Oleh: Muhammad Nasril, Lc. MA*
Akhir-akhir ini masyarakat sedang ramai membahas tentang fenomena alam gerhana matahari yang akan terjadi di wilayah indonesia besok rabu Tanggal 9 Maret 2016 yang bertepatan dengan 29 Jumadil Awal 1437 H termasuk salah satu diantaranya adalah wilayah Aceh, walaupun di Aceh tidak 100% mengingat waktu terjadinya gerhana di Aceh baru selesai shalat subuh. Seperti disampaikan oleh salah seorang anggota Tim falakiyah Kanwil Kemenag Aceh, Al-firdaus Putra, S. Hi. MH, bahwa gerhana matahari akan terjadi di Provinsi Aceh lebih kurang dua jam dengan gerhana matahari maksimum 70 %, tidak kurang dari tujuh puluh persen permukaan matahari akan ditutupi oleh bulan, sehingga matahari hanya akan berbentuk sabit.
Diskusi panjang mengenai hal itu ada di berbagai tempat, baik di media, sekolah, kampus, Sosmed maupun tempat keramaian lainnya, tentu berbagai reaksi timbul dari masyarakat tentang cara menyambut fenomena gerhana tersebut, ada yang mencoba mempersiapkan segalanya seperti shalat berjamaah, ada juga beberapa intansi atau lembaga yang menangani bidang tersebut mencoba menfasilitasi untuk pengamatan gerhana tersebut, semua memiliki tujuan yang baik untuk mengenal keagungan Allah SWT melalui fenomena gerhana ini.
Tidak bisa dipungkiri kalau dalam proeses penyambutan gerhana matahri ini ada pro dan kontra, hal ini mulai nampak di jejaring sosial yang mencoba untuk menyindir pihak yang ingin melaksanakan pengamatan gerhana dengan menyediakan teleskope dan kacamata dengan mengatakan bahwa gerhana itu bukan untuk disaksikan, padahal pengamatan itu sendiri tidak ada larangan, hanya saja selain pengamatan juga dilaksanakan shalat secara berjamaah, memperbanyak istiqfar, bertakbir dan bersedekah. Selain itu juga ada yang cuek saja dengan fenomena gerhana matahari ini, ia tidak mau tau apa yang akan terjadi, hanya berharap peristiwa itu berlalu begitu saja layaknya hari-hari biasa.
Semestinya setiap dari peristiwa yang terjadi di Alam Raya ini bisa menjadi ibrah (pelajaran) bagi orang yang menyaksikannya untuk semakin dekat dengan sang pencipta yang maha agung seperti halnya bisa melihat tanda-tanda kekuasaan Allah SWT melalui peristiwa gerhana matahari yang akan terjadi dan merupakan suatu kesempatan berharga dengan harapan setelah itu menjadi pribadi yang lebih dekat dengan Allah dan berusaha menjadi hamba yang shalih.
Peristiwa gerhana matahari ini bisa dikatakan merupakan salah satu peristiwa langka, sehingga untuk bisa menyaksikannya butuh waktu puluhan tahun, kecanggihan teknologi akhir-akhir ini bisa menjadi hal positif dalam pemanfataannya seperti pengamatan gerhana melalui telescope atau alat-alat lainnya yang dimiliki untuk saat ini, sehingga siapa yang menyaksikan fenomena tersebut ia bisa melihat tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Dalam pengamatan itu sendiri yang salah bukan pengamatannya, akan tetapi kesalahan individu atau kelompok yang menjadikan pengamatan itu sebagai tempat rekreasi semata.
Bagaimana kita sambut gerhana?
Menyaksikan gerhana merupakan sebuah wasilah untuk bisa merenungi keagungan Allah SWT, satu hal yang paling penting dalam menyambut gerhana ini adalah meninggal perdebatan tentang perbedaan pendapat dalam persoalan furu’ (cabang) yang dapat melahirkan perdebatan kusir, namun kita agar lebih fokus pada persiapan apa saja yang telah kita siapkan untuk menyambut gerhana itu.
Sebagai muslim, tentu akan berbeda cara menyambutnya dengan mereka yang non muslim, kita memiliki pedoman syariat yang telah mengaturnya bagaimana seharusnya kita menyambut gerhana, seperti yang dijelaskan dalam Hadits Rasululah SAW
“sesungguhnya matahari dan bulan adalah beberapa tanda dari sekian banyak tanda-tanda kekuasaan Allah, gerhana keduanya tidak terjadi karena meninggal atau lahirnya seseorang. Apabila kalian melihat gerhana, maka laksanakanlah shalat dan berdoalah hingga gerhana selesai (Hr. Muslim).
Dalam hadits tersebut sangat jelas anjuran untuk melaksanakan shalat gerhana baik gerhana matahari maupun gerhana bulan, sehingga para Uluma berpendapat bahwa hukum Shalat Gerhana adalah Sunat Muakkad (Sunat yang sangat di anjurkan). Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa gerhana itu terjadi bukan karena lahir atau meninggalnya seseorang, karena dahulu orang-orang jahiliyah menganggap kalau terjadi gerhana itu disebabkan karena lahir atau meninggalnya petinggi atau tokoh mereka.
Shalat gerhana dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: pertama, melakukan dua rakaat singkat seperti shalat sunah biasa. Kedua melakukan dua rakaat singkat dengan tambahan rukuk dan berdiri dalam setiap rakaat sehingga menjadi dua kali rukuk dan dua kali berdiri (untuk membaca al-fatihah dan surah) dalam tiap rakaat. Ini adalah cara minimal yang paling sempurna. Ketiga melakukan dua rakaat seperti cara kedua tapi dengan memanjangkan bacaan ketika berdiri, rukuk dan sujud. Inilah cara maksimal yang paling sempurna (Fiqh Manhaji Ala Mazhab Imam Syafii).
Shalat gerhana boleh dilakukan meskipun gerhana terjadi pada waktu dilarang shalat, seperti setelah shalat ashar atau setelah shalat shubuh, karena shalat gerhana termasuk shalat yang memiliki sebab yang datang bersamaan dengan pelaksanaan shalat itu sendiri. Masuk waktu shalat gerhana adalah sejak terjadi proses gerhana (tertutupnya sebagian matahari atau bulan) dan keluar dengan berakhirnya proses tersebut.
Apabila waktu shalat gerhana (matahari dan bulan) berlalu, dengan terlihatnya kembali matahari atau bulan dan shalat belum dilakukan, tidak disyariatkan menqadhanya. Karena ia sebagai shalat yang terkait dengan sebab tertentu, ketika sebab hilang maka hilanglah anjuran shalat gerhana tersebut dan shalat gerhana itu tidak di qadha. Shalat Gerhana di Syariatkan Agar umat Islam mengadu kepada Allah SWT dalam menghindarkan bencana dan mengembalikan cahaya. Selain shalat gerhana dalam menyambut gerhana ini, semestinya kita juga memperbanyak Istiiqfar, zikir, berdoa dan bersedekah, jadi bukan hanya menyaksikan saja.
*Pegawai Bidang Urais Binsyar Kanwil Kemenag Aceh

											



