Semua Kupersembahkan Untuk Gayo

oleh

Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*

Fathan 2“Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, mungkin pepatah Melayu adalah filsafat yang tepat untuk semua orang agar mampu beradaptasi dengan lingkungan dimana dia betermpat tinggal. Begitu juga yang terjadi pada diriku yang secara “identitas geografis” bukan berasal dari etnis Gayo, tapi sudah lebih dari tiga puluh tahun “membumi” di Tanoh Gayo.

Kepindahanku dari tanah Magelang, Jawa Tengah ke Kabupaten Aceh Tengah adalah karena ikut kedua orang tua untuk hijrah dari tanah kelahiran pada awal tahun 1983 yang lalu. Waktu itu usiaku sekitar 16 tahun dan sudah setahun tamat dari SMP disana, karena kepindahan keluarga kami itu, maka sekolahku sempat “terputus” selama satu tahun, dan baru bisa “kusambung” pada awal tahun ajaran baru 1983 yang lalu. Melalui test ujian masuk dengan peserta hampir 800an orang, Alhamdulillah aku berhasil memperoleh satu kursi di SMA Negeri 1 Takengon, dan mulailah aku menjalani hari-hariku menuntut ilmu di sekolah itu jauh dari orang tua dan adik-adikku, karena ayahku yang seorang guru agama itu memang ditugaskan di wilayah “pedalaman” Gayo, di seputaran Jagong Jeget sana.

Beruntung tidak lama aku jadi “anak kost”, karena sebuah keluarga di Takengon kemudian “merekrut”ku menjadi anak asuh mereka. Dan sejak saat itu aku memiliki keluarga Gayo, karena orang tua asuhku memang asli warga Gayo Aceh Tengah. Oleh orang tua asuhku, aku kemudian ditempatkan di rumah kebun di daerah Kebayakan sambil mengurus sawah dan kebun milik keluarga itu. Kampung Kebayakan, kemudian menjadi lingkungan baruku yang awalnya masih terasa asing bagiku, tapi aku segera berusaha untuk beradaptasi dengan masyarakat setempat.

Langkah awal yang kujalani untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan baruku adalah dengan mengenal bahasa dan adat istiadat serta budaya setempat, kebetulan lingkungan baruku di Kebayakan adalah lingkungan masyarakat yang masih kental dengan adat istiadat dan budaya Gayo. Mulailah aku beriteraksi dengan warga Kebayakan, aku tidak meilih-milih teman komunikasiku, mulai dari anak-anak, remaja sampai orang-orang tua, menjadi tempat belajarku tentang bahasa, adat istiadat dan budaya Gayo, karena prinsipku, semakin banyak “guru” yang memberiku pelajaran, akan semakin cepat aku mengenal dan memahaminya. Agak sulit memang awalnya, tapi dengan semangat untuk bisa “menyatu” dengan warga setempat, tidak butuh waktu terlalu lama bagiku untuk bisa beradaptasi.

Hanya dalam tempo kurang lebih enam bulan, aku sudah lancar berbahasa Gayo, hampir 90 persen kosa kata Gayo sudah bisa aku kuasai, begitu juga dengan adat istiadat dan budaya Gayo, secara perlahan terus aku serap dari masyarakat setempat, mulai dari tutur (panggilan), resam (kebiasaan atau tradisi), adat dalam pergaulan, kemali (pantangan adat) dan seni budaya gayo mulai aku pelajari dengan cermat, karena aku ingin dapat menjadi bagian dari Gayo yang sejak kuinjakkan kaki pertama kali di dataran tinggi ini, sudah ada kecocokanku dengan kondisi disini.

Bukan itu saja, semua acara adat mulai dari acara perkawinan seperti munginte (melamar), mujule emas (mengantar mahar), pakat sudere (musyawarah keluarga), beguru (memberi pelajaran bagi calon mempelai), mujule bai (mengantar mempelai pria), mujule beru ( mengantar pengantin wanita), mangan kero opat ingi (perkenalan keluarga kedua mempelai) dan sebagainya terus aku ikuti, bukan sekedar ingin tau, tapi ingin “total” menjadi bagian dari masyarakat Gayo, lingkungan masyarakat yang kini menjadi bagian dari kehidupanku. Begitu juga ritual terkait meninggalnya seseorang mulai dari murebek saput (merobek kain kafan), mumanin (memandikan jenazah), munyaput (memakaikan kain kafan), munguruk kubur (menggali kuburan) dan acara ikutannya seperti turun met (membaca do’a setelah jenazah dikuburkan), nenggari (berdo’a pada hari ketiga seelah kemaitan), nujuh ( berdo’a pada hari ketujuh setelah jenazah dikuburkan), munanom atu (menanam batu-batu kecil di atas kuburan), munyawah lo (do’a hari ke empat puluh empat ) dan lainnya juga aku ikuti dan pelajari dengan cermat. Semua kulakukan bukan sekedar rasa keingin tahuanku yang begitu besar saja, tapi semua kupelajari dan ingin kujadikan “bekal” kelak ketika aku mulai terjun dan menjadi bagian dari masyarakat dengan latar belakang adat istiadat dan budaya Gayo.

Tiga tahun masa SMA aku jalani ditengah lingkungan masyarakat yang kental dengan adat dan budaya Gayo, membuatku merasa bahwa aku sudah siap untuk menjadi bagian dari masyarakat Gayo, namun aku tidak pernah berhenti belajar tentang Gayo, bahkan aku mulai “mendekat” dengan tokoh-tokoh adat dan budaya Gayo. Sampai akhirnya aku di angkat sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah kabupaten Aceh Tengah tahun 1990 yang lalu, aku nyaris tidak bergeser dari “kedudukan”ku di daerah Kebayakan, aku sudah memposisikan diri sebagai bagian dari masyarakat disini, apalagi sudah tidak ada kendala lagi dalam komunikasi dengan semua lapisan masyarakat, karena aku sudah tidak lagi “cakah” dalam berbahasa Gayo.

Memasuki kehidupan berumah tangga pada tahun 1991, aku mulai intens untuk bisa eksis di tengah masyarakat Gayo, semua adat dan budaya Gayo semakin aku pelajari secara lebih mendalam, apalagi lingkungan ku saat ini di kampung Pinangan juga tidak berbeda jauh dengan Kebayakan, lekat dan kental dengan adat dan budaya Gayo. Dua puluh empat tahun hidup berkeluarga di lingkungan masyarakat Gayo, aku semakin merasakan bahwa aku sudah menjadi bagian dari Gayo. Bahasa Gayo sudah merupakan bahasa keseharianku baik di rumah, di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakat, sehingga banyak yang mengira kalo aku ini asli urang Gayo, dan aku merasa bangga menjadi bagian dari Gayo yang sudah kuanggap sebagai “tanoh tembuni”ku.

Bergaul dan menyatu dengan masyarakat Gayo selama lebih dari tiga puluh tahun, membuatku semakin tau seluk beluk adat, tradisi dan budaya Gayo. Tidak ada kecanggungan lagi ketika aku diminta untuk menjadi telangke (perantara dalam acara munginte (melamar), mujule emas atau bahkan munyerah rempele, bahasa “melengkan” yang biasa digunakan dalam acara penyerahan mempelai di Gayo, sedikit banyak sudah aku kuasai dengan baik. “Pelajaran” yang kudapat dari para tokoh adat dan budaya Gayo, menjadi bekal berharga bagiku untuk menjalani itu semua. Begitu juga dengan seni dan budaya Gayo, sudah semakin “larut’ dalam kehidupanku, mendendangkan lagu-lagu Gayo sudah sering aku lakukan di berbagai acara dan kesempatan, begitu juga dengan kesenian Didong yang selalu menarik perhatianku. Aku juga merasa begitu bangga ketika mengenakan pakaian kerawang Gayo, pakaian tradisional Gayo yang menurutku sangat unik dan eksklusif itu.

Ruang lingkup pekerjaanku yang tidak jauh dari urusan pertanian, juga semakin membuatku eksis dan larut dalam nuansa Gayo, setiap kali aku “turun” untuk memberikan penyuluhan kepada petani atau kelompok tani, maka bahasa Gayo adalah satu-atunya bahasa pengantarku, aku sangat memahami bahwa program apapun tidak akan berhasil secara optimal jika mengabaikan kearifan lokal. Begitu juga pengabdianku selama lebih dari dua puluh lima tahun sebagai pelayan masyarakat, sepenuhnya aku persembahkan untuk Gayo. Belakangan aku juga mulai eksis menulis di LintasGayo.co, Kompasiana dan Tabloid Sinar Tani, dan lewat tulisan-tulisanku, yang aku lakukan tidak lain hanyalah untuk mencoba “mengangkat” nama dan marwah Gayo. Tentu sesuai dengan kapasitasku sebagai “orang pertanian”, yang coba aku angkat dalam tulisanku, berkisar tentang penyuluh, petani dan dunia pertanian di Gayo, Alhamdulillah, respons yang kudapatkan dari artikel-artikelku sangat positif, dan pertanian di Gayo secara umum semakin “terangkat” di luar, meski kiprahku uni masih sangat “kecil” dibandingkan dengan para pendahuluku, tapi setidaknya bisa membuktikan bahwa inilah totalitas kiprahku untuk Gayo.

Sejak awal memang sudah aku sadari bahwa bumi yang kupijak adalah bumi Gayo, langit yang kujunjung adalah langit Gayo, itulah sebabnya aku terus berusaha untuk menyatukan diri dalam kehidupan di Gayo, karena bagiku dan keluargaku, Gayo merupakan bagian yang tidak mungkin lagi terpisahkan. Identitas Geografis mungkin saja tidak bisa terhapuskan, tapi interaksi kultural yang sudah aku jalani selama puluhan tahun ini, membuatku merasa bahwa aku adalah urang Gayo, yang berkarya dan mengabdi hanya untuk Gayo. Bukan sekedar identitas etnik, tapi sebuah identitas kultural yang sejatinya punya makna yang lebih dalam dan luas.

*Penyuluh Pertanian di Badan Penyuluh Aceh Tengah

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.