Oleh Arfiansyah*
Setiap tahun, perayaan Tahun Baru dengan penghitungan peredaran matahari (tahun Syamsyiah) selalu mengundang perdebatan boleh atau tidak, halal atau haram. Tahun baru syamsyiah selalu diasosiasikan dengan tahun baru non-muslim. Alasan perayaannya semakin dibuat argumentatif, mubajir, tidak islami dan sebagainya.
Tahun Baru dengan penghitungan peredaran bulan (tahun Qamariah) dianggap tahun baru yang layak dirayakan karena itu adalah metode hitungan tahun yang dianut oleh kaum muslimin. Parade dan karnaval diadakan. Anak-anak SD hingga SMU dipaksa jalan beberapa kilometer. Mereka dan event organizernya dianggap hebat dan islami. Menjunjung tinggi nilai-nilai dan budaya islami.
Perayaan kedua model tahun tersebut selalu menghabiskan dana yang tidak sedikit. Modal untuk untuk kembang api pada perayaan tahun baru syamsiah. Modal untuk karnaval dan pebuatan ornamen-ornamen tertentu seperti mesjid dan lainnya di atas mobil, biaya komsumsi panitia karnaval, anak-anak yang terpaksa jalan, biaya seragam karnaval, dan tentunya lagi biaya panitia karnaval. Intinya sama-sama mubajir, sama-sama mengundang keramaian, sama-sama mengundang potensi kejahatan, sama-sama tidak islami dan mubajir adalah teman syetan, kata ustadz.
Lalu kenapa yang satu dibolehkan dan satunya tidak? muslim dan non muslim menghitung harinya berdasarkan ciptaan tuhan, Matahari dan Bulan. Itu belum termasuk tahun nya orang Tionghoa, India dan Mesir kuno dan lain-lain.Muslim dan non muslim sama-sama mengunakan metode kelender yang sama. Mereka hidup di bawah matahari dan bulan yang sama. Dan sama-sama menjalani hidup di yang hari dan tanggal yang sama. Lalu mengapa setiap akhir tahun mereka dibuat seperti musuh bebuyutan?
*Kandidat Doktor jurusan Antropologi Hukum Universitas Laiden-Belanda





