Mengenang Chairil Anwar Si ‘Binatang Jalang’ itu Menutup Mata

oleh

Oleh: Sulaiman Juned *

googleSIAPA yang tak kenal Chairil Anwar si `Binatang Jalang` pelopor Angkatan 45. Puisi-pusi Chairil sejak dari siswa Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi menjadi bahan pembelajaran . Rasanya tak habis pembicaraan tentang Chairil Anwar baik individunya maupun sajak-sajaknya. Hari meninggalnya diperingati baik oleh lembaga pendidikan maupun seniman-seniman yang berdomisili di Indonesia. Mengenang setiap tahun meninggalnya diadakan lomba cipta/baca puisi,  mengadakan diskusi, sarasehan mengenai penyair yang mati muda itu. Tak terasa April tahun  ini (2016) telah 67  tahun lamanya penyair revolusioner ini menghadap sang Khalik. Tepatnya pukul 14.30 WIB pada tanggal 28 April 1949 di RSUP  CBZ (Sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), setelah enam hari dirawat. Menurut catatan rumah sakit, Chairil muda diserang typhus. Sementara dari keterangan teman dekatnya ia sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi. Bahkan yang membuat nyawanya terengut adalah radang ususnya pecah. Chairil telah tiada, namun setiap tanggal 28 April seluruh seniman memperingatinya.

  “…Cahiril Anwar menghasilkan karyanya sejak 1942 sampai 1949 hanya 70 sajak asli, 10 sajak terjemahan, 4 sajak saduran, 6 prosa asli dan 4 prosa terjemahan, 94 tulisan. Sungguh  sedikit yang dihasilkan dalam waktu enam tahun setengah. Ada juga karya plagiat sebagai terjemahan dan saduran, namun yang membesarkannya adalah 70 sajak aslinya”. (HB. Jassin, 1983. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia, Jakarta: Gramedia, P.112)

Mengapa penyair `besar` Chairil ada karyanya yang plagiat, apakah ini tidak memalukan. Apa yang sedang terjadi dengan diri Chairil. Barangkali berjuta pertanyaan akan  muncul dibenak kita, barangkali beribu sumpah serapah akan tertumpah seandainya Chairil masih hidup. Begini, mungkin ini hanya sebuah anekdot atau katakanlah pembelaan terhadap kepenyairannya. Chairil Anwar hidup dalam situasi dan kondisi Indonesia  sedang mengalami transisi, mencari kerja sangat sulit. Chairil terlalu sering merasa lapar dan menderita, jadi untuk cepat mendapat honor maka ia menyadur sajak orang. Sementara surat kabar dan majalah selalu saja memberikan honor setiap Chairil mengantarkan karyanya. Beberapa redaktur koran dan majalah  yang menyediakan ruang budaya berhasil di tipu Chairil. Kalau masalah tipu menipu memang Chairil sangat lihai yang terpenting ia dapat makan. Pernah ketika ia bertamu ke tempat seorang teman, dan temannya sedang sibuk menerjemahkan buku yang berbahasa Belanda dan beberapa bahasa Asing lainnya. Sang teman meminta Chairil untuk menerjemahkannya, ia bersedia asalkan  diberikan uang makan. Temannya menyanggupi, Chairil menerjemahkan buku yang tidak begitu tebal hanya dalam waktu dua jam. Setelah mendapatkan uang seperti yang dijanjikan dengan bersiul-siul Chairil pergi. Si teman sempat heran menyaksikan kecepatan Chairil dalam menerjemah. Ia mulai memeriksa pekerjaan Chairil, lembar pertama sampai dengan kelima  belas sangat bangus hasilnya, tapi seterusnya Chairil hanya menyalin saja. Begitu Chairil ‘si binatang jalang itu’, yang seperti ini jangan di tiru. Ia menerjemahkan serta menyadur karya penyair asing dengan mudah, namun itu semua dilakukan semata-mata untuk mengisi perut.

Chairil  sangat gandrung dan menyenangi karya penyair asing diantaranya; Marsman, Lorca, Aiten, T.S Eliot. Mari kita simak sajak Chairil yang pernah menaruh curiga orang sepertinya terjadi persamaan dengan sajak karya Lorca yaitu ‘Cardoba’. Judulnya Cintaku Jauh di Pulau : // Cintaku jauh dipulau/gadis manis, sekarang iseng sendiri/perahu melancar, bulan memancar,/dileher kukalungkan ole-ole buat si pacar/angin membatu, laut terang, tapi terasa/aku tidak kan sampai padanya// Diair yang tenang, diangin mendayu/diperasaan penghabisan segala melaju/ Ajal bertahta, sambil berkata:/ “Tujukan perahu kepangkuanku saja”// Amboi jalan sudah bertahun kutempuh!/ perahu yang bersama kan merapuh!/ mengapa ajal memanggil dulu/sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?/ manisku jauh dipulau,/ kalau ku mati, dia mati iseng sendiri//. Sementara itu mari kita simak karya Lorca  dengan judul Cordoba:  //sayub-sayub dan sepi/ kudaku zanggi, bulan purnama/ dan buah zaitun  di kantong pelana/ walau kukenal jaring jalannya/ berasa, tak lagi kucapai Cordoba// Memutus padang, menjuang angin/ kudaku zanggi, bulan purnama./ Maut mengeram, mengintai didepan/ dari menara kota Cordoba// Cordoba/ sayub-sayub dan sepi//.

Memang  beberapa sajak Chairil jelas-jelas merupakan sajak saduran seperti; ‘Rumahku’ karya Slauerhoff, ‘Woninglooze’, kepada peminta-minta  karya Alsschot, ‘Catetan th 1945 dari karya Donald Bain War Poet’, ‘Datang Dara Hilang Dara terjemahan sajak Hsu Chih-Mo’ dan lain-lain. Begitulah Chairil, namun dengan 70 sajak aslinya ia telah menjadikan dirinya pilar utama, pelopor dan pembaharu kesusasteraan Indonesia. Ia telah meletakkan kepercayaan kepenyairannya pada kualitas sajak-sajaknya serta turut menyemangati penyair sesudahnya. Luar biasa, yang harus kita teladani adalah keseriusannya serta siap sedia berkeringat dalam menyair.

Sajak-sajak Chairil Anwar dipenuhi dengan perenungan yang mendalam karena dilakukannya melalui kontemplasi yang mengkristal. Kekuatan pengalaman spiritual serta kepekaan intelektualitasnya semua itu dapat di raih. Betapa tidak, Chairil selalu saja secara langsung mengalami kehidupan malam di kota Jakarta. Ia tidak sekedar mengalami, merasakan serta meraba objek tersebut melainkan ia turut menikmatinya. Kapasitas dirinya seluruhnya ia serahkan dan masuk untuk larut dalam suasana itu, sehingga suasana itu masuk ke dalam dirinya. Kemelaratan, kepedihan, kesengsaraan, derita ia gumuli dengan kekaguman untuk menantang hidup.

Peristiwa kecilpun Chairil menyerahkan dirinya dengan sungguh-sungguh. Daya konstemplasinya memang sangat kuat sehingga ia dengan sempurna menangkap objek menjadi buah karyanya. Walau sebuah peristiwa kecil dijadikannya pengalaman emperik yang dirasakan dan dinikmatinya jadi puisi. Ia selalu menyeleksi karyanya. Ia begitu tegar dalam pencaharian, tidak pernah mau menyerah apalagi kalah. Hanya saja sesekali kesal andaikan  ada karyanya dianggap belum maksimal. Chairil melakukan selektifitas individual terhadap sajak-sajaknya. Ia  pernah mengirim surat kepada HB. Jassin yang isinya begini; “Jassin. Yang kuserahkan padamu-yang kunamakan sajak-sajak!-itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru. Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa tingkat percobaan musti dilalui dulu, baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya” (Chairil Anwar, 1996). Ini suatu bukti ia sangat selektif.  Memang benar ada beberapa sajak Chairil terjadi perubahan walaupun sudah diterbitkan. Lihat saja antologi Deru Campur Debu, Kerikil Tajam, Yang terhempas dan yang  putus, Tiga Menguak Takdir, ada beberapa sajaknya terjadi perubahan.

Chairil Anwar etnis Minangkabau yang dilahirkan di Medan 26 Juli 1922. pernah mengecap pendidikan MULO tapi tidak tamat, mantan redaktur Gelanggang, siasat, dan  Gema Suasana. Merupakan manusia yang kutu buku. Buku apa saja ia  baca walaupun totalitasnya berada dalam dunia kepenyairan. Ia banyak dikenal orang bahkan ia bergaul dengan pengemis, gelandangan, tukang becak serta pelacur. Pergaulannya digunakan untuk kepentingan proses kreatif kesenimanannya. Chairil manusia yang tidak tahan kalau kehabisan bahan bacaannya, ia konon kabarnya rela mencuri disebuah toko buku. Buku yang dicuri tentunya dalam bahasa asing. Barangkali semangat membacanya boleh ditiru tetapi semangat mencurinya jangan. Puisi yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap walau usianya baru 26 tahun, sajak itu berjudul Derai-Derai Cemara: //Cemara menderai sampai jauh/ Terasa hari jadi akan malam/ ada beberapa dahan di tingkap rapuh/ dipukul angin yang terpendam.// Aku sekarang orangnya bisa tahan,/ sudah berapa waktu bukan kanak lagi/ tapi dulu memang ada suatu bahan,/ yang bukan dasar perhitungan kini.// hidup hanya menunda kekalahan,/ tambah terasing dari cinta sekolah rendah,/ dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,/ sebelum pada akhirnya kita menyerah//.

            Penyair yang pada usia 20 tahun dengan lantang meneriakkan keinginan ‘hidup seribu tahun lagi’ namun pada usianya 26 tahun ketika ajalnya mau dijemput menyadari bahwa ‘hidup hanya menunda kekalahan…sebelum pada akhirnya kita menyerah’. Sajak ini diungkapkan  dengan sikap yang sudah mengendap, inilah yang dinamakan proses kreatif yang memisahkan dirinya dari masa lampau. Proses itu begitu cepat. Chairil lebih menonjolkan sosok yang penuh dengan semangat hidup serta sikap kepahlawanan. Ia merupakan penyair yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa.

Betapa cerdas Chairil dalam menyembunyikan objek dirinya menjadi objek siapa saja yang membaca karyanya. Bagi  rekan penyair, semangat dan kerja keras Chairil mari kita teladani, walau siapa saja tetap terasa akan jadi malam. 67 tahun ia telah tiada, puisinya  tetap hidup dan lantang menggema. Begitulah seharusnya seniman. Semoga! [SY]

Sulaiman Jined. Foto. Aman Renggali
Sulaiman Jined. Foto. Aman Renggali

Penulis adalah Penyair, esais, kolumnis, dramawan, sutradara teater. Pendiri Sanggar Cempala Karya Banda Aceh, Pendiri UKM-Teater NOL Unsyiah, Pendiri/Penasihat Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, Sumatera Barat. Dosen Jurusan Seni Teater, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, Sekretaris/ Ketua Panitia Pendirian Kampus Seni ISBI Aceh (2012/2013). Kandidat Doktor, Program Doktoral (S-3) Penciptaan Seni Teater Pascasarjana ISI Surakarta, Jawa Tengah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.