkapnya :

Garippo, o sayang, o sayang  (2x)
Gere  benine gere bearama  (2x)
Jadi garip win kucak ilen
Temas imen lelang itetona
Tuke lape kusa isederen
Gere mu serinen ine urum ama

Garippo, o sayang, o sayang ( 2x )
Gere berine, gere berama ( 2x )
Sentan iyo garip pubeberguk
Matae reduk rum tuke mulape
Muninget ine ate mu remuk
Mungelsih suntuk wan lauh rembebe
Garippo, o sayang, o sayang
Gere berine gere berama.

Nyanya ni begi sederen ku kuyu
Nengon ku baju nge renceng rembebe
Munengon jema sibebaju ayu
Ate bersebuku tetikik murense

AR Moese
AR Moese

Penulis tidak menterjemahkan bait demi bait lagu yang bisa didengarkan di youtube ini kedalam bahasa Indonesia, tetapi tentu pembaca dapat membayangkan bagaimana sedihnya nasib anak yatim piatu yang masih balita hidup sebatang kara.

Lagu ini mengudara melalui gelombang Radio Studio RRI Banda Aceh selepas pagelaran Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) I, dibawakan langsung penggubahnya.

Bukan itu saja, Koes Hendratmo yang kemudian kita kenal pemandu acara Berpacu Dalam Melodi TVRI pernah mengumandangkan lagu ini via RRI Yogyakarta.

Di Gayo Lues Garipo dilantunkan oleh  Alimuddin A. Rahim dengan iringan band Renggali asuhan para guru SD dan SMP, pada pementasan drama atau sandiwara dalam menyemarakkan hari Raya Idul Fitri dan HUT Kemerdekaan RI.

Tahun-tahun enam puluhan di Kota Blangkejeren belum ada bioskop atau Panggung Hiburan Rakyat (PHR) seperti yang pernah ada di Kayu Kul Pegasing Aceh Tengah, sebab listrik belum masuk desa.

Sandiwara merupakan satu-satunya sarana hiburan buat warga Kota dan sekitarnya sedangkan di kampung-kampung ada jamu besaman.

Suara Alimuddin yang merdu membawakan lagu Garipo diselingi lentingan-lentingan gitar melodi sembari menuntun bocah balita berpakaian lusuh, mendapat sambutan hangat bahkan ada ibu-ibu penonton yang meneteskan air mata.

Apalagi kemudian disusul lagi dengan lagu Ratapan Anak Tiri, pengisi selingan babakan drama, membuat suasana tambah ramai.

Sungguh malang nasibku
Semenjak ditinggalkan ibu
Walau kini dapat ganti
Seorang ibu, ibu tiri

                                    Ibu tiri hanya cinta
Kepada ayah ku saja
Bila ayah di samping ku
Ku di  puja dan di manja.

            Tapi bila ayah pergi
Ku di paksa dan di caci
Wahai ibu tiriku, kasihanilah pada ku
Agar ku dapat berbakti

Demikian tiga bait lagu Ratapan Anak Tiri diturunkan untuk dapat dinikmati pembaca terutama yang seusia penulis sambil bernostalgia.

Jadi hiburan itu tidak harus yang riang gembira saja, tetapi juga penting irama menyentuh kalbu mengajak otak ini berfikir menyelami perasaan orang lain yang tak punya apa-apa.

Menurut amatan penulis hampir di setiap kampung Negeri Seribu Bukit saat ini tampak banyak anak muda menenteng gitar, tetapi kita tidak tahu pasti apakah mereka sudah mahir memainkannya atau belum.

Yang jelas remaja kita banyak yang berbakat seni sayangnya tidak ada pembinaan, sehingga bakat seni terpendam dalam lumpur batu tanpa muara.

Kondisi seperti ini seharusnya jadi perhatian pihak terkait semisal Dewan Kesenian Aceh (DKA) Gayo Lues melakukan pembinaan.

Tetapi kita mau bilang apa, karena DKA hanya organisasi papan nama, yang kesannya cendrung menguras anggaran saja sedangkan kita hanya bisa tepuk dada tanya selera.

Padahal bila kita mampu mengarahkan mereka sampai mahir memainkan instrumen musik konvensional, kita mendapat keuntungan ganda.

Anak  muda ini akan terjauh dari narkoba dan perilaku LGBT yang kini mulai marak di bumi Aceh sehingga menjadi topik berita media massa.

Saat ini memang musik instan berupa key board (organ tunggal) bermunculan tapi sifatnya hiburan komersial belaka.

Selain itu seni musik juga dapat kita jadikan ajang penggalangan dana penanggulangan bencana, tidak pun dengan menggelar konser dengan biaya besar.

Undang saja pelaku-pelaku seni drama tempo doeloe yang mahir tarik suara, untuk menyumbang satu atau dua buah lagu, penulis yakin hasilnya lebih banyak ketimbang mengedarkan kotak-kotak derma di tepi jalan.

Penulis yang juga mantan seniman lokal siap untuk itu meskipun nanti kedengarannya hanya suara serak-serak basah ibarat kambing di giring ke sungai dalam bahasa Gayo di sebut  lagu ling ni kaming tegu ku waih.

Mudah-mudahan ada yang tergugah membaca tulisan ini.[Kh]

*Redaktur senior LintasGayo.co, tinggal di Blangkejeren Gayo Lues

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.