Kiprah Perempuan Gayo “Bangkitkan” Lahan Tidur

oleh

Fathan Muhammad Taufiq

Perempuan Gayo Membangunkan Lahan TidurSETIAP kali kali terjadi gejolak ekonomi, entah itu karena kenaikan harga BBM yang berdampak kepada kenaikan harga semua kebutuhan pokok, entah karena konflik sosial, entah karena dampak bencana alam, yang paling merasakan dampaknya adalah kaum perempuan. Sebagai ibu rumah tangga yang mengatur segala pengeluaran keluarga, kaum perempuan harus pandai-pandai menyiasati permasalahan tersebut, bagaimana pendapatan keluarga yang pas-pasan itu bisa diatur sedemikian rupa sehingga semua keperluan dapat terpenuhi tanpa adanya ketimpangan.

Dampak yang paling dirasakan oleh kaum perempuan akibat gejolak ekonomi adalah naiknya harga semua kebutuhan pangan pokok mulai dari beras, lauk pauk sampai sayur-sayuran.

Berangkat dari pengalaman mahalnya kebutuhan pokok terutama jenis sayur-sayuran yang menjadi kebutuhan sehari-hari, perempuan bernama Maila Husna, seorang ibu rumah tangga di desa Takengon Timur, salah satu desa di pinggiran kota Takengon Aceh Tengah berinisiatif mengumpulkan rekan-rekannya sesame ibu rumah tanga untuk membentuk sebuah kelompok, dari hasil “kumpul-kumpul” sektar 18 orang ibu-ibu tersebut terbentuklah kelompok tani wanita yang kemudian diberi nama “Kepies” pada tahun 2006 yang lalu.

Dengan latar belakang keluarga petani, maka aktifitas yang digagas oleh kelompok tani wanita ini juga tidak jauh-jauh dari usaha pertanian dengan focus tanaman sayuran yang umurnya pendek dengan pemeliharaan dan perawatan yang tidak terlalu rumit.

Berbekal tekat dan kemampuan bertani seadanya, Husna dan kawan-kawan mulai menggarap lahan-lahan kosong di sekitar tempat tinggal mereka yang selama ini tidak termanfaatkan.

Lahan setengah rawa itu “disulap” menjadi lahan pertanian untuk menanam berbagai jenis sayuran. Tidak mudah memang, menggarap lahan rawa menjadi lahan produktif. Pertama-tama yang mereka lakukan adalah membuat parit-parit drainase sehingga tanah menjadi tiris.

Nyaris tanpa bantuan para laki-laki, perempuan-perempuan perkasa itu tanpa canggung mengayunkan cangkul, linggis dan sekop untuk membuat parit-parit yang lumayan dalam, butuh waktu berhari-hari untuk mengerjakan pekerjaan berat yang lazimnya dilakukan oleh laki-laki itu, tapi perempuan-perempuan itu nyaris tidak mengenal lelah.

Selesai “menggarap” parit-parit pembuangan air, perempuan-perempaun desa itu mulai mengolah lahan rawa yang tadinya dipenuhi rumput-rumput rawa seperti prumpungan, glagah air dan beberapa jenis rumput dengan perakaran yang cukup dalam.

Ini juga bukan hal yang mudah untuk dilakukan oleh kaum perempuan, tapi tekat yang kuat disertai semangat yang tinggi, tidak menyurutkan langkah para perempuan ini, utuh waktu berhari-hari pula untuk merubah bekas rawa-rawa itu menjadi lahan yang siap untuk ditanami.

Melalui kerja keras dengan sistim gotong royong itu, ternyata kaum perempuan yang selama ini dianggap sebagai kaum yang lemah itu mampu “menyulap” rawa-rawa yang selama ini hanya jadi “lahan tidur” menjadi lahan pertanian yang siap untuk ditanami beragai jenis sayuran.

Sebuah keberuntungan bagi mereka, karena lahan bekas rawa itu, setelah di olah sedemikian rupa, ternyata memiliki kandungan unsur hara yang cukup tinggi, sehingga mereka nyaris tidak membutuhkan pupuk untuk memulai usaha tani mereka.

Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan, lahan bekas rawa itu kini telah berubah menjadi lahan usaha tani sayuran yang sangat baik. Berbagai jenis sayuran seperti Sawi, Kangkung Darat, Bayam, Seledri, Daun Bawang dan sebagainya tumbuh dengan suburnya.

Sekitar enam bulan berlalu, kerja keras para perempuan itu mulai menampakkan hasilnya. Setiap pagi, ratusan bahkan ribuan ikat sayuran “keluar” dari lahan pertanian mereka, siap untuk dipasarkan di pasar pagi di kota Takengon. Dengan harga rata-rata 1.000 – 2.000 rupiah per ikat, omset kelompok tani wanita ini bisa mencapai jutaan rupiah per bulannya.

Gerakan perempuan-perempuan desa itu tidak saja mampu memenuhi kebutuhan sayuran bagi rumah tangga mereka, tapi ternyata juga mampu “mendongkrak” pendapatan keluarga dari hasil penjualan produk pertanian yang mereka hasilkan.

Lahan usaha tani mereka yang kebetulan berada di pinggiran kota juga sangat membantu memudahkan mereka untuk memasarkan produk yang mereka hasilkan.

Kini mereka benar-benar telah menikmati hasil kerja keras dan kreatifitas mereka, setiap anggota kelompok tani wanita ini kini mampu meraup penghasilan tambahan 2 sampai 3 juta perbulan, sebuah nilai yang cukup signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka.

Lain lagi yang dilakukan oleh para perempuan desa yang tinggal jauh dari perkotaan, tepatnya di desa Pilar kecamatan Rusip Antara, sebuah desa yang bisa dikatakan masih tergolong “terpencil” di Tanoh gayo Aceh Tengah ini.

Tergabung dalam kelompok tani wanita “Seroja” yang “dikomandoi” oleh perempuan desa bersahaja bernama Suliyem ini, juga tidak kalah “trengginas”nya dengan teman-teman mereka yang ada di pinggiran kota tadi.

Fisik mereka yang kuat ditopang tubuh yang nyaris “kekar” dijadikan modal untuk beraktifitas di bidang pertanian.

Suami-suami mereka rata-raga lebih fokus pada usaha tani kopi arabika, sehingga “peluang” untuk berusaha tani sayur-sayuran akhirnya “di ambil alih” oleh para perempuan desa ini.

Perempuan Gayo Membangunkan Lahan Tidur 1Desa Pilar yang berada kurang lebih 60 km dari kota Takengon memang masih “menyediakan” banyak “lahan tidur” berupa hamparan tanah yang selama ini hanya ditumbuhi ilalang dan tumbuhan pakis.

Kiprah Perempuan Gayo, “Bangkitkan” Lahan Tidurengan gigih dan nyaris tidak mengenal lelah, para perempuan itu mulai mengayunkan parang dan cangkul mereka untuk membabat dan “membongkar” hamparan alang-alang dan pakis itu. Setelah tumbuhan “gulma” itu berhasil mereka singkirkan, mereka mulai mengolah tanah menjadi guludan atau bedengan – bedengan yang siap untuk di tanami Cabe dan Tomat. Nggak tanggung- tanggung, para perempuan “perkasa” ini mampu mengolah lahan sampai belasan hektare.

Untuk mencegah tumbuhan pengganggu “menghambat” usaha tani mereka, maka mulsa plastik dijadikan solusinya. Di atas hamparan mulsa plastik itu, kemudian ribuan batang tanaman cabe dan tomat ditanam.

Tapi kerja keras mereka tidak cukup sampai disitu, untuk memelihara dan merawat tanaman ini masih perlu kerja “ekstra”, mulai dari menyiram, memupuk sampai menyemprot jika ada serangan hama dan penyakit tanaman.

Dengan kerja keras dan kesungguhan serta kekompakan 20 an perempuan anggota kelompok tani itu,, kini mereka sudah bisa menikmati hasilnya.

Cabe-cabe yang mulai berwarna hijau tua dan padat berisi itupun sudah siap untuk di panen, tidak perlu menunggu sampai buah cabe menjadi merah, para pedagang pengumpul sudah menunggu untuk menampung hasil panen mereka. Sementara buah tomat yang mulai memerah juga sudah siap untuk dipasarkan.

Apa yang telah dilakukan perempuan-perempuan desa itu tentu sangat membantu untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka, dengan penghasilan “tambahan” itu, mereka bisa membiayai sekolah anak-anak mereka.

Tanpa melupakan kodratnya sebagai perempuan, ternyata perempuan-perempuan desa itu telah mampu menjadi “pahlawan ekonomi” bagi keluarga mereka. Tanpa mengenyampingkan kaum lelaki sebagai kepala keluarga, perempuan-perempuan ini telah menunjukkan eksistensi mereka bahwa mereka bukanlah kelompok yang hanya bisa “meminta” tapi mereka juga mampu “memberi”, mungkin inilah salah satu wujud emansipasi atau kesetaraan gender yang sesungguhnya.

*Pemerhati sosial ekonomi, tinggal di Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.