Armen Desky: Stop Kesenjangan, Jadikan Aceh 2-3 Provinsi

oleh
Armen Desky (kanan) dan Nawi Sekedang (kiri). (LGco_Zulfan)
Armen Desky (kanan) dan Nawi Sekedang (kiri). (LGco_Zulfan)

DESAKAN agar Aceh dimekarkan menjadi 2 bahkan 3 provinsi kian menguat dan meluas. Sejum­lah tokoh masyarakat dari 12 kabupaten/kota terus mengga­lang dukungan untuk pemekaran provinsi di ujung barat Indonesia ini.

Sejatinya wacana pemekaran Aceh sudah bergulir sejak 1999. Namun, pasca tsunami 2014 yang disusul penandatanganan perjan­jian perdamaian antara pemerin­tah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, menenggelamkan wacana tersebut.

Wilayah teritorial yang dinilai terlalu besar hingga memicu kurangnya keadilan dalam pen­etapan alokasi dana, hingga maraknya konflik, kini memicu munculnya kembali wacana pemekaran Provinsi Aceh.

Tokoh masyarakat termasuk Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh wilayah pesisir pantai barat selatan atau yang mengarah ke Samudera Hindia sudah jauh-jauh hari kompak membubuhkan tanda tangan dukungan untuk membentuk provinsi baru bernama Provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS).

Hal yang sama juga dilakukan di wilayah tengah, yang mengelil­ingi Taman Nasional Gunung Leuser, mereka juga membentuk Komite Percepatan Pemekaran Provinsi yang diberi nama ALA (Aceh Leuser Antara). Namun sejauh ini rencana itu ditolak Pemerintah Provinsi Aceh.

Baru-baru ini, dua provinsi yang ingin pemekaran Aceh itu sepakat digabung menjadi satu meny­usul adanya kabar bahwa dalam grand design pemekaran daerah di Kementerian Dalam Negeri, Aceh mendapat jatah satu provinsi pemekaran.

Provinsi baru itu sementara ini disepakati bernama ALABAS (Aceh Leuser Antara Barat Selatan).

Menyikapinya, Ketua Komite Percepatan Pemekaran Provinsi (KP3) ALABAS, Armen Desky mengungkapkan, beberapa alasan perlunya Aceh dimekarkan.

“Bayangkan saja dari kota saya Kutacane (Aceh Tenggara) itu mau ke ibukota (Banda Aceh) itu kita harus menempuh 18 jam, kita mesti lewat Medan lagi baru ke Aceh,” ujarnya mengawali wawancara eksklusif wartawan LintasGayo.co, Zulfan di kediamannya di Kutacane beberapa hari lalu.

Alasan perlunya pemekaran hanya lantaran jarak dan waktu tempuh?
Masih banyak lagi yakni, adanya masalah-masalah konflik yang ingin merdeka. Padahal kita (daerah ALABAS) setia dengan Republik ini. Dan kemudian secara kultur budaya kita memang beda. Dan sedihnya lagi kami seperti tidak dianggap sebagai orang penghuni Aceh. Karena kami kan ada suku Alas, suku Gayo, suku Singkil, ada suku Jame, ini kayak mau dihilangkan oleh mereka itu.

Terkait alokasi pembagian dana Otonomi Khusus (otsus) bagaimana?
Hari ini kita lumayan da­pat dana Otsus, tapi dana otsus pun pembagiannya tidak adil. Bayangkan Pemerintah Aceh ini lebih mau dana otsus ini kembali ke Pusat, daripada dibagikan ke­pada kami ini. Itu yang lebih me­nyedihkan lagi, kalau otonomi daerah kita kan bisa lebih enak langsung ke pusat.

Dengan otonomi khusus ini justru kita lebih kecil bukan makin besar, bukan makin leluasa kita. Ini yang menyedihkan sekali. Maka itu kami ingin pemekaran, bukan pisah dengan Aceh.

Nanti kalau dimekarkan status dana otsusnya bagaima­na?
Tidak ada masalah. Jadi kita Aceh tetap, Walinya tetap, se­muanya tetap. Hanya pemer­intahannya saja yang jadi dua. Jadi Pemerintah Aceh jadi dua provinsi lah kira-kira begitu.

Konkritnya?
Mau kita dulu begini, Aceh ini kan dulu diajukan daerah istimewa, tapi istimewanya apa kita tidak tahu. Kemudian sering tumbuh gejolak. Dulu Indonesia ini merdeka modalnya Aceh dan Yogya.

Yogya jelas dikasih istime­wa, yang jadi Gubernur mesti dari istana (keraton Yogya). Makanya dulu muncullah DI/ TII minta keistimewaan juga dibohongi, maka muncullah AM (Aceh Merdeka) dan se­gala macam. Tapi kalau kami punya rencana Aceh ini punya dua atau tiga provinsi, ada satu wali nanggroe. Wali nanggroe itu kan sudah disahkan melalui Undang-undang, tapi posisinya sekarang agak sedikit janggal. Makanya kita meminta keis­timewaan Aceh itu, pemerintah Aceh itu punya dua atau tiga provinsi dengan satu wali. Kalau ini diwujudkan kami yakin tidak ada perpecahan di Aceh, tidak ada kesenjangan di Aceh. Aceh akan utuh (dalam NKRI).

Apa kasus konflik beragama seperti di Singkil juga dipicu oleh sikap diskriminatif pe­merintah Aceh?
Ya ini karena penekanan. Dalam Qanun Wali Nanggroe juga kami harus bisa berbahasa Aceh. Ini kadang-kadang kan susah, sementara saya orang Alas, yang di Singkil itu orang­nya Singkil, apalagi soal agama. Soal bahasa saja sudah ada intimidasi.

Inilah menjadi salah satu pe­nyebab. Padahal kita dari dulu tidak pernah ada persinggungan antar agama itu. Karena di ALA dan Singkil itu kan banyak non muslim nya, tapi kami tidak per­nah bersinggungan, tidak pernah sekalipun.

[Kh]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.