Oleh : Azmi Kasio
POLITIK kerap dicap arena kotor karena pemerannya kerap umbar-umbar janji. Janji diumbar untuk meraih kekuasaan, tetapi dilupakan saja setelah kekuasaan digenggam. Ketika kita kini berbicara tentang peningkatan kualitas peradaban demokrasi, salah satu perkara yang perlu mendapat perhatian serius adalah bagaimana memperlakukan janji-janji para politikus.
Politikus, mungkin, tidak berniat untuk membohongi ketika mengumbar janji di musim kampanye. Kebohongan yang dicap pada janji-janji politik, dengan demikian, mungkin sekali disebabkan ketiadaan mekanisme penagihan yang jelas dan memaksa.
Masyarakat tidak memiliki kebiasaan mendokumentasi janji-janji politik itu. Itulah peradaban yang menyuburkan memori pendek sehingga politikus dan masyarakat sama-sama cepat melupakan janji.
Politik ALA (Aceh Lesuer Antara) sudah sejak lama didengungkan tapi dilihat dari konteks kebenarannya masih bisa dipertanyakan bagaimana kebenaran-kebenaran dari janji-janji tersebut. Janji-janji yang diumbar mengenai ALA lebih kepada kepentingan elit-elit politik yang bersifat musiman.
Laku kerasnya penjualan nama ALA, sudah rahasia umum lebih condong ketika pelaksanaan pesta politik berlangsung atau akan secepatnya berlangsung (Pilkada, Pilpres, Pileg). Peran yang dimainkan cukup kuat untuk menggaet para masyarakat awam yang notabene nya adalah orang-orang yang termarginalkan dari kekuasaan pemerintahaan provinsi.
Dilihat dari perjalanan perjuangan ALA kebanyakan merupakan janji-janji politik, sebelum Pileg misalkan para tokoh-tokoh yang mengatakan dirinya pejuang ALA sesumbar mengatakan ALA akan terbentuk tahun inilah, tahun depan lah, tahun sekianlah. Sehingga yang nampak adalah ALA hanya sebagai tameng dan sandiwara politik untuk mencapai kepentingan politik sementara dan ternyata laku keras ketika dijual.
Sandiwara politik menunjukkan betapa politik adalah dunia yang paling ‘berpura-pura’ atau bahkan tidak konsisten, tidak saja karena jumlah pemainnya yang banyak, tapi juga karena penontonnya tidak sedikit. Sandiwara ALA dimainkan sebagai jalan untuk melakonkan setiap kepentingan, karena memang sandiwara politik ALA masih terjual laku keras dipasaran masyarakat-masyarakat awam.
Sebagai mahasiswa timbul pertanyaan: Bagaimana mungkin kepengurusan Komite Pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (KP3ALA) tidak pernah melakukan konsolidasi dan aksi di Banda Aceh yang merupakan Ibukota dan pusat pemerintahan Provinsi Aceh. Nama-nama besar yang bertengger di dalam KP3ALA acap kali melakukan pertemuan dan pembahasan terkait pemekaran ALA di luar Aceh.
Para mahasiswa yang menjadi garda terdepan saat meneriakkan cita-cita masyarakat agar terbentuknya Provinsi ALA saat ini sudah hilang kepercayaan terhadap KP3ALA dan elit politik lainnya. Bagaimana tidak, para mahasiswa yang selalu memberi kompensasi waktu terkait tidak jelasnya tahun pembentukan provinsi ALA saat ini merasa sudah dibohongi mentah-mentah oleh para elit politik ALA. dan mahasiswa saat ini merasa bahwa tujuan utama elit politik ALA saat ini bukanlah terbentuknya provinsi ALA, melainkan demi tersedianya kursi-kursi strategis di pemerintahan, walau sebagian kecilnya diyakini tidak seperti itu.
Oleh karenanya penulis menghimbau kepada seluruh elemen masyarakat agar mengajukan mosi ketidakpercayaan kepada KP3ALA baik kepengurusan sekarang maupun kepengurusan sebelumnya. Karena kita ketahui mereka hanya bersandiwara politik yang mempunyai keindahan dalam beretorika tetapi dalam pelaksanaannya hanyalah bersifat stagnan. Dan saatnya para tokoh pembaharulah yang pantas melaksanakan estafet perjuangan.
*Aktivis Gayo Merdeka, dan Wakil Ketua Umum Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Aceh Tengah- IPPEMATA Banda Aceh