Mobil terasa berputar beberapa kali, seluruh isi mobil berguncang, semua penumpang panik dan menyebut asma Allah yang terlintas di fikiran mereka. Allahu Akbar, Subhanallah, Laa Ilaa Ha Illallah teriak seluruh penumpang mobil tersebut
Catatan Mulyadi*
Minggu (10/01/2016), saya meminta satu kursi mobil angkutan umum lintas Banda Aceh-Takengon L300 via handphone, rencananya saya akan dijemput oleh mobil yang dimaksud di kediaman saya selepas shalat maghrib. Kira-kira 20 menit selepas maghrib hp saya berdering, panggilan dari sang sopir langsir mobil angkutan yang saya pesan siang hari tadi, dia menanyakan alamat lengkap saya dan saya pun menjelaskan dengan rinci.
20 menit kemudian mobil pun tiba, saya berpamitan kepada adik saya dan menaiki mobil tanpa ada perasaan aneh apapun, normal seperti saya akan naik mobil ini sebelumnya. Sejurus kemudian, saya dan sang sopir langsir pun berangkat untuk menjemput penumpang yang lainnya yang akan menaiki mobil yang sama dengan saya.
Selanjutnya saya sudah sampai di terminal angkutan umum Banda Aceh, kemudian saya turun dan membayar tiket keberangkatan saya seharga Rp.130.000,-. Di loket, saya sempat bertemu dengan adik kelas saya ketika di sekolah dulu yang juga akan pulang ke Takengon malam itu, kami sempat berbincang sambil menunggu barang-barang kami disusun di mobil yang akan kami tumpangi. Singkat cerita, ternyata mobil yang akan kami tumpangi berbeda, walaupun masih dalam perusahaan yang sama. Akhirnya kami berpisah karena mobil kami masing-masing akan segera berangkat.
Di dalam mobil, saya duduk di barisan kedua sebelah kiri yang berdekatan dengan pintu mobil tersebut, di sebelah saya seorang bapak yang umurnya saya taksir sekitar 40-an dan satunya lagi adalah seorang perempuan yang umurnya kurang lebih sama dengan si bapak. Sejak berangkat, bapak yang berada di samping saya terus menelepon, dari pembicaraan yang sempat terdengar beliau menelepon rekan kerja kantornya untuk mengatakan bahwa dia akan sampai besok pagi di Takengon. Lama kelamaan saya merasa risih, akhirnya saya memutuskan untuk menutup telinga saya dengan earphone sambil mendengarkan musik yang tersimpan di handphone saya. Sampai akhirnya saya pun tertidur.
Sekitar pukul 00.30 WIB, saya terbangun ketika mobil sudah berhenti di depan salah satu warung makan di daerah Batee Iliek. Diluar hujan turun dengan sangat lebatnya, tapi dikarenakan perut terasa lapar, saya dan beberapa penumpang lain pun turun untuk sekedar mengganjal perut dengan makanan ringan sampai nanti tiba di Takengon.
30 menit berikutnya, saya dan penumpang lainnya sudah kembali duduk di dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan. Walapun hujan masih turun dengan lebatnya, sepertinya sopir tidak akan menunda untuk melanjutkan perjalanan menuju tanah kelahiran saya. Karena diluar hujan dan gelap, saya akhirya kembali tidur sambil mendengarkan musik melalui earphone saya.
Sekitar pukul 03.00 WIB, saya terbangun ketika tetesan hujan menembus jendela samping yang sedikit terbuka dan menyiram wajah dan badan saya ketika itu, sejurus kemudian saya sudah mengenakan jaket merah yang sengaja tidak saya masukkan ke dalam ransel yang saya bawa pulang dari Banda Aceh.
Rencananya saya akan melanjutkan tidur saya yang sempat terpotong oleh hujan barusan, baru saja saya memejamkan mata, saya merasa terlempar ke atas ke kanan ke bawah dan ke kiri tanpa bisa melakukan apa. Mobil terasa berputar beberapa kali, seluruh isi mobil berguncang, semua penumpang panik dan menyebut asma Allah yang terlintas di pikiran mereka. Allahu Akbar, Subhanallah, Laa Ilaa Ha Illallah teriak seluruh penumpang mobil tersebut.
Pada moment itulah sempat terlintas di pikiran saya bahwa ini adalah peran terakhir saya di panggung sandiwara ciptaan Allah ini, saya berpikir bahwa saya tidak akan sempat untuk menemui orang tua saya lagi, teman-teman, kerabat juga sanak saudara.
Tapi Tuhan ternyata berkehendak lain, saya merasakan bahwa mobil yang saya tumpangi berhenti bergerak. Suasana hening, sunyi, dan gelap, hanya ada suara tetesan hujan yang menimpa mobil kami.
Sejurus kemudian sang sopir yang sepertinya sudah berpengalaman bangkit untuk mendorong kaca depan mobil tersebut sampai terlepas untuk kemudian keluar karena pintu mobil yang normal biasa digunakan untuk keluar sudah tidak dapat dibuka disebabkan posisi akhir mobil setelah berguling tidak memungkinkan untuk membuka pintu mobil tersebut. Sang sopir keluar untuk memastikan apakah mobil yang kami tumpangi sudah benar-benar berhenti bergerak atau akan terguling lagi untuk menerjang jurang yang lebih dalam.
Selanjutnya sang supir kembali dengan kabar gembira pertama untuk malam itu, yaitu mobil sudah berhenti bergerak dan tidak ada putaran selanjutnya. Karena merasa sudah aman, sang sopir meminta kami untuk tenang dan tetap berada di dalam mobil dikarenakan keadaan diluar hujan masih turun dengan sangat derasnya. Kemudian sang sopir naik ke jalan raya untuk menelepon bala bantuan untuk kami.
Selama berada di dalam mobil dengan bantuan senter hp saya sempat memperhatikan keadaan mobil yang kacau balau, tas sudah acak-acakan, kursi yang terlepas, kaca yang pecah termasuk saya yang kehilangan sendal saya karena pada saat kejadian sendal sedang tidak saya kenakan di kaki saya. Seluruh penumpang sibuk menghubungi siapa saja yang bisa dihubungi untuk mengabarkan situasi kami saat itu, suami, teman, saudara, kolega atau siapa saja yang mengangkat telepon pada dini hari tersebut.
20 menit kemudian, sekitar pukul 03.30, bala bantuan berupa mobil angkutan umum lain yang juga berangkat menuju Takengon tiba di tempat kejadian. Satu persatu para penumpang keluar untuk kemudian naik ke jalan raya, saya adalah penumpang yang keluar terakhir dari mobil tersebut dan sebelum keluar saya sempat mengabadikan keadaan di dalam mobil tersebut. Saya berfikir bahwa ini akan menjadi kenangan dan juga pelajaran untuk saya di kemudian hari.
Setibanya di jalan raya, di tengah derasnya hujan, kami sudah ditunggu oleh mobil angkutan umum lain yang akan membawa kami untuk benar-benar sampai ke rumah kami masing-masing. Karena jumlah kami banyak dan tidak cukup jika hanya satu mobil, akhirnya kami terbagi ke dalam 3 mobil yang berbeda-beda. Dan sekitar pukul 05.30 Wib, akhirnya saya sampai ke rumah tujuan awal saya yaitu rumah orang tua saya. Saya sangat bersyukur di rumah itulah tujuan akhir saya dalam keadaan masih menginjak bumi, setidaknya untuk hari itu, bukan rumah sakit atau yang lainnya.
Dan akhirnya, pesan saya untuk teman-teman, sahabat, keluarga atau siapa saja yang membaca tulisan sederhana ini. Usahakanlah untuk tidak tidur ketika berada dalam mobil baik itu angkutan umum maupun milik pribadi, apalagi ketika mobil sedang melewati jalan berbahaya seperti lintas Bireuen-Takengon agar ketika terjadi sesuatu hal yang tidak kita inginkan seperti kejadian saya diatas (Na’udzubillahi Min Dzalik), kita dalam keadaan sadar 100% sehingga tau apa yang selanjutnya kita lakukan untuk menghindari kerusakan yang lebih parah untuk tubuh kita.
Dan juga jangan lupa untuk “bersedeqah!!” Karena menurut yang saya baca, salah satu keutamaan sedeqah adalah dapat menjauhkan orang yang bersedeqah tersebut dari marabahaya.
Dan juga harapan saya, untuk mobil angkutan umum selaku penyedia jasa angkutan, untuk melengkapi standar sebuah angkutan seperti sabuk pengaman (safety belt) yang diharapkan bisa menurunkan resiko cidera dari sebuah kecelakaan.
Cerita ini saya tulis berdasarkan pengalaman pribadi saya, semoga bermanfaat untuk siapa saja yang membacanya. Terima Kasih.[]
*warga Takengon