Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*
Tingginya curah hujan di Tanah Gayo selama bulan Oktober 2015 lalu, telah berdampak terjadinya bencana banjir bandang dan tanah longsor yang cukup parah di daerah dataran tinggi ini. Ratusan hektar lahan pertanian terendam banjir, beberapa ruas jalan amblas, beberapa jembatan roboh diterjang bah, beberapa rumah penduduk dan kendaraan “terkubur” longsoran tanah, jalan provinsi maupun jalan kabupaten sulit dilalui akibat tertutup longsor, menjadi berita yang menghiasi media bulan lalu. Dampak bencana alam yang tergolong paling parah ini, tentu sangat dirasakan oleh mereka yang menjadi korban bencana, baik petani yang terancam gagal panen, penduduk yang kehilangan tempat tinggal maupun aktifitas warga yang terhambat akibat terganggunya jalur transportasi.
Dampak bencana bukan saja dirasakan oleh masyarakat, tapi para penyuluh pertanian yang bertugal di berbagai pelosok Dataran Tinggi Gayo juga merasakan dampaknya. Dalam kondisi apapun, setiap penyuluh dituntut untuk tetap melaksanakan tugas mereka untuk memberikan pendampingan dan penyuluhan kepada petani, dan bencana longsor serta banjir bandang yang baru saja melanda daerah ini menjadi tantangan tersendiri bagi para penyuluh pertanian yang bertugas di berbagai wilayah dalam kabupaten Aceh Tengah.
Tidak jarang ketika melakukan perjalanan menuju wilayah binaan mereka, di tengah jalan mereka “dihadang” oleh longsoran tanah jang menutupi satu-satunya kases jalan yang dia lalui setiap hari. Tapi tugas tetaplah tugas yang harus tetap dilaksanakan, tantangan yang berat itu harus di”takluk”kan, maka menjadi pemandangan biasa ketika para penyuluh itu harus mendorong kendaraan mereka melewati longsoran tanah yang telah berubah menjadi hamparan lumpur akibat guyuran hujan, tak jarang mereka harus menggotong kendaraan mereka agar bisa melewati rintangan itu.
Seperti yang dirasakan oleh Safrin Zailani dan teman-teman penyuluh lainnya yang bertugas di Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Linge. Satu-satunya akses jalan yang biasa mereka lalui menuju kantor BP3K yang berada di Peregen, adalah jalan lintas Takengon – Blang Kejeren yang harus melalui kawasan Bur (Gunung) Lintang yang memang sangat rawan longsor, apalgi pada saat curah hujan tinggi. Ada juga sih jalan alternatif lewat jalur Atu Lintang – Despot Linge – Gelampang Gading, namun kondisi jalan alternatif itupun tidak lebih baik baik dari jalur biasa dan jaraknya lebih jauh. Maka sudah biasa kalo kemudian Safrin dan kawan kawan harus “melawan” longsoran yang menutupi jalan Bur Lintang tersebut untuk sampai ke wilayah kerja mereka. Bermandi hujan dan berselemak lumpur sambil mendorong atau bahkan menggotong kendaraan mereka, adalah hal yang biasa mereka lakukan. Tapi tidak ada kata menyerah bagi Safrin, karena para petani di seantero kecamatan Linge sudah menunggu kehadirannya.
Linge yang merupakan satu kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah dengan wilayah terluas ini, memang merupakan tantangan tersendiri bagi para penyuluh yang brtugas di sana. Banyak desa di kecamatan ini yang kondisi jalannya masih sangat meprihatinkan, seperti desa Jamat, Delung Sekinel, Pertik dan Linge misalnya, untuk bisa sampai kesana, selain menempung perjalan panjang, para penyuluh juga dihadapkan dengan kondisi jalan yang boleh dikatakan parah, belum lagi beberapa jembatan yang menhubungkan jalan disana juga kondisinya tidak kalah parahnya. Dalam kondisi normal saja, harus punya keberanian ekstra untuk merambahnya, konon pula di tengah guyuran hujan deras yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan longsor maupun banjir.
Hal yang sama juga dirasakan oleh para penyuluh yang bertugas di wilayah Pamar (Pameu) Kecamatan Rusip Antara, untuk mencapai desa-desa di wilayah Kemukiman Pamar, para penyuluh juga harus ekstra hati-hati. Beberapa sungai kecil tanpa jembatan yang biasa mereka seberangi dengan kendaraan roda dua, kali inipun menjadi sangat sulit dilalui, karena bertambahnya debit air sungai akibat tingginya curah hujan telah menyebabkan kedalaman air bertambah. Tidak ada cara lain untuk menyeberang selain dengan “berenang” dan meninggalkan kendaraan di seberang sungai, seperti yang pernah di alami Majemi Adam Malik dan penyuluh kontrak lainnya yang bertugas di wilayah tersebut.
Tantangan yang dihadapi oleh para penyuluh bukan saja di jalan, tapi juga di lokasi desa binaan mereka. Ketika mereka sampai di wilayah binaan mereka, mereka mendapati banyak lahan pertanian milik petani yang terendam banjir bandang, maka tugas penyuluh pun bertambah. Membantu evakuasi barang-barang milik warga dan mencari solusi agar air yang menggenang bisa cepat dialirkan, menjadi “tugas” baru mereka. Usai membantu warga, para penyuluhpun masih punya “beban” yaitu mendata dan menginventarisir lahan pertanian yang rusak akibat bencana dan harus segera melaporkannya ke kabupaten.
Bulan Oktober 2015 kemarin, memang betul-betul menjadi bulan penuh tantangan bagi para penyuluh pertanian di Tanoh Gayo, tapi itu semua bukan menjadi kendala bagi mereka, karena jiwa pengabdian mereka yang begitu besar terhadap profesi mereka, mampu mengalahkan tantangan seberat apapun. Pun demikian, masih saja ada sebagian kalangan yang meremehkan tugas penyuluh, padahal tanpa kehadiran mereka, para petani Gayo seperti “anak ayam kehilangan induknya”.
Maka sudah sepantasnyalah para pihak terkait membuka mata untuk memberikan penghargaan dan apresiasi yang wajar bagi mereka, terlebih sebagian besar dari para penyuluh itu masih berstatus kontrak. Melihat semanagt, perjuangan dan tantangan yang mereka hadapi dalam keseharian mereka menjalankan tugas, wajar kiranya jika pemerintah segera memperhatikan nasib mereka. Diangkat menjadi PNS, mungkin menjadi harapan besar bagi para tenaga penyuluh kotrak ini, sebuah harapan sederhana sebenarnya, tapi begitu berarti bagi mereka yang dengan dedikasi tinggi telah mengabdikan diri mereka untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Entah sampai kapan mereka terus berharap, ditengah tantangan tugas mereka yang semakin berat. []





