Anomali Zikir

oleh

Oleh : Muhamad Hamka*

Hamka-Muhamad-(2)HANYA dalam hitungan bulan, tampuk kekuasaan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf (Zikir) akan berakhir. Namun, tak ada capaian serius yang berhasil ditorehkan oleh rezim Zikir untuk kesejahteraan umum rakyat Aceh. Hal ini terbukti dengan rilis yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh pada September 2015; dimana jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 859 ribu orang (17,11 persen), mengalami peningkatan 8 ribu orang bila dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 yang jumlahnya sebanyak 851 ribu orang (17,08 persen).

Angka ini menempatkan Aceh pada posisi kedua sebagai Provinsi termiskin di Sumatra dibawah Bengkulu. Sementara itu, angka pengangguran juga mengalami peningkatan. Data yang dikeluarkan oleh BPS Aceh pada Agustus 2015 mencapai 217 ribu orang, atau mengalami lonjakan hingga 42 ribu orang bila dibandingkan dengan kondisi bulan Februari 2015 lalu. Belum lagi berbicara pertumbuhan ekonomi yang melambat.

Ini merupakan ironi, mengingat dana APBA, pun kucuran dana Otsus yang melimpah tiap tahunnya. Lalu kemana fulus ini mengalir? Mari kita lihat Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2016. Dari total 12, 874 triliyun APBA 2016, ada 1 triliyun lebih yang peruntukanya hanya untuk memenuhi libido kehendak privat (res-privata) pejabat dan elit politik Aceh; dimana sejumlah Rp. 885 milyar dipergunakan untuk “dana aspirasi” anggota dewan yang terhormat. Sementara itu, sebesar Rp. 33 milyar dihabiskan untuk kongkow-kongkow pejabat Aceh (pembangunan Lapangan Golf).

Praktik hidup hedonisme pejabat dan elit politik Aceh yang tercermin dalam anggaran yang tak pro rakyat diatas, makin menegaskan teralienasinya kepentingan rakyat dari pikiran dan congor para pejabat dan elit politik Aceh ini. Apa urgensinya lapangan golf itu bagi kebaikan umum (bonum comunie)? Padahal akan sangat berfaedah kalau dipergunakan untuk membangun sekolah yang rusak atau membangun rumah untuk kaum dhuafa. Pun, dengan dana aspirasi anggota dewan terhormat ini, yang justru hanya “menyuburkan” kolega, donatur politik dan tim suksesnya pada saat pileg.

Ini hanya sebagaian kecil dari ironi rezim Zikir ini. Ingatan kolektif rakyat Aceh, tentu belum lupa dengan kegaduhan qanun Lembaga Wali Nanggroe yang rasis dan diskriminatif. Qanun yang menegasikan eksitensi suku-suku minoritas di Aceh ini, dinilai oleh banyak pihak sebagai upaya mengamankan “enclave” kekuasaan sekelompok orang. Tak berhenti sampai di sini, elit politik di DPR Aceh yang dimotori Fraksi Partai Aceh (PA) pimpinan Muzzakir Manaf kembali membuat gaduh terkait dengan qanun Bendera. Semua kegaduhan ini hanya orchestra politik belaka demi mengamankan biduk kekuasaan, tak lebih. Buktinya, pengangguran dan kemiskinan justru kian bertambah di era rezim Zikir.

Bahkan pengangkatan sejumlah Kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) terindikasi sarat dengan nepotisme. Sehingga tak heran kalau maling uang negara (koruptor) dan orang yang sudah meninggal tiba-tiba nongol dalam daftar kepala SKPA. Sementara itu, janji rezim Zikir saat kampanye yang akan membagi fulus Rp. 1 juta/KK, ternyata hanya pepesan kosong belaka. Terbukti, hingga hari ini janji tersebut hanya menguap, seturut dengan semakin tumpulnya kepekaan rezim Zikir ini pada nestapa rakyatnya. Komitmen rezim Zikir untuk membangun Aceh baru yang bermartabat pun semakin dipertanyakan oleh publik.

Namun, harus diapresiasi langkah rezim Zikir yang mulai membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). KKR ini menjadi sangat penting, disamping amanat MoU Helsinky, KKR merupakan ruang bagi pemenuhan hak-hak korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi selama konflik bersenjata di Aceh pada masa lalu, lewat pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi. Dimana “DPR Aceh sudah membentuk tim Panitia Seleksi (Pansel) KKR Aceh yang di pimpin Ifdhal Kasim, Portal Satu (27 Januari 2016).”

Namun, ditengah merosotnya kepercayaan masyarakat Aceh kepada kepemimpinan rezim Zikir ini, rakyat Aceh justru disuguhkan oleh anomali. Dimana dr. Zaini Abdullah dan Muzakkir ‘mualem’ Manaf mendeklarasikan diri untuk maju kembali pada Pilkada Gubernur Aceh 2017 mendatang. Demi memenuhi libido berkuasa, duet Zikir pun rela pecah kongsi. Lalu, publik bertanya-tanya, apakah kedua tokoh ini tak punya malu? Mestinya, kalau akal sehat Doto Zaini dan Mualem masih bekerja dengan baik, maka seharusnya mereka tidak mencalonkan diri lagi pada periode berikutnya.

Karena keduanya telah gagal menjawab harapan serta besarnya ekspektasi masyarakat Aceh. Jangankan untuk mengurangi angka pengangguran dan menurunkan angka kemiskinan, janji sewaktu kampanye saja tak mampu direalisasikan oleh rezim Zikir ini. Namun itulah kekuasaan, ia akan cendrung absolut. Untuk itu, mari rawat akal sehat, agar nanti tidak kembali bersumpah serapah dan merutuki diri sendiri, akibat tertipu oleh janji manis tuan politikus.[]

*Pengamat ekonomi, sosial politik

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.