Mengintip Desa Paling “Menyedihkan” di Gayo

oleh
Suasana pedesaan Lesten (Foto: IG @ariimvponew)

“Teringat apa yang dikatakan seorang penulis Tere Liye,”Untuk dikenal bukan dengan banyak bicara tapi dengan banyak menulis“, saya setuju”

Oleh: Supri Ariu*

Kondisi jalur transportasi menuju Desa Lesten (Foto: Firdaus)
Kondisi jalur transportasi menuju Desa Lesten (Foto: Firdaus)

DI sebuah kabupaten berjuluk Negeri Seribu Bukit, terdapat satu desa yang kondisinya membuat anda mengurut hati. Desa itu berada di wilayah kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Semua mimpi buruk ada di desa ini, mulai dari sulitnya ekonomi, pendidikan, pembangunan, komunikasi, transportasi dan banyak lagi.

Desa ini dihuni oleh masyarakat suku Gayo berjumlah lebih kurang 70 KK. Untuk menuju kesana anda harus melalui Pining dengan waktu tempuh 2 jam menggunakan kendaraan bermotor atau berjarak sekitar 30 kilometer dari Ibu Kota Gayo Lues Blangkejeren.

Melanjutkan perjalanan dari Pining, cerita kesedihan dari desa inipun dimulai. Meskipun hanya berjarak sekitar 18 kilometer dari pining, anda mesti menelusurinya dengan sabar. Selain memakan waktu hingga 8 jam, anda mesti tabah untuk menyisiri liku-liku medan jalan.

Alat berat jonder satu-satunya kendaraan yang bisa digunakan untuk melewati jalur menuju Desa Lesten (Foto: IG @ariimvponew)
Alat berat jonder satu-satunya kendaraan yang bisa digunakan untuk melewati jalur menuju Desa Lesten (Foto: IG @ariimvponew)

Oia, jangan berfikir anda mampu melaluinya dengan kendaraan anda, bahkan dengan sepeda motor jenis trail sekalipun. Untuk menuju kesana sudah disediakan kendaraan alat berat merek Jhon Deere dengan ongkos Rp.35.000 per orang. Alat berat yang seharusnya untuk membajak sawah ini merupakan pemberian Dinas Pertanian setempat. Lagi-lagi sungguh menyedihkan, tersiar kabar satu-satunya jhon deere itu sering rusak. Apalagi jika musim hujan, jalan kaki jadi satu-satunya pilihan.

Segala perkembangan zaman yang sedang kita nikmati sekarang tidak ditemukan di desa ini. Aliran listrik yang masih menggunakan tenaga surya, fasilitas desa yang terbatas membuat anda memeras batin. Jika berbicara masalah penduduk dan pembangunan, pernyataan “Kami Belum Merdeka” dari Sekretaris Desa setempat, Ibrahim jadi alasan saya menulis. Mungkin tidak berpengaruh, namun setidaknya saya jadi sedikit lebih tenang.

Pendidikan? lanjutan sekolah menengah pertama dan atas tidak ada disini. Disini hanya selesai di tingkat SD saja. Padahal untuk anak-anak melanjutkan pendidikannya bukan hal yang mustahil karena bisa dilanjutkan di pusat kecamatan Pining. Lagi-lagi karena kondisi jalan, anak-anak ini harus berlapang dada.

Ekonomi? Apa yang bisa diandalkan dengan kondisi jalannya serta signal handpone yang tak tersedia? Padahal, potensi hasil pertanian di desa ini cukup baik namun karena kondisi jalannya petani malah merugi. Sebab, modal yang dirogoh untuk berdagang ke pasar Pining lebih besar dari untung yang didapat.

Meskipun dihujani kekurangan dalam hal pembangunan, bukan berarti akan menyiksa anda jika berkunjung ke desa ini. Keramahan masyarakatnya spontan akan membuat anda merasa nyaman. Sosial yang hebat, kesabaran dan semangat hidup jadi pelajaran yang lezat buat anda petik.

Suasana pedesaan Lesten (Foto: IG @ariimvponew)
Suasana pedesaan Lesten (Foto: IG @ariimvponew)

Bertahun-tahun mereka seperti terkurung namun selalu gembira menyambut dan melayani Jamu (Tamu, Gayo: Red) yang datang. Bersyukur mendengar kabar kehebatan seninya seperti tari Saman meski sampai sekarang masih berjalan dengan kaki telanjang.

Sebenarnya saya tidak terlalu paham, apa penyebab kesedihan Gayo di desa ini begitu sempurna. Kendala apa bagi pemerintah Gayo Lues dan Aceh yang membuat masyarakat di desa ini harus tetap menunggu begitu lama untuk keluar dari status desa yang tertinggal. Saya hanya berharap, mereka menikmati apa yang saya nikmati sekarang. Pendidikan yang pantas, ekonomi yang cukup, pembangunan serta fasilitas lainnya.

Teringat apa yang dikatakan seorang penulis Tere Liye,”Untuk dikenal bukan dengan banyak bicara tapi dengan banyak menulis“, saya setuju dan itulah yang sedang saya harapkan. Semoga dengan tulisan ini, penderitaan masyarakat Gayo di desa ini jadi dikenal oleh para wakil rakyat dan pemimpin daerah di negara ini.

Desa Lesten, itulah namamu. Jangan cemburu dan marah dengan judul tulisan ini. Sebab, kamipun tidak pernah bahagia menyebutnya“.

Penulis merupakan pemuda Gayo Lues dan mahasiswa Unsyiah Banda Aceh.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.