Kopi Khop “Arabika” Bujang Gayo di Negeri Teuku Umar

oleh

Ismar Ramadhani

arabica-khopNGOPI bersama pengusaha muda, begitu saya dan seorang teman sering menamai pertemuan rutin kami dengan anak muda ini. Bertemu dan berkenalan empat bulan lalu di sebuah home roasthing, di Takengon.
Fadli, begitu panggilan akrabnya.  Dia sedang meroasthing kopi yang akan di kirimkan ke Meukuta Coffee, tempat biasa dia menyuplai kebutuhan kopi untuk pantai Barat Aceh. Keakrabanpun langsung terjalin. Tentu saja penyebabnya obrolan  soal kopi. Kami bahkan sempat makan malam bersama sang roaster yang juga guru bagi pria ini.

Sebagai pendatang baru, awalnya Fadli Auliansyah banyak merendah dengan pengalamannya, meski dari sorot matanya dia punya rencana dan obsesi besar di dunia kopi. Tapi bagi seseorang seperti saya. Bertemu dengan seorang anak muda dan mau belajar menjadi pengusaha itu sangat luar biasa. walaupun awalnya, Fadli merasa begitu tertantang saat melihat rata-rata penggiat kopi orang di atas usia 40 tahunan.

kopi-fadilSeseorang sempat ‘menantang’ apakah dia bisa menjadi seorang pengusaha. Pada saat itu dia menyampaikan alasan dengan nada berapi api kenapa dia memilih menjadi pengusaha. Dalam perjalanan Fadli menyadari bahwa dia harus belajar banyak dari orang yang sudah memulai usaha ini lebih dulu.
“Saya belajar banyak dari orang-orang yang saya temui’ tegasnya.

Selain itu pada perbincangan lain saat kami ngopi di seputar Banda Aceh. Fadli menyampaikan bahwa dia terinspirasi dari kisah seorang kakak letingnya yang berhasil menanam kopi, memproduksi dan memiliki cafe sendiri. Menurutnya, sudah saatnya petani memproduksi sendiri hasil kebunnya dan langsung menjualnya sendiri. Selain inspirasi tersebut Fadli juga mendapatkan dukungan kuat dari kedua orang tuanya, selain ide ide cemerlang untuk berjualan kopi dari sepupunya yang juga manager Muekuta Coffee. ”Keduanya sangat berperan dalam pilihan saya”.

Men-suplly Pantai Barat

Akhir Juli 2015, Fadli bersama beberapa rekannya, keroyokan membuka cafe Arabika Gayo di Meulaboh. Konsep yang diangkat yaitu sejarah heroik sosok pahlawan Aceh, Teungku Umar. Itu sebabnya nama usaha mereka ‘Meukuta’.

Kata Meukuta mengacu pada nama topi yang dikenakan oleh Teuku Umar. Maka sejak itu pria hitam manis ini mulai menyupply kopi di pantai Barat.

“Awalnya cuma 5 kilo kopi per dua mingguan. Tapi sekarang sudah sampai 20 kilo persepuluh hari”, Angka penjualan yang membuat wajah pria ini berseri penuh syukur.

Terletak di jalan Sultan Iskandar Muda, menjadikan Meukuta sebagai tempat strategis untuk menikmati secangkir kopi. Bagi penyaji kopi Arabika yang masih dapat dibilang dengan jari, Meukuta pantas dikunjungi, jika ingin menikmati secangkir kopi dari ketinggian di pantai barat.

Kopi Khop rasa Arabika

kopi-khop2Meulaboh dikenal dengan tradisi Khop, ngopi dengan cara terbilang unik karena gelas yang berisi kopi dibalik ke dasar piring kecil, lalu diseruput menggunakan sedotan. Sebagai penyaji kopi Arabika, Fadli dan team Meukuta tertarik untuk menyajikan Arabika Gayo dengan cara pesisir Barat menikmati kopi.

Menu baru ini cukup diminati. Rasa penasaran menjadi faktor permintaan atas menu ini.  Fadli sendiri mengatakan, akan ada variasi-variasi baru yang ditawarkan Meukuta.

‘Meukuta akan terus mengolah sajian kopi Arabika Gayo, agar dapat diterima oleh masyarakat Meulaboh khususnya dan siapapun yang singgah ke kota Pahlawan ini’, tuturnya.

Terakhir sebagai bocoran tentang pria ini, meski dia seorang pengusaha muda di bidang kopi, jangan mengira dia mampu menegak lebih dari segelas espresso. Buatnya kopi Gayo masih terlalu keras untuk dapat ‘dijinakkan’. Pun demikian, menurutnya secangkir kopi dan bisnis dibidang ini membuat dia dapat bertemu dengan orang-orang hebat yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan.

‘Dari pertemuan itu saya belajar banyak tentang hidup dan bisnis itu sendiri’,

Dengan mantap dia berkomitmen untuk terus menjadi penyedia kopi Arabika Gayo. Fadli menyampaikan ia mengidamkan kata ‘Gayo’ dapat menjadi magic words sehingga siapapun yang menyandangkan nama ini pada dirinya atau kegiatan usaha maka mereka akan mendapatkan kemanfaatan seperti yang dia rasakan.

Berbincang soal upaya pria ini untuk menikmati secangkir kopi tanpa gula, dia melihat kopi seperti kehidupan. Meski secangkir kopi ‘pahit’ tapi ia dapat dinikmati dengan kekayaan citarasanya, begitu pula dengan kehidupan. Meski ada banyak cobaan, disela itu semua ada kenikmatan rasa dari kehidupan itu sendiri dalam bentuk bahagia, tawa dan senyuman.

Kami mengakhiri pertemuan dan bincang-bincang yang kesekian kali ini dengan senyum dari secangkir kopi. Tentu saja, senyum Fadli lebih lebar.[]

Ismar Ramadhani, Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan Pencinta Kopi Gayo.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.