Oleh: Abdi Yasni*

MALAM ini bulan enggan memberikan sinyarnya pada alam, dia lebih memilih bernyanyi sembari membiarkan hujan datang. Derasnya guyuran hujan di pelataran dan aku yang ditemani cahaya remang-remang dari sebatang lilin yang memberi ku daya hidup di tempat pengasinganku. Sedangkan dibalik pintu yang usang itu aku mendengar ramainya teriakan para hewan yang mungkin sedang berbahagia atau mungkin malah sedang menderita, suara itu mengantarkan aku tidur.
Ketika fajar menyinsing dan matahari menunjukkan dirinya dari upuk timur dan tetesan hujan masih terdengar di pelataran, aku bangun dari tidurku dan perlahan aku berjalan menuju teras yang mungkn sudah digenangi air hujan malam tadi. Aku berdiri didepan pintu sembari memperhatikan burung-burung yang terbang rendah seakan-akan enggan menapakkan kakinya ke bumi yang masih diselimuti embun dan sisa hujan tadi malam.
Ketika panasnya hari menyadarkan ku dari kesunyian alam yang mulai mengering, perlahan aku berjalan mencari keramaian yang mengasingkan ku. Selama dalam perjalanan aku terus memikirkan hal yang tidak pernah orang lain pikirkan, aku terus bertanya dalam pada diriku sendiri “kenapa para burung tadi hanya berkicau dan terbang rendah seakan enggan menginjak bumi?”
Sambil berjalan aku terus berpikir dan aku tiba-tiba dikagetkan oleh suara teguran dari seorang teman, dia bertanya sembari mengajakku menuju ke sebuah bukit
yang terasingkan oleh alam dan aku mengiakan ajakannya. Sesampainya kebukit itu aku ternyata menemukan jawaban dari pertanyaan ku sendiri, aku melihat bumi mengirimkan debu-debu berair mata ke beranda sekumpulan manusia yang tidak mengerti apa-apa.
Ternyata burung-burung yang terbang renda tadi memang enggan menapakkan kakinya kebumi, walau bumi diselimuti embun dan masih menyisakan dinginnya rintik huja tadi malam, ternyata burung-burung tadi merasakan panasnya hawa nafsu keserakahan manusia yang berjalan dimuka bumi ini.
Aku juga berpikir mungkin inilah sebabnya bulan enggan bersinar tadi malam, mungkin bumi telah berteriak kepanasan dan meminta langit untuk menurunkan hujan, dan teriakan para hewan dipelataran tadi malam sepertinya sebuah perayaan menyambut hujan yang datang.
Lalu aku meminta temanku untuk mengantarkan aku kembali kegubuk pengasinganku yang jauh dari hiruk pikuk manusia dan sedikit terhindar dari riuhnya gemuruh nafsu keserakahan manusia.
Sesampainya aku di gubuk pengasinganku, aku menyadari bahwa di gubuk yang sudah lusuh inilah aku bisa menjadi diriku sendiri dan sesekali keluar melawan arus orang-orang yang tidak perduli akan alam dengan harapan mereka semua sadar bahwa “Kita tidak mewarisi alam ini kepada anak cucu kita, melainkan kita meminjam alam ini dari anak cucu kita yang akan kita kembalikan kepad mereka dengan keadaan baik”. (Supri Ariu)
Penulis adalah Alumni UNDIP asal Gayo Lues dan saat ini berada di Yogyakarta.