Mengangkat “Marwah” Penyuluh dan Petani Gayo; dari LGco ke Layar Kaca

oleh

Oleh : Fathan Muhammad Taufiq

SCTV-5

Berawal dari tulisan saya yang dimuat di Media Online LintasGayo.co (LGco) beberapa waktu yang lalu dengan tajuk “Tangan Kreatif Edi “Sulap” Limbah Buah Menjadi Pupuk Cair”, tiba-tiba saja saya mendapat kabar dari Pemimpin Redaksi LintasGayo.co, Khalisuddin yang menyatakan bahwa tulisan saya akan diangkat ke layar kaca oleh SCTV.

Hanya beberapa saat setelah Khalis menghubungi ku, hapeku berdering, ada panggilan dari nomor yang belum tercatat dalam hapeku, si penelpon yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Bambang Prihandoyo itu meminta izin padaku untuk mengangkat salah satu tulisan saya tersebut dalam sebuah tayangan di SCTV, tanpa pikir panjang akupun segera mengiyakan permintaan kru SCTV itu. Karena aku berfikir kalau benar tulisan saya jadi diangkat ke layar kaca, nama dan marwah penyuluh pertanian yang punya kreatifitas tinggi itu akan ikut terangkat, begitu juga “dunia” pertanian di Gayo juga akan ikut terangkat lewat tayangan ini, dan itu memang sudah jadi obsesiku sejak lama.

Rupanya di “mata” mas Bambang Prihandoyo atau yang akrab dipanggil Pri ini, sosok Edi Wahyuni yang aku angkat dalam tulisanku itu dianggap sosok inspiratif yang layak untuk dipublikasikan melalui media elektronik, dan SCTV yang memang konsens menayangkan sosok-sosok inspriratif dari seluruh pelosok negeri ini melalui tayangan “Multi Talenta” itu, menganggap tulisanku “layak tayang”.

Selanjutnya mas Pri memberi aba-aba kalau sekitar dua minggu lagi kru SCTV akan melakukan syuting sekaligus memintaku untuk membantu pelaksanaan syuting untuk tayangan “bergengsi” itu, tanpa pikir panjang lagi aku segera mengiyakan permintaan mas Pri. Segera ku hubungi Edi Wahyuni, sosok yang ku angkat dalam tulisan yang “dilirik” salah satu stasiun televisi nasional itu, dan Edi menyambutnya dengan sangat antusias, ada raut kebanggaan di wajahnya ketika kusampaikan permintaan mas Pri.

Karena tenggat waktu yang diberikan oleh mas Pri agak panjang yaitu dua minggu, akupun masih punya waktu untuk melaksanakan agenda dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh untuk menggelar dua pelatihan bagi petani di Kabupaten Aceh Tengah. Pelatihan Agribisnis Bagi Petani dengan peserta 30 orang dan Pelatihan Manajerial Kelompok Tani juga dengan peserta, akhirnya sukses aku gelar selama lima hari penuh dengan mengambil dua tempat, yaitu di Aula Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dan Aula Dinas Peternakan dan Perikanan.

Selama lima hari itu, aku benar-benar disibukkan oleh dua kegiatan pelatihan itu, mulai dari menyiapkan tempat, menyediakan perlengkapan peserta, menghubungi nara sumber dan pengajar, sampai mengurus konsumsi peserta pelatihan dan menyelesaikan administrasi pelatihan, untungya beberapa staf ikut membantuku secara all out.

SCTV-4

Baru saja usai acara penutupan pelatihan Kamis sore (17/09/2015) yang lalu, mas Pri menghubungiku kembali, dia bilang kalau dia bersama kru sudah dalam perjalanan menuju Takengon. Meski agak terkejut mendengar kedatangan kru SCTV yang tiba-tiba dimajukan itu, aku tetap ingin menunjukkan keproesionalanku, tanpa ragu kunyatakan kesiapanku membantu kelancaran syuting. Untungnya aku sudah sempat menghubungi beberapa teman penyuluh di lapangan untuk menyiapkan lokasi syuting sesuai perintaan kru SCTV, jadi aku nggak perlu pusing-pusing untuk hunting lokasi, karena semua lokasi yang ditunjukkan oleh teman-teman sudah aku ketahui secara detil.

Rasa letih dan penat  masih sangat kurasakan usai melaksanakan dua pelatihan bagi para petani itu selama lima hari, tapi nampaknya “tugas berat” baru sudah menunggu. Dan benar saja, baru saja kuhempaskan badanku ke kursi ruang keluargaku, mas Pri yang ternyata sudah nyampe di kota dingin memintaku untuk datang ke hotel untuk bincang-bincang persiapan syuting keesokan harinya. Hanya sempat berganti pakaian , sholat magrib dan menyeruput beberapa teguk kopi, aku segera “meluncur” ke hotel tempat mas Pri dan kru SCTV menginap, sampai disana Edi Wahyuni ternyata sudah bergabung bersama mereka. Biar suasana lebih santai dan akrab, aku mengajak mereka ke “nacara” Café, sebuah kafe tidak jauh dari hotel tempat mas pri dan krunya menginap.

Benar saja, suasana pertemuan perdanaku dengan awak broadcast itu menjadi lebih rilek dan akrab, apalagi expresso gayo coffee yang dihidangkan oleh pelayan kafe itu terasa begitu luar biasa, mas Pri yang baru pertama kali menikmati kopi gayo terbaik itu terlihat begitu menikmati sensasi ngopi malam itu. Suasana bertambah hangat ketika beberapa rekan wartawan juga ikut bergabung bersama kami, apalagi “guru”ku pak Syukri Muhammad Syukri, kemudian juga ikut bergabung setelah ku hubungi melalui hapenya.

Begitu asyiknya perbincangan malam itu, tidak terasa waktu merambat begitu cepat, hampir jam 00.00 tapi sepertinya topik pembicaraan belum usai, selain membicarakan persiapan lokasi dan responden, pembicaraan pun “melebar” kemana-mana, dan sambil berbincang aku terus “memonitor” kesiapan lokasi kepada teman-teman di lapangan melalui telepon seluler, cukup lega karena teman-teman sudah menyiapkan segala sesuatunya di lapangan. Mas Pri yang baru nyampe dari perjalanan jauh dari Jakarta pun tidak terlihat capek, dia masih bersemangat melanjutkan obrolan tengah malam itu, kami baru bubar dari kafe sekitar jam 01.00 dini hari.

Jum’at pagi (18/09/2015) jam 08.00 aku sudah stand by di hotel bersama pimpnan kantorku, mas Pri dan krunya cuga sudah siap dengan perlengkapan syutingnya, hanya Edi yang hari itu bakalan jadi “aktor” lapngan yang nampak sedikit nerveus. Kami segera meluncur ke lokasi pertama di desa Pedemun, sebuah desa yag terletak di pinggiran danau Laut Tawar, disana pak Husaini, koordinator penyuluh bersama beberapa orang penyuluh sudah menunggu di lokasi, beberapa orang petani juga sudah stand by menunggu kedatangan kami. Tanpa buang waktu, kamipun segera menuju lokasi syuting yang tidak lain lahan pertanian milik petani setempat, sebuah keberuntungan lagi di lahan pertanian itu sedang dibudidayakan beberapa jenis tanaman seperti bawang merah, kol, tomat, mentimun dan beberapa jenis tanaman lainnya, ada juga lahan yang baru selesai di olah dan siap untuk ditanami. Mas Pri terlihat puas dengan “property” lahan yang telah disiapkan teman-teman,

Perfect mas Fathan” kata mas Pri,

Tidak seperti mengarahkan artis yang sudah biasa berhadapan dengan kamera, para “pemain” kali ini adalah seorang penyuluh dan beberapa petani yang sama sekali belum pernah berhadapan dengan kamera sama sekali. Wajah mereka terlihat tegang dan gugup, mas Pri memintaku untuk mengarahkan mereka untuk “melakoni” adegan-adegan yang akan diambil gambarnya. Syukurlah melalui komunikasi menggunakan bahasa Gayo, apa yang aku jelaskan dapat “dicerna” dengan mudah oleh mereka, maka kegiatan syutingpun segera dimulai, mas Pri dan krunya siap dengan kamera mereka, sementara aku “dipaksa” jadi sutradara dadakan, padahal sebelumnya kau sama sekali belum pernah sekalipun “berhubungan” dengan aktifitas broadcast seperti itu, aku hanya modal nekat saja. Hanya pada awalnya saja Edi dan para petani itu terlihat gugup dan kaku, sehingga ada pengulangan pengambilan gambar sampai tiga kali, tapi untuk “scene” selanjutnya, mereka sudah bisa terlihat rileks, tiap selesai satu adegan dan akan beralih ke adegan lain, kembali aku mem”briefing” mereka, dan hasilnya semua lancar, berkali-kali mas Pri mengacungkan jempolnya menandakan kepuasannya, dan menjelang tengah hari, syuting di lokasi itu tuntas, akupun merasa senang bisa melakukan tugas dadakan itu dengan baik, meski kalo aku ingat itu, aku bisa senyum-senyum sendiri, kok bisa-bisanya aku melakukan semua itu nyaris tanpa persiapan.

Adzan Jum’at sudah berkumandang di masjid di desa itu, kami segera break untuk sholat Jum’at, dan usai sholat Jum’at, aku mengajak rombongan untuk menikmati makan siang di lsehan ikan bakar tak jauh dari lokasi syuting, hidangan khas ikan mujahir bakar, ikan “masam jing”, sayur rebus Taruk Jepang ditambah cecah terong agur begitu menggugah selera kami, apalagi setelah berpanas-panasan di lokasi syuting beberapa jam, membuat kami seperti “kelaparan”, semua hidangan nyaris ludes. Seperti kebiasaan di daerah Gayo, makan siang terasa tidak sempurnya tanpa kehadiran segelas kopi, maka usai menyantap hidangan makan siang, segelas kopi gayo segera “membuai” kami.

Usai menikmati makan siang plus menyeruput kopi gayo yang begitu nikmat, kami nggak bisa bersantai-santai, karena masih banyak agenda syuting yang harus diselesaikan, kami segera meluncur ke lokasi lainnya, tujuan kami adalah desa Bies, sekitar 10 kilometer dari kota Takengon, adegan yang akan di ambil di lokasi itu adalah adegan pertemuan penyuluh dan petani dilanjutkan dengan adegan aplikasi pupuk organik buatan Edi di kebun kopi.

Beruntung, koordinasiku dengan teman-teman di lapangan sangat lancar, nggak perlu pake nunggu, sekitar tiga puluhan penyuluh dan puluhan petani sudah bersiap disana. Kembali aku didaulat jadi “sutradara” untuk mengarahkan mereka sebelum pengambilan gambar, dan lagi-lagi komunikasiku dala bahasa Gayo membuat semuanya jadi lancar-lancar saja. Acara pertemuan terlihat begitu wajar tanpa rekayasa, begitu juga ketika pengambilan gambar di kebun kopi, semuanya tanpa pengulangan. Sesi wawancara dengan pimpinanku Kepala Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan, Sabilul Rasyid, juga lancar-lancar saja setelah sedikit kuberikan arahan, begitu juga wawancara dengan Masna Manurung, penyuluh yang banyak tau tentang seluk beluk kandungan pupuk organik juga tanpa kendala. Kulihat wajah mas Pri dan kru SCTV lainnya berbinar, sepertinya mereka puas dengan kerja hari ini, sampai menjelang maghrib, kami baru meninggalkan lokasi.

Jum’at malam tidak ada agenda apapun, akupun bisa memanfaatkannya untuk beristirahat memulihkan tenaga untuk menyimpan “energi’ sebagai persiapan syuting hari kedua. Paginya aku sudah merasa fit kembali, meski badan masih agak tersa pegal-pegal juga, kembali aku meluncur ke hotel untuk “menyatroni” mas Pri dan krunya. Kulihat mas Pri sudah selesai mandi dan nampak “fresh” meski terlihat kedinginan karena memang dia belum terbiasa dengan hawa dingin yang selalu menyelimuti kota Takengon.

SCTV

Agenda hari kedua adalah syuting adegan Edi mengumpulkan limbah buah-buahan yang banyak berserakan di pasar Paya Ilang, pasar sayur dan buah terbesar di kota Takengon. Kami segera meluncur ke rumah Edi yang hanya bebberapa ratus meter dari hotel, disana Edi sudah stand by dengan becak motornya untuk memungut “sampah” buah di pasar. Tanpa buang waktu mas Pri yang sudah siap dengan kameranya segera nangkring di becak mengikuti Edi, sementara aku bersama kru SCTV lainnya “membututi” mereka dengan mobil.

Nggak butuh waktu lama mengambil buah-buahan yang tidak terpakai itu, dua karung besar yang dibawa Edi segera penuh dengan buah papaya, semangka, jambu, mangga dan buah “kadaluarsa” lainnya, karena di pasar Paya Ilang itu memang banyak sekali buah-buahan tidak terpakai yang terbuang begitu saja. Kedatangan kami lengkap dengan alat syuting sempat menarik perhatian para pedagang dan pembeli di pasar itu, tapi Alhamdulillah nggak sampe mengganggu jalannya pengambilan gambar. Sekitar 30 menit kami berada d pasar, kami kembali ke rumah Edi untuk melanjutkan pengambilan gambar proses pembuatan pupuk organik cair yang bersala dari limbah buah-buahan itu. Kali ini Edi sudah tidak terlihat nerveus lagi, begitu juga isterinya Elyoma Eliosa yang ikut membantu proses pembuatan pupuk cair itu juga terlihat tampil wajar. Karena memang proses pembuatan pupuk itu cukup panjang, pengambilan gambarpun akhirnya memakan waktu yang lumayan panjang juga dengan beberapa kali break untuk melepaskan lelah sambil menikmati kopi dan penganan yang sudah disediakan oleh isteri Edi.

Menjelang sore, saat break terakhir, kami kedatangan Winiardi, seorang penyuluh pertanian di kabupaten Bener Meriah, kabupaten tetangga Aceh Tengah. Winiardi yang sosoknya juga pernah ku angkat dalam tulisanku di LintasGayo.co itu sengaja datang untuk memberikan oleh-oleh buat kru SCTV berupa bubuk kopi Gayo Specialty hasil olahannya sendiri, kebetulan dia tahu kalau aku lagi ada kegiatan syuting dari gambar yang ku upload di akun facebookku. Win, begitu dia akrab disapa, selain seorang penyuluh pertanian, juga punya usaha sampingan yaitu memproduksi bubuk kopi arabika Gayo dengan merk dagang “John Coffee”, dia memasarkan produksinya tidak hanya dengan cara konvensional tapi juga memasarkannya secara online (baca LintasGayo “Winiardi, Penyuluh Pertanian Yang Komit Mempromosikan Kopi Gayo”). Mas Pri dan kru SCTV terlihat antusiasmendapat oleh-oleh itu, dia juga berjanji kepada Winiardi untuk ikut mempromosikan kopi Gayo yang diproduksi oleh temanku itu.

Menjelang maghrib, semua sesi pengambilan gambar usai sudah, meski terlihat lelah, tapi mas Pri nampak begitu puas dengan hasil kerjanya selama dua hari penuh di Tanoh Gayo, berkali-kali dia mengucapkan terima kasih atas peranku membantu mereka selama proses syuting. Aku sendiri ikut senang, agenda pengambilan gambar untuk tayangan SCTV yang mengangkat salah satu tulisanku itu sukses tanpa kendala. Tinggal menunggu informasi tanggal tayangnya saja, mungkin sekitar dua minggu yang akan datang, ungkap mas Pri.

Melepaskan lelah sambil menikmati kopi malamku di rumah, aku berucap syukur padaNya, karena diluar dugaanku, aku yang masih “hijau” dalam dunia tulis menulis, ternyata sudah mendapat respons yang menurutku sangat luar biasa ini. Bayangkan, belum genap setahun aku aktif menulis di LintasGayo.co, sudah ada broadcast yang tertarik untuk mengangkat tulisanku ke layar kaca, padahal aku sendiri menyadari kalau tulisan-tulisanku masih “biasa-biasa” saja, karena ku akui kalau aku ini masih belajar dari para penulis dan wartawan senior seperti pak Muhammad Syukri, Khalisuddin, Darmawan Masri, Munawardi, Win Wan Nur, Jauhari Samalanga, Win Ruhdi Batin, dan teman-teman lainnya. Aku benar-benar tidak menyangka kalau tulisanku akhirnya layak menjadi rujukan dan nangkring di televisi nasional secepat ini,

Ada sebuah kebanggaan dan suprprise tersendiri bagiku, bukan sekedar karena tulisanku di angkat ke layar kaca, tapi lebih dari itu. Rasa banggaku lebih karena aku sudah bisa sedikit memberi andil kecil untuk mengangkat “marwah” para penyuluh pertanian yang selama ini menjadi mitra kerjaku dan yang lebih membanggakanku, para petani di Dataran Tinggi Gayo juga ikut “terangkat” lewat tayangan ini. Tentu ini akan berdampak positif bagi pembangunan di negeri Antara ini, karena akan semakin banyak publik yang jadi tau potensi pertanian Gayo yang luar biasa ini. Ada setitik harapan dari kiprah kecilku ini, selain marwah mereka terangkat, aku sangat berharap kesejahteraan para petani kita juga ikut terangkat dengan masuknya para investor yang akan memberi kemudahan akses pemasaran dari produk-produk pertanian dari Dataran Tinggi Gayo.

Disisi lain, “terangkat”nya salah satu tulisan saya ini juga menunjukkan eksistensi Media Online LintasGayo.co dengan mottonya “Cerdas Mencerdaskan” yang ternyata tidak hanya dibaca oleh publik Gayo saja, tapi juga sudah di”lirik” oleh Broadcast berlevel nasional, sebuah kebanggaan bagiku karena aku sudah mendapat kesempatan untuk ikut berkiprah di media ini.  Tak berlebihan kiranya jika aku menyampaikan rasa terima kasih kepada  “guru” dan “motivator”ku pak Muhammad Syukri, teman-teman wartawan  dan redaksi LintasGayo.co dan juga teman-teman penyuluh dan petani Gayo tercinta, saya sadar bahwa tanpa dukungan kalian, saya bukanlah “siapa-siapa” dan tidak ada “apa-apa”nya.

*Penulis tetap di LintasGayo.co

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.